Sejarah peperangan masa lalu memang sangat menarik disajikan sebagai sebuah narasi heroisme. Akan tetapi, jadi rancu jika direduksi semata-mata demi obsesi saat ini. Padahal menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, sejarah seharusnya menjadi pendidikan penalaran. Seorang yang belajar sejarah, hendaknya tidak berpikir monokausal, yaitu pikiran yang menyatakan sebab peristiwa itu hanya satu.
Sejarah harus dipelajari dengan plurikausal, yang menjadi penyebab peristiwa itu banyak variabelnya. Oleh karenanya, dengan belajar sejarah, seseorang akan melihat satu peristiwa dari banyak sebab dan aspek.
Tidak hanya bagi Tarrant dan Brievik, kalangan Muslim pun mengalami ini. Nalar kalah di sejarah Wina ini masih saja dipelihara. Konon, kopi dan roti Croissant adalah warisan betapa Islam pernah dipermalukan saat itu. Ingat film 99 Cahaya di Langit Eropa? Film yang juga berlatarbelakang kota Wina ini menggambarkan nalar tersebut dengan apik.
Dalam satu adegan, Hanum, tokoh utama yang diperankan oleh Acha Septriasa sedang ada di sebuah cafe bersama Fatma, seorang keturunan Turki. Mereka mendapati orang Austria sedang memakan Croissant, sambil mengolok-olok bahwa bentuk Croissant yang serupa bulan sabit, adalah mengenang saat Romawi “mencaplok” Utsmani dengan lahap. Hanum lantas marah melihat kejadian itu.
Siapa yang tidak marah, ketika agamanya diolok-olok? Dan siapa pula yang tidak ingin melihat kembali kejayaan Islam seperti pada masa lalu?
Sialnya nalar seperti ini terus-menerus dipelihara di Indonesia. Ide yang ditanam adalah umat Islam mengalami kekalahan sehingga wajib untuk bangkit kembali. Bentuk konkretnya, obsesi romantis agenda kebangkitan Islam dalam bentuk kekhilafahan seperti kesultanan Utsmani yang sukses mengambil alih Konstantinopel, atau kekhalifahan Umayyah jilid II yang menguasai Spanyol.
Nalar sejarah ini diminati oleh anak-anak muda. Diceramahkan dari masjid ke masjid, ditebar di sosial media, dan pelan-pelan ikut menggerogoti kehidupan kebangsaan kita karena diselipi dengan sentimen tertentu. Yang menolak agenda kebangkitan ini, rasanya sah dipertanyakan keislamannya.
Perpolitikan kita pun demikian. Pembaca tentunya ingat bagaimana pilihan Presiden dijejali narasi perang Badar, seolah-olah ini adalah peperangan hidup-mati antara Islam melawan musuh-musuhnya. Tidak cuma narasinya yang beredar, doa yang dipanjatkan Nabi pun dicomot demi kepentingan elektoral lima tahunan ini. Belum lagi sebutan kafir, yang saat ini tidak lagi relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sama, jika menghalangi kepentingan Islam, maka kelompok anda boleh kami benci. Kalau perlu dikalahkan oleh Tuhan.
Walhasil, jika sejarah hanya dicomot dan dikeluarkan dari konteksnya, pada akhirnya cuma jadi sentimen dan obsesi semu. Makin rancu jika lantas sejarah malah jadi justifikasi kebencian. Kalau demikian yang terjadi, lantas apa bedanya dengan Tarrant dan Brievik?