Al Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril dan dihitung sebagai ibadah bagi siapa saja yang membacanya.
Mushaf Al Qur’an, walaupun sedianya hanya tersusun dari lembaran-lembaran kertas dan coretan pena, namun ketika sudah tergores bentuk tulisan ayat suci Al Qur’an, kertas ini bisa masuk kategori mushaf yang harus dihormati. Tidak boleh disentuh dan dibawa oleh sembarang orang.
ويحرم عليه مس المصحف لقوله تعالى (لا يمسه الا المطهرون)
Artinya : Haram bagi orang yang mempunyai hadas untuk menyentuh mushaf sebagaimana firman Allah ‘Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah tersucikan’ -QS : Al Waqiah : 79- (An Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhaddzab, juz 2, hlm, 65)
Al Qur’an, sebagai yang kita pegang dan baca setiap hari, tidak atas prakarsa Rasulullah. Di zaman Rasul, al Qur’an memang ditulis, namun masih berserakan di mana-mana. Tapi tetap ditulis. Ada manuskripnya. Berbeda dengan hadis. Waktu itu Rasulullah melarang untuk menuliskannya. Mungkin supaya tidak benturan antara dua manuskrip primer dalam Islman ini.
Kepenulisan Al Qur’an menjajdi satu buku merupakan hasil kreasi dari proses yang panjang. Peradaban pengumpulannya baru dimulai sejak sepeninggal Rasulullah SAW wafat.
Ketika perang Yamamah, banyak sekali penghafal Al Qur’an yang wafat terbunuh. Hal ini membuat galau banyak pihak.
Menurut pengakuan Zaid ibn Tsabit, satu ketika Umar menghadap kepada Abu Bakar, mengadukan tentang banyaknya kematian yang melanda sahabat-sahabat penghafal Al Qur’an. Umar khawatir tragedi tersebut akan menjadikan Al Qur’an akan musnah di muka bumi.
Abu Bakar tidak lantas mengiyakan. Pertama kali, ia menolak. Alasannya, bagaimana aku melakukan satu hal yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW serta belum pernah dijanjikan oleh Beliau?.
Dari awal penolakan Abu Bakar ini, setelah melewati beberapa waktu, Allah lalu memberikan pemahaman pendapat di dalam jiwa Abu Bakar. Ia menjadi berubah pikiran, menjadi sepakat sebagaimana usul yang diutarakan Umar.
Setelah mereka berdua mencapai kata sepakat untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Al Qur’an yang berada di mana, Abu Bakar mengundang Zaid ibn Tsabit. Oleh Abu Bakar, ia dikehendaki menjadi tim pelaksana pengumpul manuskrip di lapangan.
Namun kasusnya kembali terulang. Zaid hanya menjawab sebagaimana jawaban Abu Bakar tempo hari
“Bagaimana kalian akan melakukan satu hal di mana Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melaksanakan serta memberikan janji apapun tentang itu?” kata Zaid di hadapan Abu Bakar, Umar duduk di sebelahnya.
Zaid mengaku, ia didesak Abu Bakar terus menerus sehingga ia mendapat satu visi sebagaimana pandangan Abu Bakar dan Umar. [bersambung]