Para peminat studi genosida seringkali merujuk holocaust (pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman yang memakan korban hingga 6 juta nyawa) sebagai referensi prototipikal paling hebat mengenai apa yang disebut genosida. Mereka menganggap tidak ada sadisme “homicide” sedahsyat dan sebesar yang terjadi di bawah Hitler itu, baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Pada kenyataannya cukup banyak studi membeberkan bukti tentang holocaust lain sebelum yang terjadi di Eropa tersebut. Studi-studi itu menarasikan adanya “holocaust Asia,” “holocaust Pasifik,” atau “holocaust Cina.” Rangkaian holocaust itu menggambarkan berbagai peristiwa yang terjadi sejak 1931, berkaitan dengan agresi Jepang terhadap Cina di Manchuria, yang kemudian berpuncak pada “pembantaian Nanking” pada 1937-1938. Peristiwa yang disebut Iris Chang, putri seorang penyintas yang melakukan migrasi ke AS, sebagai “holocaust yang dilupakan,” itu terjadi sebelum holocaust Yahudi oleh Nazi pada 1939-1945.
***
Dalam rangkaian perang Cina-Jepang sejak 1931, Jepang berhasil menguasai kota-kota besar Cina seperti Shanghai, Chungking, dan Peking, sebelum akhirnya, pada 1937 memprorak-porandakan Nanking – ibukota Cina ketika itu. Perang Jepang-Cina sendiri berakhir pada 1945. Korban keseluruhan di pihak pasukan Cina yang dihitung pasca-Perang menyebut angka antara 1,5 juta hingga 6,3 juta. Tetapi jika angka itu diperluas meliputi kematian akibat pemboman massal di kalangan penduduk sipil, kelaparan akibat perang, kemiskinan hingga ke desa-desa, pembunuhan penduduk — yang menyertai strategi bakar-rampok-perkosa yang terjadi selama perang — jumlahnya bisa melonjak hingga ke angka 19-22 juta jiwa. Para aktivis Cina, juga pemerintah RRC, hingga sekarang bahkan menyebut jumlah hingga 35 juta. Gambaran ini diperoleh dari studi David Bruce MacDonald (2015).
Agresi Jepang terhadap Cina memang berlangsung sangat brutal. Buku Iris Chang, “The Rape of Nanking” (1997) khusus menyoroti kebrutalan penyerangan dan pendudukan Nanking yang terjadi sejak 13 Desember 1937. Selama enam minggu sejak itu hingga awal Februari 1938, Nanking digambarkan seperti ladang pembantaian manusia. Kisah-kisahnya sangat detail menggambarkan kekejian pembantaian.
Seperti halnya ketika merebut kota-kota sebelumnya, para komandan pasukan Jepang memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua tahanan dan menjarah rumah-rumah penduduk. Bagi pasukan Jepang, itu berarti tak ada lagi yang terlarang dalam perang. Dalam film “The Flower of War” (2011), pendudukan Nanking digambarkan dengan pengeboman seluruh penjuru kota selama 20 hari terus menerus. Kota menjadi porak poranda, gelap karena debu, dan penduduknya tunggang langgang melarikan diri.
Pembunuhan terhadap penduduk sipil Nanking umumnya dilakukan dengan membakar rumah mereka yang ditutup sehabis dijarah. Atau dipenggal dan ditembak di tepi lubang besar yang sebelumnya mereka gali atas perintah tentara untuk kuburan massal mereka sendiri. Banyak juga yang dikubur hidup-hidup bersama mayat-mayat. Korban sipil sering dijadikan objek lomba di kalangan pasukan samurai untuk adu cepat memenggal kepala. Permainan ini sangat terkenal di kalangan tentara Jepang untuk memproduksi algojo samurai. Hampir tidak ada penduduk Nanking yang laki-laki selamat dari pembataian. Perkiraan jumlah korban total adalah 200.000 hingga 300.000.
Ketika pasukan Jepang menjarah rumah-rumah penduduk, perempuan penghuninya biasanya diseret ke luar. Terjadi perkosaan keroyokan (gang-rape) di jalanan setelah itu. Tak jarang korban dibunuh atau dibiarkan pingsan ditinggalkan para pemerkosanya yang melanjutkan penjarahan berikutnya. Metode perkosaan lain adalah bahwa komandannya memerintahkan perkosaan satu-satu di tempat tertutup, dengan ketentuan bahwa setelah selesai pelakunya harus memberi uang atau membunuh korban! Perempuan yang lagi hamil dbayonet perutnya, atau disodomi dengan menggunakan bambu. Perempuan yang dianggap tidak memberikan kepuasan seksual dipotong payudaranya atau dirusak wajahnya. Hampir setiap hari terjadi seribu perkosaan dengan sebagian besar korban mati dibunuh. Perkiraan jumlah total korban pemerkosaan selama 6 minggu pendudukan Nanking berkisar antara 20.000 hingga 80.000 orang.
***
Sekelumit gambaran tentang kekejaman fasisme militer itu tak lepas dari doktrin kekaisaran Jepang yang kolonialistik-ekspansif. Indoktrinasi tentang keunggulan bangsa Jepang bersifat sangat rasis, juga secara internal sangat feodal. Salah satu ajaran feodalistiik itu adalah bahwa tidak ada kemuliaan bagi prajurit kekaisaran kecuali mengabdi kepada sang Paduka Kaisar, Tenno Haika. Nilai terbesar kehidupan setiap prajurit adalah membawa kemenangan dan rampasan perang dari negara jajahan. Sebaliknya, tak ada kehinaan yang lebih busuk selain tertangkap sebagai tawanan pihak musuh. Lebih baik bunuh diri daripada menjadi tawanan perang. Doktrin ini melumuri spirit semua tentara Jepang yang terkenal bengis dan kejam itu. Ini yang membuat negeri-negeri jajahan Jepang di seluruh Asia — Cina, Korea, Filipina, Indonesia — sangat mendendam kelakuan Jepang.
Selain Jerman, Jepang adalah pihak yang kalah dalam Perang Dunia II. Trauma karena bom nuklir yang dijatuhkan AS di Nagasaki dan Hiroshima, membuat Jepang melakukan pertobatan untuk tak lagi menjadi negara imperialis militer di Asia. Mereka melupakan kesalahan mereka sendiri dengan menutupi kekejaman masa lalunya. Tapi pilihan politik itulah yang justru membuat Cina dan Korea sangat marah, hingga kini. Kedua negara ini masih sangat mendendam terhadap kekejaman Jepang di masa lalu.
Pada 2015, ketika memperingati 70 Tahun Berakhirnya Perang Dunia II, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan permohonan maaf karena kolonialismenya di masa lalu. Tapi Jepang tak pernah mengakui kekejaman tentaranya dan kejahatan perang yang dilakukannya, termasuk di Nanking.