Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-1)

Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-1)

Sejarah Islam dan Siasat Menghadapi Militerisme (Bag-1)

“Tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manutun bi al-maslahah”

(Kebijakan pemimpin pada rakyatnya tergantung pada kemaslahatan)

Qaidah Fiqhiyyah

 

Sejak dari kemunculan awalnya, Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW harus menanggung beban adanya konsolidasi yang sifatnya militeristik. Hal ini tak terelakkan karena konsolidasi militer para kafir Quraisy terhadap komunitas muslim yang baru terbentuk di Yatsrib, belakangan Medinah. Pengorganisasian ala militer mau tak mau harus dilakukan. Hal ini khususnya  tampak dalam perang Khandaq (Parit), di mana komunitas muslim membikin parit di sekeliling Medinah dan bekerjanya intelijen sebagai bagian dari siasat militer. Pentingnya taktik dan strategi militer menjadi hal yang lumrah.

Namun demikian, penting dicatat bahwa kemunculan Islam dengan warna militeristik tidaklah hal yang linear. Berkaitan dengan ekspedisi militer Islam, Maulana Wahiduddin Khan, sarjana Islam kontemporer, di dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Humanity (2000) menegaskan bahwa perang yang dilaksanakan nabi secara statistik memiliki korban yang sedikit. Maksudnya adalah bahwa perang yang dilancarkan merupakan pilihan terakhir di saat tak ada lagi pilihan lain.

Khan menyebutkan bahwa,“Selama 23 tahun revolusi ini dilancarkan, ada 80 ekspedisi militer yang berlangsung. Nabi sendiri hanya ikut sekitar 27 dari ekspedisi tersebut, dan bahkan jumlah ekspedisi yang terlibat dalam peperangan malahan lebih sedikit. Sekitar 259 muslim dan 759 non-muslim tewas dalam pertempuran-pertempuran ini, dengan jumlah total 1018 yang tewas.”

Perang merupakan momen kritikal di mana segalanya campur aduk. Namun, banyak dari tarikh-tarikh sejarah Islam yang menceritakan selain kebobrokan moral di saat-saat perang, tapi ada juga tuturan tentang keunggulan moral yang juga muncul di saat-saat perang tersebut. Penaklukan Mekkah (Fathu Makkah) menggambarkan antiklimaks di mana hanya sedikit korban yang jatuh dan bangunan tidak dirusak.

Khalifah Abu Bakar bahkan menegaskan tentang 10 aturan bagi tentara Muslim. Seperti dikisahkan al-Thabari, sejarawan Islam, dalam Tarikh al-Tabari, “Wahai manusia, aku menuntutmu sepuluh aturan, dengarkan dengan seksama. Wahai manusia, berhentilah, aku akan memberikan sepuluh aturan sebagai pedoman di medan pertempuran. Jangan berkhianat atau menyimpang dari jalan yang lurus. Dilarang memotong-motong (mutilasi) mayat. Jangan membunuh anak-anak, wanita, atau pun orang lanjut usia. Jangan merusak pohon, atau pun membakarnya, khususnya yang berbuah. Jangan membunuh jamaah musuh, itu aman untuk makananmu. Engkau mungkin dibiarkan lewat oleh mereka yang mengabdi di biara, jangan sentuh mereka.”

Pesan Abu Bakar ini disampaikan pada ekspedisi militer yang dipimpin sahabat Usamah bin Zayd. [bersambung]