Hubungan atau relasi muslim dengan penganut hindu, yang merupakan mayoritas penduduk India, bisa dikatakan memang sangat rentan disulut konflik. Yang terbaru adalah seorang politisi India, Nupur Sharma selaku juru bicara partainya Bharatiya Janata (BJP), yang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW di sebuah acara televisi.
Ia berdalih kalau yang ia lakukan adalah pembelaan atas yang dilakukan lawan bicaranya terhadap dewa Siwa. Mengutip CNBC Indonesia, stasiun televisi yang menayangkan acara tersebut pun telah menurunkan video itu. Namun respon tidak hanya dari kalangan muslim di dalam India sendiri, tapi dari banyak negara termasuk negara mayoritas muslim.
India sebagai sebuah negara, memang mewarisi konflik muslim-hindu berkepanjangan bahkan sejak awal berdirinya. Sebagian muslim di awal menjelang kemerdekaan India kemudian mendirikan negara Pakistan dengan argumen untuk memberikan hak yang semestinya untuk muslim.
Namun, sebagian kecil muslim tidak berpindah di Pakistan dan tetap bertahan di India. Sebagian kecil muslim dan mayoritas Hindu inilah yang relasinya juga rentan bergantung kepada kecenderungan politik penguasa India. Banyak analis menyebut apa yang terjadi hari ini karena memang Perdana Menteri India saat ini, Narendra Modi, didukung oleh kekuatan sipil yang menginginkan supremasi Hindu dalam pengertian yang maksimal.
Muslim Mendukung Kerajaan Hindu: Kisah Paradesi dan Mappilas
Cerminan sejarah banyak menyebutkan kalau masalah utama tensi konflik Muslim-Hindu di India adalah karena sama-sama merujuk kepada sejarah yang menyebutkan kalau masing-masing pihak adalah penakluk kejayaan kelompok masing-masing. Muslim mayakini kalau Islam Berjaya di India di bawah Dinasti Mughal dan kondisi saat ini meniscayakan kemunduran. Sebaliknya, umat Hindu menganggap apa yang dilakukan oleh Dinasti Mughal dan dinasti Islam lainnya adalah penjajahan terhadap kerajaan Hindu yang sudah ada.
Sebenarnya, di abad ke-15, ada satu fragmen sejarah di mana komunitas Muslim mendukung kerajaan Hindu secara penuh. Nama kerajaan Hindu yang dimaksud adalah Zamorin, atau dalam bahasa Arab adalah Kerajaan Samuri, yang memimpin sepanjang pantai barat India dan pusat kekuasaanya berada di daerah yang kini disebut Kalikut (Inggris: Calicut; Khozikode).
Mereka menguasai sepanjang pantai barat anak benua India hingga ke bagian pertengahannya, khususnya di wilayah India. Dalam artikel an Abode of Islam under a Hindu King: Cirtuitous Imagination of Kingdoms among Muslims of Sixteenth-Century Malabar yang ditulis oleh Mahmood Kooria, Kerajaan Zamorin sebenarnya adalah bagian dari kerajaan-kerajaan kecil yang kemudian menjadi paling kuat sejak abad ke-12 ketika kerajaan Muslim berjatuhan. Berasal dari wilayah utara, mereka pun berhasil menguasai jalur perdagangan laut dan pertanian. Karenanya, para rajanya disebut Samutiris atau Samudra Raja (King of the Ocean) (h. 90).
Muslim di bawah kekuasaan Zamorin tidak dikenal bahkan dieksklusi. Pasalnya, pantai barat India adalah bagian dari samudera India yang menghubungkan langsung jazirah Arab dengan anak benua India. Sehingga, dalam catatan sejarah pun, Arab sebelum Islam sudah mencatat koneksi dengan pantai barat Malabar India melalui samudera India. Bahkan ada catatan bahwa Islam pertama kali masuk wilayah India juga di pantai barat India.
Sementara Islam yang masuk melalui wilayah utara India adalah dilakukan melalui suksesi. Menurut Tome Pires, hampir seluruh pedagang dan pelaut di Malabar adalah muslim. Mereka dikenal sebagai orang-orang Moor. Sebagian orang-orang Arab, disebut sebagai paradeśi. Orang-orang inilah yang menjadi penghubung terhadap perdagangan komoditas mereka dengan wilayah-wilayah di jazirah Arab sampai Eropa. Mereka juga dibantu oleh generasi kedua mereka yang merupakan hasil pernikahan dengan wanita India lokal. Mereka dikenal sebagai Mappilas.
Merespon Upaya Penjajahan Portugis
Singkat cerita, di awal abad ke-16, Vasco da Gama, pelancong asal Portugis yang merapat di pantai Malabar, India, di tahun 1502 meminta raja Zamorin untuk mengusir semua muslim dari wilayah kekuasaan Zamorin. Tujuannya, agar Portugis menjadi mitra tunggal raja dalam perdagangan rempah. Da Gama menggunakan sentimen dengan menjajikan keuntungan agar hanya kepada orang asli, bukan kepada orang asing. Kerajaan Zamorin menolak permintaan Vasco da Gama dengan tegas bahwa tidak mungkin mengusir lebih dari 4.000 keluarga dari Zamorin.
Merespon hal ini, para intelektual Muslim di wilayah Zamorin kemudian menulis sejumlah pidato, kitab, dan puisi. Mereka menegaskan bahwa Kerajaan Zamorin bisa dikategorikan sebagai Dar al-Islām (abode of Islam) dan bukan wilayah peperangan (Dār al-Harb/Abode of Infidels). Mereka juga menuliskan narasi yang memuji kerajaan Hindu Zamorin sebagai pengusung kualitas moral dan politik yang leboh baik dibanding kekuasaan Muslim sendiri. Pasalnya, kerajaan Islam di pantai barat India di waktu itu setuju untuk bekerjasama dengan Portugis dengan alasan agar mereka mendapatkan keuntungan yang menurut mereka selama ini didominasi oleh kerajaan Hindu Zamorin.
Sejumlah ulama yang menulis karya untuk merespon persoalan ini misalnya Zayn al-Dīn al-Malībārī (penulis kitab Fath al-Mu’īn yang dikenal luas di Indonesia, dipastikan demikian karena Kooria menyebut Zayn al-Dīn ini pernah belajar kepada Ibn Ḥajar) menulis kitab yang menjelaskan alasan jihad melawan Portugis dan sejarah hubungan Portugis dan Kerajaan Zamorin dengan nama Tuhfatu al-Mujāhidīn fī Ahwāl al-Burtughāliyyin. Ada lagi misalnya yang ditulis oleh Muhammad al-Kālikūtī (w. 1616? H) yang menulis kitab Fath al-Mubīn, Khutbah Jihādiyyah dan Qāsidah Jihādiyyah atau Zayn al-Dīn (yang berbeda dengan penulis kitab Fath al-Mu’īn) yang menulis kitab Taḥrīḍ Ahl al-Īmān.
Menurut Kooria, yang penting dicatat dari karya-karya tersebut adalah justru dukungan penulis komunitas masyarakat Muslim kepada penguasa Hindu Zamorin. Alih-alih merujuk kepada pandangan mendasar dalam fikih Jihad yang seringkali hanya memisahkan antara wilayah berdasarkan keimanan, yaitu Dār al-Islām dan Dār al-Harb, Kerajaan Zamorin tidak didefinisikan sebagai wilayah kafir. Kategorisasi baru juga muncul yaitu Dār al-Ṣulh atau Dār al-‘Ahd dan Dar al-Āmān.
Kategorisasi yang terakhir ini sebenarnya tidak berbeda dengan Dār al-Islām, namun ini menjadi kecenderungan menarik di kalangan penganut mazhab Syafi’i di masa itu sendiri yang mengadopsi pandangan mazhab Hanafi tentang definisi Dār al-Islām sebagai wilayah yang penguasa memberikan proteksi kepada urusan muslim bahkan mengangkat seorang Qāḍī untuk untuk mengurus urusannya. Kelak, diskusi dikotomi Dār al-Islām dan Dār al-Harb di jazirah India ini kembali mencuat ketika India dibawah koloni Inggris di sekitaran abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20.