Berbincang perihal Al-Qur’an, barangkali tak pernah purna. Berbagai pendapat selalu mewarnai setiap perkembangannya. Salah satu pembahasan yang mempunyai porsi cukup luas adalah tentang sejarah Al-Qur’an. Pembahasan tersebut seringkali dikaitkan dengan pertanyaan mengenai keotentisitasan Al-Qur’an. Apakah Al-Qur’an yang beredar dan digunakan sampai hari ini sudah memuat pesan yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Nabi atau justru sebaliknya?
Jika melihat catatan sejarah, maka Al-Qur’an yang beredar dan digunakan sampai saat ini adalah Al-Qur’an yang melalui proses panjang pada setiap pengumpulannya. Secara umum, terdapat dua metode dalam hal pengumpulannya, yaitu metode menghafal dan metode menulis. Dalam konteks sejarah pengumpulan Al-Qur’an, setidaknya terdapat tiga periodesasi. Pertama, periode Nabi Muhammad saw. Kedua, periode Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketiga, periode Usman bin ‘Affan.
Pertama, Periode Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw adalah seorang hafidz pertama sekaligus contoh paling baik perihal hafalan Al-Qur’an-nya. Pengumpulan pada periode ini lebih dominan pada hafalan, karena mayoritas masyarakat dimana Al-Qur’an diturunkan adalah seorang ummi, sebagaimana terkandung dalam (Q.S. Al-Jumu’ah: 2).
Salah satu keistimewaan dari seorang ummi adalah mempunyai hafalan yang cepat dan kuat. Mereka terbiasa menghafalkan syair dengan jumlah banyak. Maka tidaklah mengherankan jika banyak para sahabat yang hafal al-Qur’an pada periode ini. Dalam kitab Shahih Bukhari, setidaknya tercantum tujuh nama yang sering disebut sebagai hafidz al-Qur’an, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Lebih lanjut, secara rutin pada setiap tahunnya, malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad Saw untuk membaca dan menyimak secara bergantian. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga hafalan Al-Qur’an Nabi. Bahkan pada satu tahun terakhir sebelum beliau wafat, beliau membacakan seluruh isi kandungan Al-Qur’an sebanyak dua kali. Sebagaimana riwayat berikut;
Fatimah binti Muhammad berkata: “Nabi Muhammad SAW memberitahukan kepadaku secara rahasia; malaikat Jibril hadir membacakan Al-Qur’an kepadaku dan aku membaca untuknya setahun sekali. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan Al-Qur’an sebanyak dua kali. Fatimah kemudian menambahkan saya tidak berpikir lain kecuali, rasanya kematian beliau sudah dekat”.
Dalam riwayat tersebut terkandung makna bahwa ketika Nabi Muhammad SAW wafat, Al-Qur’an telah dihafalkan oleh beliau secara lengkap sebagaimana yang diwahyukan dan telah diajarkan secara lengkap juga kepada para sahabatnya.
Tidak berhenti pada hafalan, pengumpulan Al-Qur’an pada periode ini juga dilakukan dengan tulisan. Beberapa sahabat yang diangkat untuk menulis Al-Qur’an, diantaranya: Zaid Bin Tsabit, Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ubai Bin Ka’ab.
Dalam hal menulis, mereka selalu berpedoman untuk tidak menulis selain Al-Qur’an. Alat yang digunakan pun masih sangat sederhana seperti ‘usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta).
Kedua, Periode Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada periode Abu Bakar Ash-Shiddiq, terjadi banyak kekacauan, terutama kekecauan yang dipimpin oleh Musailamah al-Khadzdzab bersama para pengikutnya. Salah satunya adalah Perang Yamamah yang terjadi pada 12 H, tercacat sekitar 70 penghafal Al-Qur’an dari para sahabat gugur. Bahkan ada riwayat lain yang menyebutkan sekitar 500 orang, dan mengakibatkan al-Qur’an musnah.
Berangkat dari peristiwa tersebut, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an dalam sebuah mushaf. Umar khawatir bahwa Al-Qur’an akan hilang jika hanya mengandalkan para penghafal Al-Qur’an, terlebih ketika semakin banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam peperangan.
Pada mulanya, Abu Bakar menolak usulan Umar dengan alasan bahwa Nabi tidak pernah melakukan sebelumnya. Selanjutnya, Abu Bakar menceritakan kekhawatiran Umar kepada Zaid bin Tsabit. Respon Zaid pun tak jauh berbeda dengan Abu Bakar, bahkan Zaid mengungkapkan “seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidak lebih berat bagiku daripada mengumpulkan al-Qur’an yang engkau perintahkan.”
Namun, setelah mempertimbangkan perihal kebaikan dan manfaatnya, Abu Bakar dan Zaid pun menyetujuinya. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid untuk menuliskan Al-Qur’an, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, kecerdasan, serta kehadirannya dalam pembacaan terakhir kali.
Setelah Abu Bakar wafat pada 13 H, mushaf tersebut berpindah ke tangan Umar hingga beliau wafat. Setelahnya, berpindah lagi ke tangan Hafsah, putri Umar yang pernah menjadi istri Nabi yang juga hafidzah dan pandai baca tulis, atas wasiat Umar.
Ketiga, Periode Usman bin ‘Affan
Pada periode Usman bin’ Affan, wilayah penyebaran Islam semakin luas, para pengajar Al-Qur’an pun diperlukan lebih. Huzdzaifah bin Yaman, seorang pemimpin prajurit Islam di perbatasan Azerbaijan dan Armenia, melihat perbedaan di kalangan umat Islam dalam membaca Al-Qur’an. Beliau khawatir jika perbedaan tersebut lambat laun akan mengancam kesatuan Al-Qur’an dan persatuan umat Islam di kemudian hari.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Huzdzaifah segera pergi menemui Usman dan berkata, “aku telah memberikan peringatan secara terbuka, karena itu dimohon kepada khalifah untuk menemui umat Islam.”
Menurut beberapa riwayat, Usman mengadakan pertemuan dengan para sahabat, setelah menerima laporan tersebut. Hasil akhirnya adalah dengan menyeragamkan umat Islam pada satu mushaf sehingga tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan.
Lebih lanjut, Usman bin ‘Affan mengambil beberapa langkah sebagaimana terkandung dalam riwayat Bukhori; Pertama, meminjam mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa Abu Bakar kepada hafsah untuk disalin ke dalam beberapa mushaf.
Kedua, membentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Ketiga, setelah panitia selesai melakukan tugasnya, maka mushaf-mushaf tersebut dikirim ke berbagai pusat negeri Islam.
Keempat, memerintahkan kepada kaum Muslim di seluruh negara Islam untuk membakar semua mushaf dan catatan-catatan al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf yang telah mereka terima.
Dari catatan sejarah perihal pengumpulan Al-Qur’an di atas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an yang beredar dan digunakan sampai hari ini adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Walaupun telah melalui proses panjang dalam hal pengumpulannya. Akan tetapi, segi keotentikan Al-Qur’an tetaplah terjaga. Selain karena dijamin langsung oleh Allah, dalam hal pengumpulannya pun sangat hati-hati dan hanya dilakukan oleh orang-orang terpercaya.
Wallahu A’lam