Presiden Soekarno adalah kader dari organisasi Keagamaan Muhammadiyah dan ternyata banyak orang yang tidak tahu. Tapi pertanyaannya, bagaimana ia jadi kader ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut?
Salah satu yang melatarbelakanginya adalah keterpukauan bapak Republik itu kepada KH Ahmad Dahlan.
Bagi Bung Karno adalah sosok revolusioner yang membawa nilai Islam selangkah lebih maju terkait pendidikan. Ia tertarik pemikiran soal pendidikan yang dibawa KH Ahmad Dahlan yang mengedepan visi pemberdayaan umat tanpa menihilkan ke-modernan-an sebagai arah gerak zaman.
Hal ini yang membuat Soekarno muda terpantik untuk mempelajari Islam dan Muhammadiyah, konsep yang membuat ia dekat dengan Muhammadiyah secara organisasi.
Kelak, Soekarno menyunting kader Aisyiah, gerakan perempuan di Muhammadiyah, bernama Fatmawati di Bengkulu. Sejarah mencatat, sosok perempuan ini di kemudian hari menjadi sosok Ibu Negara dan Pahlawan Nasional. Beliau juga yang menjahit bendera merah-putih yang tetap berdiri sampai sekarang.
Kedekatan dengan Muhammadiyah inilah yang membuat Soekarno berwasiat. Ketika ia wafat, pendiri republik ini ingin dimakamkan secara Muhammadiyah.
Dalam laporan interaktif Kompas.id bertajuk Mereka Lahir dari Muhammadiyah, menukil makalah Ketua Muhammadiyah sekaligus mantan KPK Busyro Muqoddas 2015 lalu di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Bung Karno ingin bendera Muhammadiyah melekat dalam dirinya.
Pada tahun 1962 ketika Muktamar Muhammadiyah dan organisasi itu sudah menginjak 50 tahun, Bung Karno ingin dikafani secara Muhammadiyah ketika nanti wafat.
“Bungkuslah saya dengan bendera Muhammadiyah,” kata Bung Karno.
Lantas, kapan Soekarno menjadi kader Muhammadiyah?
Bung Karno, sapaan akrab Presiden Soekarno, tertarik dengan Muhammadiyah sedari kecil. Ia jadi kader sejak tahun 1930 dan pernah jadi pengurus di Majelis Pendidikan dan Menengah di Bengkulu.
Beberapa tahun sebelum pengusiran ke Bengkulu, menurut Prof. Haedar Nashir, Soekarno bahkan sudah jadi kader Muhammadiyah.
“Sejak menimba ilmu dan mengajar di rumah Hos Cokroaminoto, Bung Karno tertarik pada pikiran-pikiran Kyai Dahlan yang menghadirkan kemajuan. Setelah itu, Bung Karno resmi menjadi anggota Muhammadiyah,” tutur ketua PP Muhammadiyah itu di situs resmi Muhammadiyah.
Ketika di Bengkulu dalam pengasingan tahun 1938, Bung Karno kian getol mempelajari Muhammadiyah dan gerakan islam progresif yang dibawa organisasi Islam yang berdiri sejak tahun 1918 itu.
Bagi Soekarno waktu itu, Muhammadiyah cocok dengan metode berpikir kritis yang ia anut. Berpijak sosialisme-marhaenisme yang jadi alam pikir Bung Karno, Muhammadiyah secara konsep dianggap mewakili kemajuan yang dicita-citakan sosok dengan nama kecil Koesno tersebut.
“Bung Karno mengatakan kenapa saya masuk menjadi anggota Muhammadiyah karena Muhammadiyah bagi dia sesuai dengan alam pikirannya, yakni menghadirkan Islam yang progresif, dan Kyai Dahlan menghadirkan regeneration dan redifination atau peremajaan dan pemudaan pemikiran Islam dan gerakan Islam,” ujar Haedar.
Itulah sisi lain Soekarno atau Bung Karno sebagai kader Muhammadiyah.
Ia tidak hanya dekat secara organisasi, tapi juga lekat dengan pemikiran dan gagasan KH Ahmad Dahlan tentang kemajuan Islam dan realitas masyarakat yang ada di Indonesia.