Kalau saya diperbolehkan berangan-angan, misalnya diberi satu permintaan yang pasti dikabulkan Tuhan, maka saya akan minta ini: “Ya Robb, Tuhanku Yang Maha Penyayang, perkenankan Engkau hadirkan lagi kekasihMu, manusia terbaik dan termulia, Kanjeng Nabi Muhammad SAW agar saya bisa membersamainya hari ini saja, besok juga gapapa, atau lusa, atau kapanpun deh. Please Ya Allah… please…”
Saya yakin, Tuhan tidak pernah keberatan pada permintaan apapun dari hambaNya. Lagipula, Dia sendiri kan yang menjamin, “berdoalah padaKu, maka akan Kukabulkan”. Jadi ya sah-sah saja dong punya pengharapan, asal disampaikan padaNya, termasuk jika ingin bisa ketemu langsung dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Habis mau gimana lagi, seumur hidup ini, saya belum pernah mimpi ketemua Kanjeng Nabi. Memang benar, jangankan menjalani riyadhoh untuk mendapat karunia mimpi itu, mengetahui rumusan metodenya saja saya tidak paham. Jadi, langsung shortcut, saya mau nekat saja lah berdoa dengan permohonan yang langsung pol: bersama Nabi SAW, seperlelapan aja.
Lantas mau apa kalau sudah bersama Kanjeng Nabi SAW?
Lah, ya melihat wajah beliau saja sudah merupakan karunia luar biasa, kenapa harus repot merencanakan mau apa? Dan, memang, saya tidak punya rencana muluk-muluk mau tanya ini itu kok, apalagi mempersoalkan perkara besar-besar seperti masalah keumatan, perbedaan cara menjalani agama, atau urusan negara yang serba semrawut. Tidak lah, tidak.
Juga tidak perlu deh kayaknya berlagak siap jadi partner curhat untuk mendengar keluhan Beliau yang katanya lagi dihinakan pihak tertentu belakangan ini. Sebab saya yakin, beliau tidak tersinggungan dan tidak ambil pusing pada soal itu.
Barangkali, mendapat kesempatan ketemu beliau adalah kelewat berharga kalau saya habiskan untuk urusan-urusan begituan. Meskipun nasehat, arahan, dan kebijaksanaan beliau pada apapun persoalan sudah pasti ces pleng, tapi tetap bukan untuk agenda icikiwir seperti itu saya berharap ingin bertemu Kanjeng Nabi.
Saya sekadar ingin ngekor Kanjeng Nabi selama seharian itu saja. Dalam apapun kegiatan dan aktivitas beliau. Disuruh apa saja saya mau, meskipun saya yakin Kanjeng Nabi bukan model manusia yang suka nyuruh ini atau nyuruh itu seenaknya.
Saya juga yakin Kanjeng Nabi tidak akan kaget kok melihat kondisi kita yang lagi seperti. Kita yang jadi mayoritas umat, menyepakati negara yang mendasarkan pada asas Tauhid dengan kaidah Ketuhanan, namun pada saat yang sama juga sedang gila dunia, mengumpulkan yang tidak abadi, yang nggak beliau banget, pasti semuanya itu telah beliau ketahui secara presisi.
Sebab, sekalipun beliau telah mangkat, yang meninggal itu kan jasadnya saja. Karena toh hidup manusia kan tidak selesai di kuburan belaka, melainkan masih sangat panjang setelahnya. Benar bahwa Kanjeng Nabi telah wafat, tapi beliau hidup dalam dimensi yang lain. Sanubari. Bahkan, tak hanya hidup di hati umatnya, namun Beliau SAW benar-benar hidup dalam sistem dimensi yang berbeda dengan yang sedang kita alami.
Maka, saya kok meyakini, beliau sudah tahu persis apa yang sedang terjadi saat ini lengkap dengan detail polah tingkah manusia modern yang mengaku umatnya ini, sehingga mungkin Kanjeng Nabi diam-diam menahan malu melihat kelakuan kita. Berangkat dari situ, manuver Kanjeng Nabi pasti akurat dan solutif dalam membereskan carut-marut keadaan. Tak sampai sehari pasti beres.
Justru yang perlu saya khawatirkan, kalau doa itu benar-benar terjadi, adalah diri saya sendiri yang tak siap. Takutnya, saya akan bersikap tidak sabaran, seperti halnya Nabi Musa yang pada akhirnya dicap ‘gagal’ saat membersamai pada Nabi Khidir karena terlalu banyak tanya. Tentu saja tidak perlu berpikir bahwa saya sedang menyamakelaskan diri dengan Baginda Musa lho ya.
Dalam rundown “Sehari Bersama Kanjeng Nabi” itu, saya khawatir banyak mengalami kekagetan kalau-kalau pendekatan beliau dalam menyikapi persoalan tidak sesuai prediksi atau perkiraan saya. Tentu saja hal itu semata-mata berangkat dari keterbatasan keilmuan dan pengetahuan saya mengenai beliau dan ajaran agama ini.
Tapi justru karena itulah saya berharap, dengan melihat langsung aksi Kanjeng Nabi mengatasi semrawutnya kehidupan modern, secara empiris saya akan mendapat contoh nyata bagaimana cara menyikapi dunia yang semakin tak masuk akal ini.
Kehidupan yang arus mainstreamnya mutlak berlawanan dengan yang beliau dulu ajarkan. Melihat bagaimana beliau mengambil sikap dalam perannya sebagai rahmatan lil alamin, pasti seru sekali.
Di penghujung hari, setelah beliau beres dengan segala urusannya, sesaat sebelum berpisah, saya akan mendekat-dekat, nekat cari muka di depan beliau. Siapapun yang mencoba menghadang, pasti saya sikat. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Saya tak boleh kehilangan moment berharga yang sempit itu.
Saya akan memperkenalkan diri kepada Kanjeng Nabi. Itung-itung agar beliau tahu dan mengenal saya agar kelak menjadi bekal kebahagiaan, kesuksesan, dan keselamatan saya di dunia dan kehidupan setelahnya.
Jujur saja saya berharap, saat itu, ketika saya memperkenalkan diri, beliau menjawab dengan senyumnya yang terkenal menentramkan itu, “Lho, lha yo wis kenal to Nggar. Sip!”
Duh, jawaban itu pasti cukup membuat saya merasa tuntas akan hidup ini.
Ah, andaikan angan-angan itu benar terjadi… pastilah salam dari Anda sekalian akan saya sampaikan, tanpa pernah menitip, tanpa pernah meminta terlebih dahulu. Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad…