Jagat Twitter kembali ramai dengan cuitan kocak para Netizen bernada sarkasme pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharam Netflix, meskipun ternyata MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa tersebut. Terlepas dari wacana MUI untuk mengeluarkan fatwa, mari kita bahas sedikit, tentang apa sebenarnya fatwa itu?
Fatwa sederhananya adalah jawaban atas persoalan hukum yang belum diatur ketentuannya. Karenanya, dalam fatwa, selalu ada orang yang bertanya (mustafti), orang yang menjawab fatwa (mufti), dan jawabannya disebut sebagai fatwa. Jadi MUI dalam mengeluarkan fatwa pasti karena ada yang bertanya atau permintaan terlebih dahulu.
Soal siapa yang berhak mengeluarkan fatwa, fatwa bisa saja dikeluarkan oleh pribadi, maupun kelompok atau organisasi. Namun yang jelas, tidak semua orang bisa mengeluarkan fatwa. Ia harus memenuhi kriteria mujtahid, seperti faham bahasa Arab, nasikh mansukh, ijmak, dan lain sebagainya. Bahkan Rasul pun sangat berhati-hati soal fatwa ini, ada sebuah hadis yang isinya sebagai berikut, “Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka (HR Ad-Darimi).
Lantas, apakah fatwa MUI wajib hukumnya untuk ditaati? Jawabannya tidak. Fatwa MUI sebagai produk hukum yang tak mengikat, sebagaimana imam As-Syatibi katakan, fatwa adalah keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti, beda halnya dengan putusan pengadilan yang bersifat ilzam(mengikat), ada ruang untuk memilih, hendak mengikuti atau tidak. Dan jangan sampai fatwa MUI menjadikan alat paksa bagi siapapun yang mempunyai sikap berbeda dengan kita, itu bahaya. Silakan baca lengkapnya di sini.
Dalam tataran hukum negara juga begitu, fatwa tidak masuk pada peraturan yang wajib diikuti dan ditegakkan, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari: (1) UUD 1945; (2) Ketetapan MPR; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); (4) Peraturan pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten. Lain soal jika kemudian fatwa MUI misalnya, sudah diserap dalam perundang-undangan, maka konsekuensinya wajib diikuti, namun selama hanya bersifat fatwa MUI, kita tidak wajib mengikutinya.
Pemahaman seperti ini penting karena dikhawatirkan gagal paham masyarakat terhadap fatwa MUI dan tentu saja bisa berbahaya. Jika kemudian MUI mengeluarkan fatwa dan kita dianggap harus mentaatinya, lalu jika tidak maka akan berdosa, efeknya bisa jadi terjerat hukum negara. Itu bisa bahaya.
Sebaiknya jika kita bersikap biasa saja tentang MUI yang mewacanakan sebuah fatwa sebagai pandangan hukum, mengapa dikatakan haram dan halalnya, Toh setiap yang dikaji MUI tidak selalu berakhir dengan haram bukan? Jadi biasa saja, untuk sekadar guyon, apa yang hendak kamu haramkan jika kamu menjadi MUI jangan dianggap hal yang serius.
Terakhir, saya kurang sepakat dengan apa yang dikatakan Tengku Zulkarnain sebagai Wasekjen MUI yang mengatakan ,“Ada semacam grand design yang tersistematis. Mereka mengajak orang, ‘kita tidak usah patuh kepada fatwa ulama’, biasanya orang anti-Islam, orang yang mengaku nasionalis, komunis, tapi benci dengan agama”.
Hal ini berlebihan sebenarnya, apalagi hanya disandarkan pada opini pribadi tanpa ada sandaran riset sebagai bukti otentik pernyataannya. Apalagi jejak hoaks di akun media sosialnya yang bertebaran dan kita tinggal googling saja jika tak percaya, padahal ada fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017, tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial. Begitu.