Sebelum Presiden Jokowi Marah, Memangnya Pemerintah Fokus Pada Penyelesaian Pandemi?

Sebelum Presiden Jokowi Marah, Memangnya Pemerintah Fokus Pada Penyelesaian Pandemi?

Saya curiga, sebelum viral video Presiden Jokowi marah, pemerintah memang belum benar-benar fokus pada penyelesaian pandemi.

Sebelum Presiden Jokowi Marah, Memangnya Pemerintah Fokus Pada Penyelesaian Pandemi?
Jokowi ketika bersama dr. Terawan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Pertanyaan tentang apa sebenarnya fokus dan prioritas pemerintah kita selama pandemi ini memang layak diajukan dan didiskusikan. Apakah sebelum viral Presiden Jokowi marah, kesehatan dan keselamatan warga dari virus benar-benar menjadi “tujuan paling utama” atau malah ada prioritas-prioritas lain di luar itu. Apakah dimensi kesehatan tengah berdesakan dengan dimensi-dimensi lain untuk bisa diperhatikan pemerintah.

Sebelum Presiden Jokowi merilis video marah saat Sidang Kabinet Paripurna tanggal 18 Juni yang diunggah minggu kemarin (28/6), saya memang menaruh curiga kalau selama ini dimensi kesehatan sedang didesak oleh dimensi lain, apalagi setelah adanya kebijakan melonggarkan pembatasan dan kampanye new normal di saat pandemi belum sampai puncak. New normal ini kan dilakukan kalau kita sudah melakukan kebiasaan baru untuk memutus laju penyebaran virus, lah kita belum melakukan hal baru, kok diajak menerapkan kenormalan baru. 

Kecurigaan saya meruncing setelah melihat dua hal; pertama, video unggahan Bapak Presiden di Instagram pada tanggal 14 Juni dengan judul “TATANAN HIDUP BARU; Tetap Sehat, Tetap Produktif” dan kedua, kebijakan terbaru Mendikbud soal UKT Mahasiswa.

Dalam video unggahan Bapak Presiden, di sana jelas menunjukan bahwa kesehatan bukanlah prioritas satu-satunya. Saat negara lain membiarkan pertumbuhan ekonominya terseok demi kesehatan, negara kita malah menjadi negara yang fokus banget dengan pertumbuhan ekonomi, sampai-sampai saat ini pertumbuhan ekonomi kita bisa dibilang paling mending di dunia.

Dalam video itu, Presiden jelas mendudukan antara kesehatan dan ekonomi di posisi yang setara di tengah krisis kesehatan seperti saat ini. Dan alasan ekonomi ini lah yang menjadikan pemerintah buru-buru menerapkan new normal.

Mari kita sebentar mengandai, kalau kejadiannya terbalik. Misalnya, saat ini kita sedang mengalami krisis ekonomi, apakah pemerintahan kita juga mendudukkan kesehatan sebagai prioritas lainnya juga? Saat krisis ekonomi melanda, apakah pemerintah kita memperhatikan kesehatan warga rentan dari serbuan krisis yang mencekik? Hmm..

Kecenderungan mementingkan ekonomi di tengah masa pandemi mungkin akan diterima dengan rasa amat kecewa oleh beberapa pihak, semisal tenaga medis yang sudah 3 bulan bersusah payah ketika ingin kencing karena memakai APD sepanjang hari.

Belum lagi, masih dalam video itu, Presiden Jokowi juga seakan-akan menakut-nakuti kalau pandemi ini hanya berakhir ketika vaksin tercipta. Tentu ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis untuk dikatakan seorang Presiden. Karna fakta, ada negara di belahan dunia lain yang sudah mulai terbebas dari virus meskipun vaksin belum ada; Selandia Baru dan Vietnam, misalnya.

Narasi seperti ini cukup berbahaya karena akan mengakibatkan orang-orang semakin abai dan menyepelekan pentingnya tinggal di rumah saja. “Ya wes kerjo wae lah, toh virus iki gak mungkin mandek lek vaksin durung enek, yo ndongo wae tetep sehat.” (Ya sudah kerja saja lah, toh virus ini tidak mungkin berhenti kalau vaksinnya belum ada. Berdoa saja biar tetap sehat).

Dimensi kita dalam bernegara ini kan luas sekali, kenapa ya hanya ekonomi yang dimunculkan di permukaan oleh pemerintah, bahkan ekonomi juga disisipkan pemerintah ke dimensi-dimensi lain. Serasa ekonomi tak puas telah merebut prioritas pemerintah selama krisis kesehatan saat ini.

Pendidikan, ya, itulah dimensi yang saat ini juga tengah disusupi dimensi ekonomi. Momennya jelas, sudah saya tulis di muka; yakni respon Mendikbud soal UKT mahasiswa di tengah masa pandemi.

Kalau Anda mengikuti linimasa twitter, sebenarnya keresahan soal UKT ini sudah sering dikeluhkan mahasiswa. Paling awal yang saya tahu datang dari mahasiswa UIN Jogja, setelah itu disusul dari mahasiswa UIN Malang, kemudian UIN Bandung dan belakangan IPB. Saya kira masih banyak lagi mahasiswa yang mengeluhkan UKT selama pandemi, cuma radar saya saja yang tidak menjangkaunya.

Atas desakan-desakan dari mahasiswa itu, Mendikbud pun merespon dengan mengeluarkan kebijakan soal UKT selama pandemi ini. Namun, saya kira Mendikbud salah fokus.

Dari 5 aspek yang menjadi jawaban Mendikbud, mayoritas dari kebijakan itu hanya mengasumsikan bahwa UKT layak diturunkan dengan alasan orang tua/wali mahasiswa sedang terbelit ekonomi.

Kenapa kebijakan ini salah fokus? Karena ini urusan pendidikan, tetapi malah paradigma ekonomi yang dikedepankan. Bukannya kondisi ekonomi keluarga mahasiswa tak penting, tapi sebelum kita meloncat pada unsur-unsur sekunder, lebih baik kita fokus ke unsur primer terlebih dahulu; yakni pendidikan itu sendiri.

Sekarang gini, apa sih perbedaan paling mendasar dari proses belajar secara daring dan luring? Tentu fasilitas dan metode kan.

Selama ini orang belajar membutuhkan ruang kelas, AC, lampu, LCD, Spidol dan alat bantu belajar lain. Selama masa pandemi, media belajar dibonsai hanya menggunakan sebuah gawai penerima materi. Belum lagi untuk fasilitas-fasilitas lain yang tak bisa diakses seperti laboratorium, kegiatan praktikum sampai ngadem di perpus. Itu semua kan memiliki nilai dan harga, dan semuanya tidak bisa dimanfaatkan.

Taruh satu contoh pembelajaran yang tidak ditemui saat pandemi; praktikum. Kegiatan ini dilarang digelar karena adanya kerumunan di satu kelompok, praktikum juga akan mengabaikan protokol jaga jarak. Dalam praktikum dibutuhkan alat dan bahan yang diolah, setahu saya penganggaran itu dari UKT. Praktikum adalah salah satu kegiatan yang tidak bisa diwakili dengan cara daring, artinya, alat dan bahan tidak ada yang digunakan selama pandemi. Ada fasilitas pendidikan yang tidak bisa diserap selama pandemi.

Itu lah yang semestinya menjadi fokus Mendikbud dalam memberikan kompensasi dan solusi. Buka hanya memberikan beasiswa dan data untuk proses belajar, itu sudah wajib, nggak perlu dibahas.

Menanami logika seperti ini kan semudah memahami kenapa terjadi PHK selama pandemi. Ketika pandemi, produksi menurun, jumlah kebutuhan juga berubah, dan ujungnya tak bisa mengaji secara penuh. Akhirnya untuk efisiensi kerja, sebagian pekerja dirumahkan. Ekonomi dibahas dengan ekonomi, tidak loncat-loncat.

Namun saat ini, setelah viral video Presiden Jokowi marah berapi-api yang pokoknya apa-apa yang dilakukan pemerintah itu untuk 267 juta rakyat Indonesia, menarik untuk ditunggu apa sepak terjang yang akan dilakukan para pemangku amanat rakyat itu. Kalau memang urusan ekonomi itu penting, kita perlu uraian panjang dan mencerahkan yang menjelaskan urgensi ekonomi. Kalau memang kesehatan menjadi fokus, kita juga perlu tindakan nyata yang merepresentasikan niatan pemerintah.

Sejujurnya semakin ke sini, saya semakin khawatir. Corona sudah masuk ke berbagai pelosok desa, tetapi tidak pernah ada penanganan serius untuk desa. Tolong, Pak, Buk, serius dan fokus menghadapi pandemi ini. Saat saya menulis artikel ini, kondisi positif corona sudah tembus 50an ribu lebih, ini kalau sampai 83ribu dan melebihi Tiongkok, ini sunggu keterlaluan banget. Tinggal dicontoh aja lho, masak nggak bisa! [rf]