Sebagai orang islam di Indonesia, saya merasakan begitu banyak kemudahan: mayoritas dan segala aktivitas keagamaan yang gampang, tapi ketika saya berada di Jepang, kemewahan itu mayoritas hilang. Kisah ini bermula ketika November tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi Negeri Sakura sebagai salah satu peserta TAMU (Talk Muslim series) 2017 yang diselenggarakan oleh Japan Foundation, guna mempromosikan Islam Asia Tenggara kepada publik Jepang. Publik Jepang sendiri memiliki karakteristik yang unik: sedikit mengenal Islam dan sedikit berprasangka kepada Islam.
Biasanya, akibat sedikit mengenal ini, timbul banyak prasangka sehingga terjadi Islamophobia, seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa, tapi di negara ini memiliki sikap yang berbeda. Negara dengan dominasi penduduk Buddha dan Shinto ini membuat saya menjadi minoritas dalam semalam. Kemewahan sebagai mayoritas entah ke mana, hilang sudah. Perkara “yang mengobati” hanya bagaimana panitia memperlakukan kami: memberikan hotel yang stafnya informatif terhadap semua makanan yang disediakan dan memilihkan rumah makan yang menyediakan makan halal. Selain itu, mereka juga menyediakan ruang serba guna yang bisa digunakan sholat lima waktu dan menoleransi waktu untuk sekedar wudhu dan perkara lain menyangkut ibadah sehari-hari.
Mengingat sholat adalah mengingat kehadiran masjid di Indonesia. Salah satu bagian yang paling mencolok adalah masjid yang susah ditemukan di mana-mana. Terbiasa dengan menjamurnya masjid di mana-mana, rasanya berbeda menemukan masjid dalam bilangan jari di kota besar di Jepang. Perasaan yang berbeda juga ketika menemukan masjid di Kyushu di Fukuoka yang nyaris seperti bangunan pada umumnya kecuali pintu depan yang bergambar kubah dan papan nama di dalamnya.
Jarangnya masjid ini menjadikan saya teringat beberapa riset terkait PBM (Peraturan Bersama Menteri) 2006 terkait pendirian rumah ibadah di Indonesia. Peraturan yang diluncurkan sejak 2006 ini memperlakukan rumah ibadah dengan “sangat istimewa”. Ia diakui sebagai bagian dari kebebasan beragama tapi diperlakukan sedemikian rupa termasuk menjadi sesuatu yang rawan konflik sehingga harus diatur dengan ketat.
Atas dasar memelihara kerukunan, maka pendirian rumah ibadah memiliki dua syarat sekaligus, yakni syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum merujuk pada syarat pembangunan pada umumnya seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan syarat khusus. Syarat khusus ini berupa jumlah pengguna yang perlu mencapai 90 orang, dukungan masyarakat sebanyak 60 orang, rekomendasi dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), dan pada akhirnya izin dari kepala daerah setempat.
Saya mendadak teringat teman-teman minoritas yang kesulitan mendirikan rumah ibadah: gereja di Indonesia bagian barat dan masjid di Indonesia bagian Barat. Mereka adalah yang paling menderita menyusul pemberlakuan peraturan ini. Menemukan masjid, yang jelas ada, sudah merupakan tantangan tersendiri apalagi memulai pembangunan masjid yang belum tentu berhasil meskipun sudah ditempuh dengan berbagai cara. Di sini perjalanan saya sebagai minoritas dimulai.
***
Mengalami perasaan menjadi minoritas banyak diperoleh dari perjumpaan dan percakapan dengan publik Jepang. Dalam program sepuluh hari ini, saya menemukan banyak pertanyaan yang membuat saya berefleksi lebih dalam terhadap ke-Islam-an saya: apa yang saya lakukan sebagai orang Islam dan apa yang mereka harapkan dari seorang beragama Islam. Di Beppu University, kami mendapatkan pertanyaan tentang model jilbab yang tepat dalam Islam.
Saya dan Khotimun Sutanti, hanya kami berdua yang perempuan dalam rombongan ini, kompak menjawab bahwa jilbab memiliki model beragam dengan merujuk pada interpretasi terhadap ayat Alqur’an terkait penutupan aurat. Lain kali, interpreter kami Yoko-san bertanya tentang keberadaan kami berdua di dalam grup di antara 6 (enam) laki-laki lainnya. Ibu ini seperti membayangkan kami agak canggung mesti bersama dalam grup dengan komposisi timpang semacam ini sepanjang 10 (sepuluh) hari. Itu tidak masalah karena ini kegiatan yang positif yang akan berkontribusi kepada masyarakat, saya menanggapinya. Perkara yang dilarang bukan laki-laki dan perempuan berbicara seperti yang kami lakukan sehari-hari—yang dilarang adalah serumah seperti sebuah keluarga.
Pikiran saya sesungguhnya adalah beradaptasi dengan kegiatan dan kebiasaan selama di sana. Pertama, tidak boleh terlambat. Mereka bisa jadi maklum tetapi ini tentu memalukan bagi seorang tamu kepada tuan rumahnya yang sudah masyhur selalu tepat waktu. Pikiran kedua adalah menjaga stamina terutama stamina pikiran yang menuntut kita mendengarkan bahasa Jepang dan bahasa Inggris selama 8 (delapan) jam hampir setiap harinya. Namun demikian begitulah sebagian cara orang Jepang mengekspresikannya terhadap Islam.
Bagi beberapa orang mungkin menganggap percakapan ini biasa saja tetapi saya menikmati setiap percakapan ini. Ini menjadi kesempatan bagi saya untuk merefleksikan Islam yang menjadi keyakinan dan pengamalan sehari-hari. Hal semacam ini bagi mayoritas terkadang diambil sebagai sesuatu yang nyaris diambil secara alamiah tanpa pikir panjang.
Pada waktu yang lain, ketika mempresentasikan Islam di Indonesia, seorang hadirin mengajukan pertanyaan menggelitik: bagaimana mengatasi lahan yang terbatas terkait pemakaman Islam. Pertanyaan ini dilatarbelakangi tidak bertambahnya lahan untuk pemakaman Muslim di Jepang sementara kebutuhannya semakin meningkat. Menjawab pertanyaan begini ini, mau tidak mau mesti merujuk pada fiqh aqaliyyat, fikih untuk pedoman ketika menjadi minoritas. Sementara biasanya jenazah di Jepang dibakar, maka Muslim menguburnya sehingga perlu cara khusus dalam situasi ini.
Menemukan jawaban semacam ini bukan perkara mudah bagi saya yang terbiasa menjadi mayoritas ganda: sebagai bagian dari NU, menjadi bagian dari suku Jawa, dan tinggal di Pulau Jawa. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang tidak pernah mengalami perasaan menjadi minoritas. Dalam segala hal yang menantang, datang ‘hiburan’ dari seorang Muslim berkewarganegaraan Jepang. Pada sebuah percakapan informal, ia mengungkapkan kesannya tentang pola hubungan Iaki-laki dan perempuan yang cenderung rilekas dan terbuka. Percakapan di antaranya bukan sesuatu yang tabu atau patut dikriminalisasi seperti di negara tentu.
Saya bangga bukan kepalang ketika beliau menyatakan Indonesia seperti rumah baginya—apalagi perjumpaannya dengan Gus Dur ketika melawat ke Jepang seputar kuliah di al-Azhar. Keduanya belajar dan kemudian meninggalkan universitas tertua ini sebelum waktunya.
***
Banyak orang menyarankan agar bepergian jauh supaya bisa berwawasan luas dan menghargai sesama. Pendapat ini benar sekedar untuk menemukan keragaman di tempat asing. Cara makan, cara beragama, dan cara hidup lainnya akan membuat kita memahami orang lain. Namun menghargai mereka yang berbeda merupakan persoalan yang lain—ini tergantung cara kita mencerna pemandangan dan pengalaman yang telah kita dapatkan. Mereka yang menginternalisasi nilai-nilai selama perjalanan jauh ini biasanya akan berpikir banyak tentang perlakuan kepada minoritas—polanya berpikir ke dalam.
Menjadi minoritas cenderung menghadapi banyak kesulitan dan karenanya kita tidak perlu mempersulit mereka dengan beragam cara atas nama peraturan dan seterusnya. Karena menjadi minoritas selama 10 hari bukan sesuatu yang ringan maka tentu kita tidak bisa membayangkan rasanya menjadi minoritas sejak kelahiran hingga kematian. Dengan logika semacam ini, tentu kita semua bisa menghargai minoritas meskipun bukan dengan alasan yang seragam bernama kemanusiaan dan kewarganegaraan atau sekedar alasan sederhana bernama persahabatan dan persaudaraan.
Pilihan kedua, menjadi minoritas di negeri orang justru meneguhkan nalar mayoritas kita. Biasanya ini lebih banyak diwarnai opsi ke luar di mana asasnya adalah memberi-menerima: memberi sebanyak menerima dan sebaliknya. Minoritas di Indonesia mesti tahu diri karena sudah diperlakukan dengan baik dibandingkan di negara lain merupakan contoh pernyataan yang sering kita dengar sehari-hari. Mungkin kita menjadi paham dengan tradisi dan budaya lain namun ini justru menguatkan sentimen kita sebagai bagian dari mayoritas di mana standar kita terhadap minoritas “semakin meningkat”.
Artinya, minoritas seharusnya bersyukur karena diperlakukan manusiawi di Indonesia ketimbang di tempat lain. Kalau sudah begini, kita tidak tahu harus berkata apa lagi.
Saya memilih opsi pertama. Bagaimana dengan Anda?