Jutaan orang tidak menyadari bahwa dirinya bisa menjadi seorang misoginis. Kita mungkin salah satunya. Dengan belajar menjadi feminis, kita bisa meraih kehidupan yang seimbang tanpa harus mengorbankan pasangan. Jika demikian, kehidupan rumah tangga menjadi kehidupan yang maslahah, baik bagi semua.
Misoginis secara sederhana merupakan sikap merendahkan perempuan. Dalam struktur sosial patriarki, hal ini sangat mudah dijumpai. Lelaki menjadi makhluk dominan yang membelenggu akses terhadap perempuan dalam banyak hal. Meletakkan perempuan hanya di ruang privat, membatasi hak perempuan dalam kepemimpinan, dan banyak contoh lain masih terjadi sebagai bentuk pelaksanaan praktik misoginisme, baik disadari atau pun tidak.
Sayangnya kita terburu-buru antipati terhadap feminisme karena istilah ini muncul dari dunia Barat. Teori-teori feminisme pun disebut tidak cocok diterapkan di negara religius seperti Indonesia. Liberal, kelewat batas, tidak taat pada takdir, dan banyak lagi sebutan bagi gerakan feminisme. Padahal secara praktik, feminisme merupakan sebuah gerakan yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar feminisme berarti memperjuangkan kesetaraan. Apakah tidak boleh berbeda? Ya tentu saja berbeda. Lelaki dan perempuan diciptakan secara berbeda. Namun harus bisa dibedakan mana yang masuk wilayah budaya dan mana yang memang hanya bisa dijalankan perannya oleh lelaki atau perempuan karena struktur tubuh yang berbeda.
Misalnya, menyusui. Hal ini memang khusus bisa dilakukan oleh perempuan. Tubuh perempuan memungkinkan untuk menjalankan fungsi ini. Tetapi mengasuh anak tentu bukan kewajiban perempuan. Hal ini bisa juga dilakukan oleh lelaki.
Contoh lain adalah akses pendidikan dan ekonomi. Apakah perempuan boleh kaya dan pintar? Jika perempuan kaya dan pintar apakah ada lelaki yang berani mendekatinya? Tentu saja boleh. Ketika menikahi Sayyidah Khadijah, Nabi Muhammad SAW tidak merasa inferior karena Khadijah merupakan seorang perempuan cerdas dan kaya raya.
Hanya saja struktur budaya kita memang sangat patriarkis. Yang mengamini bukan hanya lelaki, tetapi sebagian perempuan masih menganggap dirinya makhluk yang lemah yang butuh dilindungi dan dijaga. Struktur yang sudah sedemikian lama terbentuk ini memang butuh waktu untuk dibongkar.
Kita bisa belajar bagaimana keluarga Nabi Muhammad SAW membagi peranan keluarga. Dalam banyak hadis diceritakan Nabi Muhammad mencuci baju sendiri, memasak, dan mengajak diskusi istri-istrinya. Bahkan sayyidah Aisyah RA merupakan salah seorang periwayat hadis terbesar. Sementara banyak di keluarga sekitar kita masih terbiasa dengan membebankan hal-hal domestik pada perempuan. Jika ada lelaki yang mengambil peran ini disebut sebagai lelaki lemah yang tidak berwibawa. Sementara menempatkan perempuan di wilayah luar rumah mengundang berbagai problematika rumah tangga seperti perselingkuhan dan lain sebagainya.
Padahal perempuan bekerja dan selingkuh adalah dua hal yang tidak bisa dihubung-hubungkan. Apakah jika lelaki yang bekerja membuat perselingkuhan hilang sama sekali? Hal ini sudah masuk di wilayah moralitas yang bisa terjadi dan dilakukan baik oleh lelaki atau pun perempuan. Karenanya, agama mengambil peran untuk bisa mengontrol keharmonisan tanpa harus memasung hak pasangan.
Gerakan feminisme secara teori muncul pada tahun 1840-an (disebut gelombang pertama) di mana ada sekelompok perempuan menuntut hak politik yang sama. Dalam perkembangannya feminisme bisa juga dilakukan oleh lelaki. Apalagi di era kontemporer di mana ruang publik menjadi ranah pertarungan terbuka.
Mengenai beberapa tuntutan gerakan feminis kita bisa jadi tidak setuju, sama halnya kita tidak setuju pada suatu kebijakan politik dan sosial yang lain. Yang paling penting adalah semua dilakukan atas asas kesetaraan. Tak perlu mengopresi karena menganggap identitas gender dirinya lebih tinggi daripada yang lain. Jika demikian, apa bedanya kita dengan setan? Wallahua’lam.
Fawwaz Azmi adalah nama pena dari mahasiswa S2 Fisipol UGM. Tertarik di kajian-kajian feminisme.