“Mas, anda ini NU atau Muhammadiyah?”
“Wah, apa ya.. saya enggak ikut NU, Muhammadiyah juga enggak. Ya Islam saja, Pak!”
Begitu kurang lebih penggalan cerita dari salah satu teman penulis, yang baru setahun menjadi dosen tetap di salah satu universitas Islam di Yogyakarta. Sebagai dosen baru, teman ini kaget dihadapkan dengan pertanyaan tadi. Selain karena pertanyaan itu muncul dari dosen senior di fakultas tersebut, pertanyaan ini juga menyangkut keberlangsungan kariernya.
“Aduh, enggak bisa Mas. Di sini harus bisa identifikasi sampeyan itu NU atau Muhammadiyah. Kalau nggak punya barisan, nggak naik-naik jabatan nanti.”
Memang persoalan afiliasi ke salah satu dua ormas besar Islam itu tidak sesederhana kelihatannya. Afiliasi ini – baik secara kultural maupun struktural – bisa memusingkan dan menjadi perkara serius. Apalagi ketika menyangkut hajat yang mampu mengubah jalan hidup. Karier, misalnya. Seperti yang diceritakan teman penulis tadi.
Bukan Cuma perkara ormas, afiliasi keagamaan menyangkut identitas kelompok seperti Syiah, Sunni dan Ahmadiyah juga bias jadi problem tersendiri. Ia mampu jadi bensin yang berujung ke konflik yang membakar kehidupan masyarakat sipil. Negara kita sudah cukup mengalami mimpi buruk kebencian dan kekerasan yang bersumber dari sentimen sekat-sekat kelompok keagamaan tadi.
Namun terlepas dari urusan jabatan dan konflik kepentingan – yang menyangkut teman penulis tadi – rupanya Muslim tanpa afiliasi ini memang banyak kita dapati di tengah masyarakat kita. Teman penulis tadi hanya satu dari sekian banyak umat Muslim yang, secara sadar atau tidak, berada di luar bangunan ‘masjid umat’. Sederhananya, umat Muslim ini adalah mereka yang ketika ditanya “Islamnya apa?” mereka dengan yakin dan pede menjawab, “Islam saya ya Islam saja.”
“Kamu Sunni atau Syiah?” “Islam saya ya satu, Islam saja!”
Gejala Anonimitas
Banyak faktor tentunya yang melatarbelakangi umat ‘Islam saja’ ini. Bagi mereka yang mendasarkan pada keputusan rasional, enggan terlibat gaduh-gaduh tempur ideologi menjadi salah satu penyebabnya. Kelompok Islam saja, atau Muslim saja ini jenuh dengan perang argumen ideologis yang seakan jadi tradisi berabad-abad.
Ketika perang soal qunut-tidak qunut sudah dianggap selesai, karena yang jadi masalah adalah mereka yang tidak subuhan, kini perdebatan lintas ideology makin beraneka rupa lagi. Misalnya perihal aspirasi menerapkan Syariah, atau boleh-tidaknya memilih pemimpin Muslim yang diendorse masing-masing kubu.
Hal lain yang melatarbelakangi keberadaan umat Islam semacam ini adalah faktor kehidupan beragama di perkotaan yang modern. Situasi ini mempengaruhi bagaimana sumber keilmuan Islam mereka diperoleh. Gejala ini diulas oleh Kuntowijoyo pada tahun 1999 di salah satu esainya yang bertajuk Muslim tanpa Masjid, satu istilah untuk menyebut kelompok Muslim, yang tidak bernaung dalam masjid ummat.
Menurut Kuntowijoyo, ormas-ormas dan afiliasi kultural ini tidak ubahnya sebagai ‘masjid umat’, tempat umat berkumpul. ‘Masjid-masjid umat’ ini juga menjadi sumber pengetahuan keislaman seorang Muslim. Akan tetapi kelompok ini terasing dari umat sebagai konsekuensi pendidikan modern, ditambah dengan kehidupan perkotaan.
Kebutuhan keislaman mereka tercukupi oleh kegiatan agama yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah, dari tingkatan SD sampai SMA Negeri, bahkan universitas. Kantong-kantong kajian kerohanian Islam yang diisi oleh teman sebaya di sekolah dianggap lebih menarik dan praktis daripada ikut serta dalam kegiatan masjid. Apalagi untuk berkecimpung dalam ‘masjid umat’ sebagai kader. Sehingga dalam alam pikiran mereka, kampus lebih berperan dominan dibanding masjid.
Dalam pandangan yang lebih besar, ini bukan lah persoalan absennya umat Islam saja dari afiliasi ormas, karena menyangkut juga pada konteks sosial dan genealogi keilmuannya. Kelompok umat ‘Islam saja’ ini mendapatkan pengetahuan mereka dari sumber anonim. Inilah yang Kuntowijoyo sebut dengan gejala anonimitas.
Anonimitas ini menemukan bentuknya pada ceramah-ceramah kaset, VCD, majalah, brosur, dan internet yang mereka konsumsi sebagai sumber mata air kajian keislaman. Pandangan Kuntowijoyo ini dituangkan hampir dua dekade lalu, yang saat ini makin relevan jika kita kaitkan dengan Google, WhatsApp group, Facebook dan tayangan-tayangan video di YouTube sebagai rujukan utama keilmuan Islam.
Ibarat bayi, Kuntowijoyo menggambarkan, kelompok ini hanya mendapatkan susu formula dari botol, bukan dari air susu ibunya sendiri yang membuat ikatan emosional dan tersambungnya mata rantai genealogi keilmuan tidak ketemu fungsinya.
Umat Islam Saja, Menuju ke Mana?
Umat ‘Islam saja’ ini ini tidak boleh diabaikan keberadaannya karena merupakan bagian dari umat Islam secara keseluruhan. Secara jumlah pun mereka cukup besar, dan memegang peranan penting di berbagai profesi dan jabatan. Sehingga cukup berpengaruh dalam menentukan arah mereka dan arah Muslim di Indonesia secara keseluruhan.
Yang jadi pertanyaan adalah, akan condong ke manakah Muslim tanpa masjid ini? Apakah akan menuju Muslim yang moderat, atau justru menemukan tempatnya di kubu Muslim yang ekstrem?
Sampai sini, kita banyak berharap pada rasionalitas dari kelompok ini. Pendidikan mereka yang terbentuk dari sekolah akan berperan penting dalam menentukan arah mereka. Akankah demikian? Tunggu dulu. Ceruk ini rupanya malah berhasil diisi pelan-pelan oleh kelompok Muslim ekstremis. Penyebabnya adalah kemampuan kelompok ekstremis sumbu pendek yang berhasil meramaikan sumber-sumber anonim yang sudah disebutkan sebelumnya.
Depolitisasi sekolah dan kampus yang berlangsung lama di era Orde Baru membuat ormas harus keluar dari pengkaderan di lingkungan sekolah dan kampus. Namun pasca reformasi, upaya merebut ceruk ini tidak dilakukan dengan cermat.
NU sibuk dengan madrasah dan pesantrennya, dan Muhammadiyah asik sendiri dengan jaringan sekolah yang dibangun. Sementara masjid umat ini asyik dengan umatnya sendiri, tanpa sadar para Muslim saja ini rawan digerogoti oleh paham Islam yang mengajarkan kekerasan dan anti terhadap kehidupan berbangsa-bernegara. Keinginan untuk menjadi Islam yang ‘Islam saja’ pun akhirnya tidak bisa menghindar dari silang sengkarut kepentingan ideologi dan politik.
Perebutan ceruk para umat ‘Islam saja’ ini ada pada branding dan bungkus. Sekarang ini tidak ada yang namanya Islam radikal, Islam garis keras atau Islam teroris karena kelompok ini mampu merebut klaim di balik slogan Islam Kaffah. Siapa yang tidak ingin menjadi Muslim yang kaffah?
Lupakan rumusan Islam Nusantara atau Islam berkemajuan, jelas-jelas “Islam kaffah” ini disebutkan dalam al-Quran. Maka Islam kaffah berhasil menjadi iming-iming menggiurkan bagi Muslim yang abai atau tidak paham dengan konteks historis perkembangan Islam, apalagi Islam di Indonesia saat ini. Diskursus semacam ini makin mendapat tempat di lingkungan sekolah dan kampus.
Ironis bukan, ketika kebanyakan pendukung ISIS adalah mahasiswa dari kampus-kampus ternama? Kita juga masih ingat, satu kampus negeri terkemuka di Jawa Barat malah menjadi tempat konferensi serta bai’at untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah di Indonesia ini.
Sebagai Muslim, kita tidak boleh alergi dengan istilah Islam Kaffah ini. Akan tetapi haram bagi kita jika ‘menjadi Islam kaffah’ berarti menjadi dalih pembenar untuk menebar kebencian dan kekerasan. Apalagi digunakan sebagai kedok agenda politik semata. Sudah sepatutnya kita tunjukkan bahwa ‘Islam kaffah’ ini adalah Islam yang menebar perdamaian dan rahmat ke semua makhluk, tanpa terkecuali.
Pada akhirnya, Islam ya satu, Islam saja. Tapi tak bisa dihindari, (tafsir) Muslimnya yang banyak. []