Islamisasi Jawa sudah ada sejak berabad-abad lalu. Karakteristik Islam Jawa telah menjadi identitas tersendiri pada masa itu., meskipun proses masuknya masih bisa diperdebatkan. Identitas keislaman tersebut telah terbentuk ketika adanya interaksi antara dua unsur yaitu agama dan budaya.
Agama dan budaya merupakan sebuah entitas yang tidak bisa disatukan, juga tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Interaksi antar keduanya bisa menghasilkan sebuah sintetis baru dalam beragama. Sintetis ini lah yang kemudian mewarnai identitas keislaman di Jawa. Oleh karenanya, Islam Jawa banyak dijadikan objek penilitan oleh para akademisi Barat karena Islam yang ditampilkan di Jawa sangat berbeda dengan di Arab.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Jawa, menjelaskan bahwa bagaimana agama itu kemudian menjadi sistem budaya. Geertz kemudian memberi contoh terkait pemahaman umat Islam terhadap ayat tentang menutup aurat bagi perempuan. Hasil penelitian Geertz menunjukkan bahwa ada beragam penafsiran terkait dengan penafsiran ayat tersebut. Misalnya, penutup kepala perempuan di Indonesia akan berbeda dengan di Arab. Satu sumber yang sama melahirkan model penutp kepala berbeda. Hal ini lah yang disebut oleh Geertz agama sebagai sistem budaya.
Sejalan dengan istilah Geertz, interaksi antara agama dan budaya juga bisa ditemukan dalam teorinya M.C Ricklefs (2013) yang terkait mistik-sintetis. Dalam teorinya tersebut, Ricklef mencatat bahwa budaya Jawa tidak ditinggalkan begitu saja ketika proses Islamisasi sedang berlangsung. Ia mencotohkan pada masa Sultan Agung Mataram untuk menjadi seorang muslim tidak perlu meninggalkan budaya atau etnis Jawanya. Namun, dalam catatannya, mistik sintetis terakhir kali terjadi di era Pangeran Diponegoro.
Teori ini sebagai konter dari anggapan bahwa Islam Jawa merupakan agama yang sinkretis karena masih banyak klenik-klenik Jawa yang dipercayai. Aspek mitologi yang berhubungan dengan makrokosmos ini lah yang dilekatkan dengan sinkretisme Islam Jawa. Padahal yang dilakukan oleh para kiai pada masa itu adalah menkontekstualisasikan ajaran agama, sehingga agama yang diterima itu sesuai dengan keadaan lokal.
Dari situ lah kemudian Gus Dur tampil dengan istilah baru untuk meneruskan proses islamisasi yaitu pribumisasi Islam. Istilah pribumisasi menunjukkan adanya kontinuitas dalam proses islamisasi di Nusantara pada umumnya dan khususnya di Jawa. Usaha ini untuk meneruskan perjuangan yang sudah dimulai oleh ulama-ulama terdahulu, serta mempertahankan identitas dari keislaman yang selama ini sudah terbentuk.
Ini juga bisa menjadi konter atas adanya gerakan purifikasi yang menganggap bahwa pribumisasi Islam merupakan bid’ah karena tidak sesuai dengan risalah Nabi, serta menjadi lawan adanya tudingan yang mengatakan bahwa Islam Jawa penuh syarat adanya sinkretisme. Padahal kalau dilihat secara teliti pada saat Islam itu diturunkan, Islam di era Nabi juga mengalami pribumisasi. Kenapa demikian? Sebab Islam merupakan agama langit yang kemudian dikontekstualisasikan oleh Nabi supaya sesuai dengan konteksnya.
Oleh karenanya, Islam yang ada di Arab khas dengan budaya Arab. Begitu juga dengan di Indonesia, Islam yang ada di Indonesia sesuai dengan budaya Indonesia. Pribumisasi Islam yang terus berlangsung bukan meninggalkan ajaran pokok agama. Islam akan seperti Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi. Ada lima pokok yang menjadi pondasi keimanan yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji (bagi yang mampu).
Pribumisasi Islam tidak akan meninggalkan kelima ajaran pokok di atas. Pribumisasi Islam hanya menyesuaikan agar Islam itu sesuai dengan lokalitas tanpa meninggalkan inti ajaran keislaman, serta untuk menjadi muslim tidak harus menyesuaikan dengan budaya Arab di mana Islam itu dilahirkan, namun menjadi muslim bisa dengan budaya dan tradisi Jawa atau daerah lainnya.
Kalau sudah demikian yang terjadi maka istilah yang digunakan oleh Gus Dur sangat tepat yaitu pribumisasi, bukan pribumi. Karena dengan istilah tersebut proses kontekstualisasi ajaran agama akan terus berlangsung sesuai dengan zaman dan tempatnya. Singkatnya, boleh budayanya berubah namun tetap memegang teguh prinsip atau dasar dari agama itu sendiri.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di islami Institute Jogja.