
Ramadan tak hanya identik dengan berbuka dengan sirup dan ibadah tarawih, tetapi juga gelombang konten kreatif yang mendorong umat untuk “makin saleh,” mulai dari podcast, kajian, hingga festival hijrah, di mana para pembuat konten berlomba menghadirkan pendakwah populer demi meraih perhatian jutaan pemirsa. Fenomena ini bertaut pada kalimat “Menjadi atau makin saleh.”
Setiap Ramadan tiba sepertinya kita dipacu menjadi lebih saleh atau menjadi muslim lebih baik. Dorongan untuk berubah lebih baik dan meninggalkan perilaku berdosa yang selama ini dilakukan seakan lebih besar ketimbang bulan-bulan lain.
Perkara di atas disambut oleh beragam program oleh televisi, koran, hingga kanal-kanal Youtube. Para pembuat konten pun “berlomba-lomba” lewat kanal-kanal Youtube mereka, berinovasi membuat program Ramadan, seperti mendatangkan atau menggaet para pendakwah, terutama mereka yang memiliki pengikut di media sosial, dengan maksud meraup banyak pemirsa.
Ya, banyak kanal Youtube mulai terlibat aktif beberapa tahun terakhir dalam memproduksi konten-konten Ramadan. Bahkan, dalam dua atau tiga tahun terakhir seakan menjadi satu tradisi baru di bulan puasa, yakni mengonsumsi beragam program bincang-bincang bertema agama, keseharian, hingga urusan publik, termasuk kanal-kanal Youtube.
Program “Log-in” yang diasuh oleh Habib Ja’far dan Onad bisa dibilang menjadi pelopor dalam tradisi ini. Program tersebut meledak di tahun pertama. Bahkan beberapa hal dalam program tersebut melahirkan banyak kebiasaan hingga kebiasaan baru di masyarakat Muslim, seperti War Takjil hingga penggunaan diksi login untuk menyebut proses masuk Islam.
“Log-in” berhasil menginspirasi beberapa content creator membuat program serupa. Tahun lalu, ada kolaborasi dr. Richard Lee dan Felix Siauw, lalu mengajak beberapa pemengaruh lain, terlibat dalam program mereka. Tahun ini, Felix Siauw berkolaborasi dengan pemengaruh lain, Raymond Chin, dalam program yang mereka sebut dengan “Escape.”
Program “Escape” tayang setiap hari di kanal Raymond Chin. Berbeda dengan “Log-in,” tema, term, hingga kata kunci di ”Escape” jelas menyasar pada kelompok kelas menengah. Bahkan Raymond Chin dan Felix Siauw, beberapa kali, menyangsikan beragam kepercayaan, ajaran, hingga tradisi keberagamaan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan tradisionalis.
Bagi Raymond dan Felix Siauw, model keberagamaan di sebagian besar masyarakat Indonesia belum berdasarkan logika, unsur rasionalitas, hingga bertaut dengan membangun daya kritis. Walhasil, agama selama ini malah menjadi alat penundukkan dari para penguasa karna hanya diajarkan lewat tradisi atau ritual-ritual belaka.
Untuk itu, mereka sering sekali membincang beragam persoalan negeri ini atau urusan publik hari ini. Umat Islam harus terlibat aktif dan kritis atas kondisi bangsa hari ini. Urusan dakwah di media sosial tidak lagi hanya soal transmisi pengetahuan atau ajaran agama. Mereka sepertinya mulai menghadirkan agama sebagai medium kritik atas ketidakadilan.
Sayangnya, eksklusifitas masih terasa kental sekali di program “Escape” ini. Hal ini bisa dilihat bagaimana mereka memandang sebagian masyarakat Muslim yang masih terikat dengan tradisi dan otoritas ala tradisionalis. Bagi mereka, gerakan sosial dari umat Islam “hanya” dan “seharusnya” bertumbuh dari daya kritis ala masyarakat modern. Mereka sepertinya mengabaikan hal tersebut bisa menyuburkan apa yang disebut dengan eksklusifitas.
Kalau masih bersikap eksklusif, maka program Raymond Chin rentan sekali terjerembab pada diksi populer beberapa tahun terakhir dalam perbincangan terkait gerakan sosial, yakni “Woke.” Secara umum, “Woke” adalah istilah yang menggambarkan kesadaran akan ketidakadilan sosial dan upaya untuk melawannya. Meskipun memiliki akar dalam gerakan hak-hak sipil, maknanya telah berkembang dan menjadi bagian dari wacana global tentang keadilan sosial.
Namun, seperti banyak gerakan sosial lainnya, “Woke” juga menghadapi kritik dan tantangan, terutama terkait dengan polarisasi dan elitisme. Kala menghadapi pertanyaan, apakah agama menjadi sarana pembodohan? Diskusi di “Escape” malah lebih berkelindan dengan narasi elitis dan gagal melihat dan memahami realitas sehari-hari masyarakat biasa.
Jika ingin memahami bagaimana narasi agama digunakan untuk menggiring opini publik, maka bagaimana relasi-relasi kuasa dan narasi penundukkan tersebut bekerja, terutama di masyarakat biasa. Jika hanya terjebak pada diskusi resistensi soal dukun, mistik, dan ritual-ritual, maka “Escape” tak akan pernah bersama-sama masyarakat.
Suara-suara kritis di ruang publik tidak boleh over-simplifikasi. Masalah masyarakat Muslim tidak bisa disederhanakan mitos, dukun, atau mistik belaka, lalu mereka tak kritis. Gerakan sosial di masyarakat Muslim bisa benar-benar bergerak jika kita bisa mempersatukan narasi dalam sebuah denyut yang sama.
Sejarah gerakan sosial di negara-negara mayoritas Muslim membuktikan bahwa gerakan massa dan daya kritis atas pemerintahan korup, tidak selalu berkorelasi dengan apa yang didiskusikan di “Escape.” Membangun publik Muslim yang kritis dan punya daya dobrak seharusnya dibarengi diawali dengan memahami ruang dan kondisi riil masyarakat Muslim Indonesia hari ini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin