Aṣ-ṣalatu imad ad-din (Salat adalah tiang agama), begitu Nabi Muhammad pernah bersabda. Saking fundamentalnya perkara Salat ini, konon, para orang tua dibolehkan untuk memukul anaknya yang telah aqil baligh tapi membangkang dalam urusan Salat. Untuk alasan itu pula, Salat dipercaya umat Muslim sebagai amalan yang, kelak, ditanyai pertama kali oleh para Malaikat panitia kiamat.
Mula-mula syariat Salat ini dibebankan kepada Nabi Muhammad sewaktu mi’raj. “Ṣollū kama ra’aitumuni uṣali (Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat),” begitu kira-kira terang Nabi. Ini sehubungan dengan salat lima waktu.
Akan tetapi, praktik Salat itu sendiri sebetulnya telah dilakukan Nabi bahkan sebelum mi’raj. Keterangan ini, seperti dikatakan oleh Prof. Quraish Shihab, berlandaskan pada fakta bahwa pada dasarnya bertebaran ayat-ayat al-Qur’an mengenai Salat yang turun bahkan sebelum peristiwa fenomenal yang hanya bisa didekati dengan kacamata iman ini.
Ringkasnya, Salat adalah satu hal, sedang syariat Salat itu satu hal lain. Salat itu adalah kesadaran bertuhan. Sementara, syariat Salat yang lima waktu, yang dimintakan diskon oleh Nabi Musa, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam itu adalah infrastruktur dalam menuju kesadaran menghamba.
Dalam pengertian ini maka bisa diterima riwayat yang mengatakan bilamana di masa-masa sebelum meneriwa wahyu untuk pertama kali, Nabi Muhammad biasanya meditasi di Gua Hira lalu melaksanakan Salat.
Dan, dalam pengertian itu pula kita menjadi tidak heran dengan ayat “celakalah orang-orang yang Salat”, seperti ditegaskan dalam Q.S. al-Ma’un. Atau, pada fenomena masifnya orang Salat tapi kemungkaran dan laku fakhsya’ masih berkibar di mana-mana.
Artinya, umat Muslim sementara ini hanya melaksanakan Salat dalam pengertian syariat. Mereka bahkan belum mengerti untuk apa mereka Salat. Ahli medis atau kesehatan boleh saja memvonis bahwa Salat itu adalah menyehatkan, karena ia serupa dengan senam, yakni menggerakan anggota tubuh dan memperlancar peredaran darah. Tapi percayalah, ada yang lebih krusial dari itu.
Ya, ini ada hubungannya dengan penciptaan manusia. Sejak awal, malaikat bahkan dikabarkan telah keberatan manakala Tuhan berencana membebankan tugas kekhalifahan kepada umat manusia. Malaikat berdalih jika manusia hanya akan menumpahkan darah dan membuat kekacauan.
Betapapun, Malaikat ada benarnya, kendati Tuhan tidak juga berarti keliru. Namun pada kenyataannya umat manusia memang seringkali membikin onar. Pertumpahan darah pun tak jarang mereka selebrasikan. Lebih jauh, tugas kekhalifahan umat manusia yang sedianya dimaksudkan untuk mengurus d/a mengelola bumi malah dimengerti secara ironi: eksploitasi alam!!!
Di titik kefrustasian inilah kita, bil khusus umat Muslim, semestinya mengevaluasi diri: jadi, selama ini kita Salat buat apa? Adakah yang salah dengan Salat kita? Bukankah para pengkhotbah selalu tidak pernah lelah mengingatkan bahwa inna aṣ-ṣalata tanha anil fakhsya’i wal munkar? Tapi, mengapa keserakahan, kebrutalan dan hasrat menang-menangan masih terjadi di mana-mana?
Jangan salah, masyarakat jahiliyah atau Arab pra-Islam itu sebenarnya tidak menolak risalah Muhammad. Kalau soal beriman pada Allah saja mereka pada dasarnya telah mengakui eksistensi-Nya. Itu barangkali perkara yang mudah.
Sebaliknya, yang mereka tolak itu hanyalah ajaran untuk merendahkan diri sendiri. Maka, wajar saja jika mereka tidak segan-segan menolak ajakan Nabi sewaktu mendakwahkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, atau persamaan tuan dengan budak. Sayang, penolakan itu mereka rayakan dengan sangat paripurna: pernyataan perang!!
Begitulah, Salat itu merupakan pembeda paling kentara antara umat Muhammad dengan para penentangnya. Jauh-jauh hari Nabi Muhammad telah berupaya keras untuk menyadarkan manusia dari kepongahannya. Dari semenanjung Arabia, Kanjeng Nabi memendarkan ajaran untuk umat manusia agar berserah dan berpasrah secara total.
Dan, itu akan dimungkinkan lewat Salat. Dengan Salat, umat Muslim diharapkan bisa mengecilkan diri sendiri. Dengan Salat, umat Muslim disadarkan bahwa kepala mereka bisa saja tidak lebih mulia dari, maaf, pantat. Jadi sebetulnya, tidak ada alasan buat berlagak paling besar atau adikuasa.
Untuk itulah secara syariat umat Islam diajarkan mengawali Salat dengan ungkapan adiluhung: Allahu Akbar. Umat Muslim, dengan demikian, akan menyadari bahwa ia sebetulnya bukanlah apa-apa.
Lebih jauh, ritual Salat juga ditutup dengan salam, yakni manifes perdamaian. Harapannya, selepas Salat umat Muslim akan bisa menebar cinta kasih untuk sesama manusia dan berperan sebagai pengelola semesta dengan sebaik-baiknya.
Nahas, tidak sedikit umat Muslim yang justru gagal paham dengan Salatnya. Mereka seolah-olah Salat tapi masih memantik pertikaian. Mereka Salat tapi diam-diam menjadi sumber konflik. Mereka Salat tapi merisak tetangga. Mereka Salat tapi menolak jenazah yang beda pilihan politik.
Atau, dalam bentuk paling modern, mereka Salat tapi mengeksploitasi alam, melakukan korupsi, latah menuduh bencana sebagai azab, bahkan sekadar membajak buku untuk mengambil profit demi kepentingan pribadi atau kelompok. Begitulah, kecelakaan orang-orang yang Salat.