Semangat beragama memang merupakan sebuah hal yang positif. Namun, semangat saja tidak cukup, perlu didukung dengan pengetahuan yang memadai. Sebab orang yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak diterima. Apalagi bila nyata-nyata keliru dalam sudut pandang agama.
Syekh Ibnu Ruslan mengatakan:
وكل من بغير علم يعمل # اعماله مردودة لا تقبل
“Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amal-amalnya tidak diterima”.
Baru-baru ini muncul pemandangan yang cukup ganjil, aneh dalam dalam sudut pandang fikih Islam dan adab tasawuf. Sekelompok yang menamai dirinya sebagai golongan yang paling syar’i tampak melakukan salat berjamaah di jalanan. Tidak sedikit dari mereka yang masih mengenakan sepatu.
Barang kali mereka menganggap bahwa sepatu yang mereka kenakan seperti layaknya “khuf” (muzah) di zaman Nabi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukum salat dengan menggunakan sepatu produk era sekarang?
Sebagaimana dijelaskah di hampir semua kitab-kitab dasar fikih, bahwa salah satu syarat sahnya salat adalah suci dari najis. Baik badan, pakaian, tempat dan benda yang dibawa saat salat.
Syarat tersebut berdasarkan firman Allah Swt:
وثيابك فطهر
“Dan sucikanlah pakaianmu”. (QS. Al Muddatssir ayat 4).
Oleh karena itu menjadi tidak sah salatnya orang yang pakaian -termasuk sepatu-, tempat dan badannya mengenai najis.
Syekh Ibnu Qasim al Ghuzzi menegaskan:
وطهارة النجس الذي لت يعفى عنه في ثوب وبدن ومكان
“dan disyaratkan suci dari najis yang tidak dimaafkan di dalam pakaian, badan dan tempat”. (Syekh Ibnu Qasim al Ghuzzi, Fathal Qarib Hamisy Hasyiyah al Bajuri, juz.1, hal.138).
Ada hadis menarik berkaitan dengan salat memakai sepatu. Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits:
(وعن أبي سعيد عن النبي – صلى الله عليه وسلم – «أنه صلى فخلع نعليه فخلع الناس نعالهم فلما انصرف قال لهم: لم خلعتم قالوا: رأيناك خلعت فخلعنا، فقال: إن جبريل أتاني فأخبرني أن بهما خبثا، فإذا جاء أحدكم المسجدفليقلب نعليه ولينظر فيهما، فإن رأى فليمسحه بالأرض، ثم ليصل فيهما» . رواه أحمد وأبو داود)
“Dari Abi Said al Khudri, dari Nabi bahwa beliau salat kemudian melepas kedua sandalnya, lalu para sahabat mengikuti beliau melepas sandal mereka. Saat selesai salat, Nabi berkata kepada mereka, “mengapa kalian melepas sandal kalian? Mereka menjawab, “kami melepasnya karena engkau melepasnya”. Nabi berkata, “sesungguhnya Jibril mendatangiku, ia memberi tahu kalau di sandalku terdapat kotorannya. Bila salah seorang dari kalian mendatangi masjid, maka baliklah kedua sandalnya, dan hendaknya memeriksanya, bila terdapat kotoran di dalamnya, maka usaplah dengan tanah, kemudian salatlah dengan mengenakannya. (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad).
Hadits ini secara lahiriyyah kelihatannya bisa menjadi sebuah pembenaran untuk mengesahkan salat dengan mengenakan sandal atau sepatu yang terdapat najisnya. Karena, sebelum ditegur Jibril dan melepaskan sandalnya, Nabi sempat salat dengan kedua sandalnya tersebut. Nabi tidak diperintahkan untuk mengawali salat. Beliau tetap meneruskan salatnya dengan melepas sandalnya. Andaikan salat dengan sandal yang najis tidak sah, semestinya Jibril memerintahkan Nabi untuk mengawali salatnya.
Benarkah anggapan demikian?
Syekh al-Umrani, salah satu pembesar ulama mazhab Syafii menyatakan bahwa “khubts” (kotoran) yang dimaksud dalam hadis dimungkinkan tidak mengarah kepada benda najis. Namun, bisa jadi itu adalah kotoran-kotoran yang suci seperti ingus, ludah dan sebagainya. Maka dari itu, hadis tersebut tidak bisa dibuat hujjah. Sebagaimana dikenal dalam sebuah kaidah ushul fiqh, bila masih ada beberapa kemungkinan dalam sebuah konteks dalil, maka tidak bisa dijadikan hujjah. “Waqai’ul ahwal idza tatharraqa ilaihal ihtimal kasaha tsaubul ijmal wa saqatha biha al istidlal”.
Demikian bunyi teks statemen al-Imam al-Umrani mengomentari hadits di atas:
وأما الخبر فيحتمل أن القذر الذي أصابه من المستقذرات الطاهرة، كالنخامة، وغيرها
“Adapun hadis di atas, kemungkinan kotoran yang mengenai sandal Nabi termasuk kotoran-kotoran yang suci seperti ingus dan sejenisnya”. (Lihat dalam Al-Umrani, Al-Bayan, Juz.2, hal. 109).
Dari keterangan di atas menjadi sangat jelas bahwa hadis tersebut tidak bisa dibuat dalil untuk mengesahkan salat memakai sepatu yang terdapat najisnya.
Sedangkan dalam konteks penggunaan sepatu di masa sekarang, sepatu yang dikenakan orang-orang adalah sepatu yang secara keumumannya digunakan untuk segala aktivitasnya, termasuk keluar masuk kamar mandi.
ETIKA SALAT
Bicara salat, tidak melulu tentang sah dan tidak sahnya saja. Namun, perlu juga mempertimbangkan beberapa etika dan adabnya. Salat di tengah jalan, terlebih mengenakan sepatu, jika tidak menggangu lalu lintas, tempat dan pakaian juga sepatunya benar-benar suci, mungkin sah-sah saja dalam sudut pandang legal formal fikih.
Namun, alangkah lebih baiknya agar salat dilakulan secara wajar dan lebih sopan. Hendaknya salat dilakukan di masjid, musala, rumah atau tempat-tempat lain yang lebih layak. Dan tentunya dengan melepas sepatu. Sebab standar kesopanan dikembalikan kepada adat istiadat yang berlaku. Secara norma adat di negara kita, tidak sopan seseorang menghadap Tuhannya dengan memakai sepatu, karena hal tersebut tidak wajar.
Sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab tasawuf, pada saat salat, seorang hamba dianjurkan untuk menyiapkan diri sebaik mungkin, mulai dari pakaiannya yang baik, tempatnya yang layak, hatinya yang tenang, badannya yang fresh dan beberapa hal lain yang mencerminkan etika dan kesopanan di hadapan Allah Swt.
Saat Nafi’ salat dalam keadaan kepala terbuka, Ibnu Umar menegurnya dengan keras “Apakah kamu juga akan keluar rumah menemui banyak orang dengan penampilanmu seperti ini?”. Nafi’ menjawab “tidak tuanku”. Ibnu Umar kembali menimpali pembantunya tersebut “Maka tentunya Allah lebih layak untuk ditunjukan kepadanya penampilan yang baik”.
Yang dihadapi seorang muslim saat salat, adalah sang Maha Raja Diraja, penguasa alam semesta. Bila saat menghadap presiden atau pemimpin, kita betul-betul menyiapkan penampilan sebaik mungkin, bagaimana saat menghadap sang maha pencipta?
Wallahu a’lam bisshawab.