Saksi Nikah Tuli dan Tunanetra, Apakah Akad Nikah Sah?

Saksi Nikah Tuli dan Tunanetra, Apakah Akad Nikah Sah?

Saksi Nikah Tuli dan Tunanetra, Apakah Akad Nikah Sah?
Foto akad nikah putri Khofifah Indar Parawansa

Keberadaan saksi nikah dalam pernikahan memang menjadi perdebatan di kalangan ulama’. Ada yang menegaskan bahwa saksi nikah itu bagian dari syarat nikah. Ini pendapat mayoritas ulama’. Alasannya karena fungsi saksi nikah saat itu menjadi media publikasi peristiwa nikah.

Hadirnya saksi dalam majelis akad nikah tidak hanya menyangkut tentang sahnya akad nikah. Lebih dari itu ia berfungsi untuk menghindari segala hal yang bisa melahirkan kemudharatan yang tidak terprediksi di kemudian hari.

Wahbah az-Zuhaili menegaskan beberapa hikmah adanya saksi dalam pernikahan. Pertama, untuk memperjelas arti penting pernikahan. Kedua, saksi juga berperan dalam memperjelas kedudukan suami istri untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak jelas. Ketiga, dengan saksi nikah akan tampak jelas perbedaan antara yang halal dan haram dalam hubungan lawan jenis. Keempat, melalui saksi, status hubungan pernikahan akan semakin kuat. Syekh Taqiyuddin menambahkan bahwa saksi nikah juga berfungsi untuk menjaga kejelasan nasab.

Pendapat mayoritas ulama’ di atas berbeda dengan pendapat Malikiyyah yang menegaskan bahwa saksi nikah bukan bagian dari syarat sah nikah. Cukup dengan melaksanakan walimah publikasi peristiwa nikah dianggap sah dan valid.

Terlepas dari perdebatan itu, yang perlu dipertgas adalah apakah kesaksian itu hanya bisa diukur secara indrawi atau akal. Bagi Raghib, kesaksian dimaknai sebagai bayyinah; bukti yang jelas baik secara ‘aqliyyah (akal) atau mahsyusyah (indrawi). Tentu dengan cara pandang ini bentuk kesaksian yang disampaikan oleh para penyandang disabilitas sensorik (karena tidak mampu membuktikan secara indrawi) dapat diakui. Masalahnya, lagi-lagi fikih dan Kompilasi Hukum Islam terkesan tidak mau mengakui pengakuan mereka sepenuhya.

Dalam fikih ada dua jenis difabel yang disinggung; tuna netra dan tuna rungu. Bagi Syafi’iyyah, kesaksian difabel netra tidak bisa diterima. Alasannya karena kesaksian dengan perkataan saja tidak bisa diterima hanya dengan kemampuan mendengar. Alasan detailnya karena ia tidak mampu untuk membedakan mana orang yang mendakwa dan terdakwa. Meskipun konsep ini awalnya menyangkut hukum pidana, tetapi konsep itu bisa ditarik ke konteks pernikahan.

Sebaliknya, sebagian besar ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengakui dan menganggap sah kesaksian difabel netra ketika ia bisa mendengar dan bisa membedakan suara calon pengantin dengan meyakinkan. Oleh karena akad nikah adalah ucapan, maka ia tidak bisa ditetapkan keabsahannya kecuali hanya dengan melihat dan mendengar.

Untuk kasus difabel tuli, tampaknya mayoritas ulama’ sepakat untuk tidak mengakui keabsahan kesaksian mereka. Jumhur ulama’ sepakat bahwa kemampuan untuk mendengar perkataan para pihak yang melaksanakan akad nikah sekaligus memahami maksudnya adalah syarat mutlak. Di sini masih terlihat bahwa kevalidan akad nikah hanya bisa diukur melalui kemampuan seseorang mengucapkan shighat (kalimat) akad nikah dengan ucapan. Sementara yang selainnya, seperti melalui tulisan terlihat kurang dianggap valid.

Senada dengan fikih, KHI juga sangat jelas membatasi hak saksi nikah tuli. Ini terlihat pada pasal 25 KHI yang menyatakan bahwa “yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pertanyaan yang mungkin muncul di sini adalah apakah ketentuan seperti itu, baik dalam fikih maupun KHI layak dipertahankan? Apakah saksi nikah tuli begitu “nista” di hadapan hukum sehingga keberadaan mereka dapat menganggu sahnya akad nikah? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak segera dijawab dengan argumentasi ilmiah dan berpihak, maka semangat fikih dan KHI yang dasarnya transformatif dan emansipatoris akan runtuh.

Pandangan-pandangan yang cenderung menyudutkan atau membatasi hak difabel tuli maupun difabel netra sebagai saksi harusnya saat ini sudah dapat. Pendapat Ragib di atas mestinya digunakan acuan untuk mereinterpretasi maksus term “saksi” dalam fikih sekaligus dalam KHI, yaitu memaknai saksi dengan dua perspektif; indrawi maupun aqli. Maka titik poinnya, ketika akal (intelektualitas) yang dijadikan acuan, tidak akan ada lagi pemahaman yang diskriminatf atau memabatasi. Akad nikah dengan saksi yang tuli tidak lagi menjadi masalah.

Langkah itu tentunya akan mengubah pandangan lama yang hanya mengandalkan kemampuan sensorik saja. Pandangan akan beralih pada kemampuan saksi dalam memahami akad nikah melalui media apapun; tulisan atau bahasa isyarat lain yang dapat membantunya. Termasuk memanfaatkan kecanggihan teknologi yang lebih memudahkan saksi tuli untuk memahami bahasa akad. Misalnya dengan menggunakan google voice yang kemudian menghasilkan bentuk kalimat.

Perspektif ini sesungguhnya akan membawa pemahaman para praktisi hukum atau ulama’ pada “ru’yah kulliyah”. Mengutip pendapat al-Mistery, Amin Abdullah menjelaskan bahwa “ru’yah kulliyah” adalah cara pandang berbasis pengetahuan dan moral atau nilai. Artinya, ini jelas akan mengkombinasikan sisi penguatan hak kemanusiaan yang berbasis pengetahuan namun tetap melibatkan teks. Ini akan berdampak pada proyek pribumisasi nilai kemanusiaan dan keadilan yang akhir-akhir ini ramai disuarakan.

Saat ini tinggal bagaimana pihak yang bersinggungan langsung dengan isu ini, penghulu maupun ulama’, meresponsnya. Akankah mereka tetap berpegang teguh pada teks yang nyatanya beberapa kali tidak mampu membaca permasalahan kontemporer atau akan beralih pada “ru’yah kuliiyah”. Jika yang dipilih pertama, maka itu menunjukkan ketidaksiapannya atas perubahan dan tuntutan besar masyarakat dunia dengan semangat keadilan sosial dan kemanusiaanya. Namun jika sebaliknya, maka kita bisa berharap banyak akan perkembangan hukum Islam di negeri ini.

Wallahu A’lam.