Di Bukit Wahyu
Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku? “Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau. Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur. Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa- yat, mengeja-eja desir darahku. Ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon kenanga.
(1979)
ZIKIR
alif, alif, alif! alifmu pedang di tanganku susuk di dagingku, kompas di hatiku alifmu tegak tak bercagak, meliut jadi belut hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan Terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku. hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,, hompimpah! kugali hatiku dengan linggis alifmu hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai, jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang mengerang menyebut alifmu alif-alif, alif! alifmu yang satu tegak di mana-mana
(1983)
Bulan Tertusuk Ilalang
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
di mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
angin termangu di pohon asam
bulan tertusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian
(1978)
D Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1982. Banyak sekali penghargaan yang sudah diterima. Selain penyair, beliau juga dikenal sebagai dai dan ulama.