Ada yang pernah terdapat ungkapan kalau selama ini shalatnya orang Indonesia tidaklah menghadap (kiblat) Kabah namun menghadap ke benua Afrika (menghadap ke barat)?
Ungkapan ini disampaikan ketika ada beberapa masjid yang kiblatnya hanya menghadap ke barat, bukan ke Kabah. Mengingat, secara geografi, arah Kabah jika dari Indonesia adalah miring sedikit ke utara.
Hal ini pada akhirnya membuat masjid-masjid yang sudah terlanjur dibangun semenjak dahulu dan kiblatnya dianggap salah, dibuatkan garis-garis miring atau bahkan ada sampai direkonstruksi ulang supaya tepat menghadap Kabah dengan menggunakan metode ilmu hisab.
Namun sebenarnya, sahkah salat orang yang hanya mencukupkan diri dengan menghadap ke arah barat saja? Seperti yang banyak kita temui di sekeliling kita?
Dalam hal ini ulama terdapat perbedaan pendapat yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
Pertama, pendapat yang lebih unggul mengatakan bahwa tidak dicukupkan hanya dengan menghadap ke arah barat namun harus menghadap tepat ke kiblat yakni Kabah. Hal ini meski bagi selain penduduk kota Mekah. Maka jika diandaikan terdapat sebuah shaf salat yang sangat panjang, maka shaf tersebut tidak boleh tegak lurus namun harus agak melengkung sedikit sampai ada dugaan kuat ia benar-benar telah menghadap kiblat.
Hal ini seperti disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 63:
اَلرَّاجِحُ أَنَّهُ لاَ بُدَ مِنِ اسْتِقْبَاالِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ وَلَوْ لِمَنْ هُوَ خَارِجَ مَكَّةَ فَلاَ بُدَّ مِنِ انْحِرَافٍ يَسِيْرٍ مَعْ طُوْلِ الصَّفِّ بِحَيْثُ يَرَى نَفْسَهَ مُسَامِتاً لَهَا ظَنًّا مَعَ الْبُعْدِ
“Pendapat yang unggul mengatakan bahwa harus menghadap kiblat secara persis meski bagi selain penduduk kota Mekah. Maka jika terdapat shaf yang panjang harus agak melengkung sampai yakin telah menghadap kiblat atau sampai memiliki dugaan kuat jika memang jauh.”
Kedua, cukup dengan menghadap satu arah dari empat arah mata angin. Dalam arti, jika kiblat berada di sebelah barat kita maka kita cukup dengan menghadap arah barat, jika kiblat berada di arah timur maka kita cukup menghadap ke arah timur, dan seterusnya.
Pendapat ini—meskipun adalah pendapat kedua—namun juga merupakan pendapat yang kuat. Pendapat ini dipilih oleh ulama-ulama besar sekaliber Imam Ghazali, disahihkan oleh oleh Imam Jurjani, Ibn Kajin, dan Ibn Abi ‘Ashrun, dan diyakini kebenarannya oleh Imam Al-Mahalli. Berikut referensi orisinilnya:
وَالْقَوْلُ الثَّانِيُّ يَكْفِي اسْتِقْبَالُ الْجِهَةِ أَيْ إِحدَى الْجِهَاتِ اْلأَرْبَعِ الَّتِيْ فِيْهَا الْكَعْبِةُ لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ اخْتَارَهُ الْغَزَالِيُّ وَصَحَّحَهُ الْجُرْجَانِيُّ وَابْنُ كَجٍ وَابْنُ أَبِيْ عَصْرُوْن وَجَزَمِ بِهِ الْمَحَلِّيُّ
“Pendapat kedua mengatakan cukup menghadap suatu arah dari empat arah mata angin di mana kiblat itu berada bagi orang-orang yang jauh darinya. Ini pendapat yang kuat. Dipilih oleh oleh Al-Ghazali, disahihkan oleh oleh Al-Jurjani, Ibn Kajin, dan Ibn Abi ‘Ashrun, dan diyakini kebenarannya oleh Al-Mahalli.”
Pendapat kedua ini memang menjadi pendapat favorit para ulama (qaul mukhtar) sebab yang namanya Kabah itu bentuknya kecil. Mustahil bagi seluruh penduduk dunia untuk menghadap persis ke arahnya, maka para ulama memilih mencukupkan ke arah mata angin di mana kiblat itu berada.
Pada kesimpulannya, jika memang mampu dan memungkinkan untuk mengikuti pendapat yang pertama maka lebih baik. Namun jika tidak mampu dan memungkinkan, terdapat pendapat kedua sebagai solusi.
Wallahu a’lam.