Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, sekaligus dihuni oleh penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia mengalami berbagai fenomena kompleks pada isu yang berkaitan dengan agama-negara, ulama-umara, atau otoritas religius-politik. Pembahasan mengenai pergesekan entitas-entitas tadi memenuhi ruang-ruang diskusi baik pada ranah akademik maupun non-akademik.
Karena berbasis one man one vote, demokrasi mengharuskan para calon pemimpin yang berkontestasi dalam panggung politik untuk mendapatkan suara dari berbagai lapisan elemen masyarakat. Komunitas keislaman Indonesia, sebagai basis massa yang sangat besar, tentu menjadi sasaran yang wajib didapatkan dukungan suaranya.
Begitu juga dengan pesantren. Sebagai institusi pendidikan berbasis keislaman yang banyak tersebar di Indonesia, pada momentum politik seperti ini, pesantren tidak pernah terlepas dari kegiatan kampanye. Hari ini, rasanya tidak sulit untuk mencari dan menemukan konten sosial media para capres-cawapres yang melakukan kunjungan dan tradisi “sowan” kepada ulama dan kiai yang memiliki pesantren dengan basis massa santri yang jumlahnya ratusan hingga ribuan. Sama halnya dengan ketersebaran konten-konten para tokoh agama yang memberikan “testimoni” dukungan terhadap calon yang ia restui.
Apakah ini salah? Tentu tidak. Berbagai ekspresi dan upaya demokratis, selama masih berada di dalam ketentuan dan koridor, tentu dilindungi oleh payung demokrasi.
Dalam tradisi kaum sarungan, khususnya massa akar rumput, sentralisasi tokoh seperti ulama dan kiai merupakan hal yang lumrah. Pandangan tokoh agama dalam berbagai aspek kehidupan sangat dibutuhkan. Jangankan dalam pilihan politik, untuk sekadar menentukan mau menanam padi atau jagung di lahan yang dipunya, “dawuh kiai” menjadi variabel utama yang sangat dan wajib dipertimbangkan. Pokoknya sam’an wa tho’atan.
Kedalaman ilmu agama dan keberkahan merupakan hal-hal yang membuat kiai dan ulama dijadikan haluan untuk diikuti oleh masyarakat dan para santrinya. Tidak bisa dipungkiri, tokoh-tokoh politik sangat mungkin memanfaatkan hegemoni pengaruh tersebut untuk mendulang suara yang harus mereka dapatkan. Karena jika sang kiai atau ulama sudah merestui, maka diasumsikan, suara masyarakat akar rumput dan para santri tentu akan mengikuti.
Narasi Dominan dalam Pemilu: Keislaman
Di dalam penelitian berjudul Religion in Indonesia’s Elections: An Implementation of a Populist Strategy?, diulas bahwa, walaupun tidak menjadi yang paling dominan, narasi keislaman selalu menjadi salah satu narasi utama yang pertama kali muncul sejak Pemilu 2014, dan terus mengalami eskalasi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan juga Pilpres 2019.
Dengan basis massa yang besar, narasi-narasi keislaman menjadi narasi populis dan bagian dari strategi politik yang harus diterapkan. Hal ini akan bisa dilakukan, salah satunya, jika para tokoh politik menjalin relasi dengan tokoh agama. Perihal relasi yang dijalin hanya temporal lima tahunan atau bersifat kontinu, kita tidak tahu.
Dalam ketentuan pemilihan, salah satu syarat bagi orang yang sudah bisa menggunakan hak pilihnya adalah berusia, minimal, 17 tahun. Artinya, orang dengan usia 17 tahun ke atas, dinilai sebagai orang yang mampu untuk berpartisipasi dan memiliki kapabilitas untuk menentukan siapa yang akan memimpin Indonesia ke depan.
Tentu untuk sampai pada tahap yakin kepada siapa kita akan melabuhkan hak suara, diperlukan pertimbangan berbagai macam aspek dan variabel yang ada pada para calon pemimpin. Mulai dari keselarasan visi dan nilai, rekam jejak, riwayat kepemimpinan, kepribadian dan karakter, hingga tawaran gagasan dan program yang mereka janjikan (level kegemoyan dan gaya joget nanti dulu). Untuk itu, diperlukan “ijtihad” atau usaha dalam menelusuri aspek-aspek tersebut.
Ijtihad Politik
Dalam konteks Islam, ijtihad mengharuskan seseorang untuk menguasai berbagai macam aspek keilmuan secara mendalam agar bisa menghasilkan produk ketentuan hukum. Orang tersebut kemudian mendapatkan label sebagai mujtahid. Akan tetapi, dalam sejumlah konteks, ijtihad tidak hanya disematkan dalam hal penetapan hukum saja. Usaha seseorang dalam menentukan arah kiblat salat ketika berada di atas kapal yang tidak ada petunjuk arah kiblatnya, misalnya, bisa dikategorikan sebagai bentuk ijtihad.
Al-Ghazali, di dalam kitab ushul fiqh-nya berjudul al-Mustashfa, menggunakan metafora kegiatan bercocok tanam pada tema besar ushul fiqh, berikut rangkaian ijtihad. Setidaknya, ada empat unsur besar yang ia masukkan.
Pertama, adalah buah (tsamrah), yang dipadankan dengan produk hukum syariat: halal-haram dan sebagainya. Kedua adalah pohon (mutsmir) yang dipadankan dengan sumber-sumber penggalian hukum seperti al-Qur’an, hadis dan seterusnya. Ketiga adalah langkah-langkah penanaman yang nantinya menghasilkan buah (ististmar), dimetaforakan dengan ushul fiqh, yaitu langkah seseorang untuk memperoleh hukum syariat. Keempat adalah sang penanam, yang dipadankan dengan seorang mujtahid. (cet. al- Maktabah al-Ashriyyah, h. 15-18).
Begitu pula dalam konteks menentukan pilihan politik. Bagi seseorang yang sudah bisa menggunakan hak pilihnya, ia diharuskan untuk melakukan “ijtihad politik” secara mandiri dan sepenuhnya sadar. Hari ini, kita semua menjadi sang penanam, dan dihadapkan pada tiga bibit tanaman yang berbeda, memiliki karakter dan kualitas yang berbeda, dan masing-masing bibit tentu akan menghasilkan buah yang berbeda.
Untuk menghasilkan buah yang baik selama lima tahun ke depan, sebagai penanam, kita diharuskan untuk mempelajari berbagai macam aspek sehingga bisa menentukan bibit mana yang nantinya akan kita tanam. Karena lahan (negara) yang ada milik bersama, maka hal ini menjadi keharusan bagi setiap orang, bukan individual. Kita yakin bahwa buah yang baik itu dihasilkan dari pohon yang baik, dan ditanam dengan langkah dan cara yang baik pula.
Sebagai warga negara yang menganut agama Islam, tentu nilai-nilai keislaman menjadi satu dari sekian variabel utama yang penting kita pertimbangkan. Apakah seorang calon pemimpin tersebut membawa dan menawarkan keselarasan gagasan dengan prinsip dan nilai keislaman universal, atau tidak.
Perlu ditegaskan juga di sini, bahwa tulisan ini tidak bermaksud sama sekali untuk mereduksi peran dan ketokohan para ulama, kiai atau habaib. Tulisan ini hanya bertujuan untuk mengajak para pembaca agar mandiri dalam berpikir, menentukan, dan menjatuhkan pilihan politiknya dengan berbagai pertimbangan matang.
Memiliki pandangan dan pilihan politik yang berbeda dengan ulama atau tokoh agama, bukan berarti menegasikan kapabilitas dan kepakaran mereka perihal pengetahuan dan ilmu agama yang mereka miliki.
Hari ini, sepertinya tidak perlu bergelar tinggi untuk bisa membedakan, mana calon pemimpin yang benar-benar menjadikan ulama sebagai panutan, mengamalkan nilai-nilai yang mereka ajarkan, dan mana calon pemimpin yang hanya menjadikan ulama untuk “disowani” lima tahun sekali, demi kelancaran kepentingan politis calon pemimpin tersebut.
Lagi pula, yang lebih mengetahui bagaimana caranya berinteraksi dan bersikap yang bijak kepada ulama dan kiai adalah santri, kan? Lalu, dari ketiga pasangan calon, mana yang lebih memiliki pribadi, keselarasan nilai dan riwayat sebagai santri?
Wallahu a’lam
(AN)