Rancangan Undang-Undang Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memicu polemik publik. Tidak saja karena kita tengah “hidup berdampingan” dengan virus Corona—sehingga fokus wakil rakyat seharusnya memikirkan nasib rakyatnya—, tetapi RUU HIP juga dinilai tidak penting.
Banyak pihak yang meragukan urgensi RUU HIP. Baik akademisi, pakar, dan bahkan Ormas Islam secara kompak menentang RUU tersebut.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), misalnya, menilai bilamana RUU HIP akan membuka ruang terjadinya konflik ideologi.
“RUU ini disusun dengan cara yang sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi,” kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad sebagaimana dikutip dari Kompas.com (15/6/2020).
Sementara itu, Pengurus Pusat Muhammadiyah meminta agar pembahasan RUU HIP tidak dilanjutkan. Pasalnya, tidak ada urgensi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk melakukan pembahasan RUU yang menjadi inisiatif DPR itu.
Lebih jauh, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menuturkan bahwa Pancasila telah memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat sebagai dasar negara.
Mempertimbangkan respon dari pelbagai lapisan masyarakat itu, Pemerintah akhirnya menentukan sikap. Lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD, Pemerintah telah memutuskan untuk tidak mengirimkan surat Presiden ke DPR. Ini artinya pembahasan rancangan aturan RUU HIP akan ditunda.
Menurut Mahfud, penundaan itu dikarenakan Presiden Jokowi telah bertemu dengan berbagai pihak dan mendengarkan pendapat mereka.
“Setelah Presiden bertemu dengan banyak kalangan dan mempelajari isinya, pemerintah memutuskan untuk menunda,” terang Mahfud, Selasa lalu.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang Halauan Ideologi Pancasila merupakan RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas 2020. Ini versi Catatan Badan Legislasi Pengambilan Keputusan atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Halauan Ideologi Pancasila 22 April 2020.
Lalu, apa masalahnya?
Tentu, kalau mau dicari-cari sebetulnya banyak. Hanya saja, salah satu yang sejauh ini memicu kegaduhan publik adalah muatan klausul Trisila dan Ekasila di dalam salah satu pasal RUU HIP. Dari draf RUU, konsep Trisila dan Ekasila itu tertuang dalam pasal 7 dan memuat 3 ayat.
Lewat konsep itu, dibayangkan bahwa Pancasila akan menjadi versi slim dengan tiga d/a satu sila. Konsep ini disadur dari pidato Bung Karno yang pernah mengatakan bilamana Pancasila dapat diperas, maka itu akan menjadi trisila atau ekasila.
Belakangan, publik juga mempertanyakan naskah akademik sehubungan dengan RUU tersebut. Seorang warganet, umpamanya, lewat cuitannya di twitter Azis Anwar Fachrudin menyentil teknis penulisan naskah akademik RUU HIP yang justru terlihat sangat tidak akademik.
https://twitter.com/azis_af/status/1273220661687668736
Yah, dari dulu begitulah Pancasila, dinamikanya tiada akhir…