Selain ayat yang tertulis di dalam kitab suci, ayat Allah juga terbentang di alam semesta. Inilah ayat kauniyah. Bagaimana Maulana Jalaluddin Rumi mengajari muridnya akan lukisan ayat ilahi dalam semesta? Apa bekal yang bisa kita ambil untuk perjalanan mudik kita dari tamsil yang disampaikan Rumi?
Rumi mengajak para muridnya menuju taman bunga di musim semi. Awalnya dia ajak muridnya mendegarkan suara kincir air. Baginya, suara kincir itu bagaikan ekspresi kerinduan akan kampung halaman. Bukankah pecinta terus berputar seperti orang yang tidak hentinya meratap?
Kerinduan akan kampung halaman ini melampaui mudik yang kita lakukan menjelang Ramadhan berakhir. Yang dimaksud Rumi adalah mudik ruhani. Kerinduan untuk berpulang ke kampung akherat. Ruh suci yang Allah hembuskan pada setiap jiwa membuat ruh suci itu terus meronta dan meratap hendak kembali ke asalnya. Maka kematian dipahami bukan sebagai keterputusan atau sebuah akhir, tapi justru sebagai ketersambungan dan sebuah permulaan dari perjalanan kita menuju kampung halaman yang hakiki.
Rumi juga mengajak muridnya merasakan desiran angin musim semi. Desiran ini mendahului kenyataan. Ini dilambangkan dengan nafas ar-Rahman (Sang Maha Pengasih), yang lebih dulu dirasakan Nabi Muhammad bertiup dari arah Yaman, kampung halaman Uwais al-Qarni. Uwais ini tokoh yang melegenda, masuk Islam tanpa sempat bertemu Nabi. Tidak terkenal di bumi, tapi masyhur di langit.
Apa jadinya bila dahan dan ranting tersentuh desiran musim semi atau nafas ar-Rahman? Ranting dan dahan pun mabuk kepayang dan luluh dalam tarian agung. Itu sebabnya kita lihat ranting dan dahan bergerak melambai seolah tengah menari saat ditiup angin. Tarian ini adalah sebuah gerak yang mewarnai penciptaan di semua tingkatan. Tanpa gerak tak ada penciptaan. Tanpa tarian tak ada kehidupan. Rumi pun bersyair:
Ranting pun menari seperti mereka yang bertobat
Dedaunan pun bertepuk tangan seperti penyanyi pengembara
Begitulah Profesor Annemarie Schimmel mendeskripsikan kisah Rumi ini dalam bukunya Akulah Angin, Engkaulah Api. Lanjutnya: dari segala penjuru terdengar pula suara burung bulbul yang mengulang-ulang pekiknya mencari Sang Kekasih. Kita paham bahwa dalam pendengaran Rumi setiap makhluk merindukanNya. Setiap makhluk merindukan mudik. Mudik adalah bagian dari fitrah kemanusiaan kita.
Lebih dari itu. Rumi menyaksikan tarian bunga dan pohon seolah merupakan pengulangan tarian yang ditampilkan pada alam ruh ketika Tuhan berbicara kepada semua makhluk, “Alastu bi Rabbikum? (Bukankah Aku ini Tuhan kalian?)” sebagaimana terekam dalam QS al-A’raf ayat 172. Dan kita semua saat itu membenarkan pertanyaan retoris itu. Kita menjadi saksi bahwa Dia lah Tuhan kita.
Rumi terinspirasi dengan ‘perjanjian pertama’ ini antara Tuhan dan hambaNya. Bagi Rumi, firman ini tak ubahnya sebuah musik yang membuat semua makhluk menari gembira. Tuhan kita telah menyapa kita! Tuhan kita telah mengakui kita adalah makhlukNya! Semua bersorak haru-gembira. Taman bunga di musim semi yang begitu indah membuat Rumi terkenang akan suasana kegembiraan di kampung halaman yang hakiki. Kenangan yang melahirkan kerinduan teramat sangat.
Sayang, banyak di antara kita yang tidak menyadari tarian dan musik ini. Ketidakmampuan kita menyadari makna ini bagaikan ranting kering; seperti kayu yang tak memiliki cinta, bukan saja mudah patah tapi juga gampang terbakar, persis nasibnya seperti “pembawa kayu bakar” (istri Abu Lahab) dalam QS al-Lahab.
Bagi Maulana Rumi, demikian Schimmel kembali menjelaskan, pohon itu seperti para sufi, yang tumbuh berkembang sedikit demi sedikit hingga berbuah. Hanya dengan memandang daunnya saja orang akan tahu karakter akar pohon. Dahan yang polos bagaikan seorang yang zuhud. Nafasnya membawa kehidupan yang segar.
Kezuhudan berubah menjadi cinta, dan kesabaran menjadi rasa syukur. Itu sebabnya ketika angin berdesir, ranting bergerak dalam tarian kosmik, bukan sekedar pelapis kosmetik. Dan hati sufi pun terus bergerak mengingat Kekasih di kampung halaman yang hakiki.
Tergairahkan oleh hujan rahmatNya, mentari cinta dan desiran ilahi, pohon pun lalu berdoa. Doanya diambil dari makna surat al-Fatihah.
“kami menyembahMu” -itulah doa taman di musim dingin.
“kami meminta tolong hanya padaMu” -itulah ratapannya di musim semi.
“kami menyembahMu” -itu artinya, aku datang memohon padaMu:
“Jangan aku kau tinggalkan dalam kesedihan ini, Tuhan, bukalah pintu kegembiraan selebar-lebarnya.
“kami minta tolong padaMu, Tuhan” -yaitu kelimpahan buah yang masak lagi manis rasanya.
Nah, patahkanlah dahan dan rantingku – lindungilah daku, Ya Allah Ya Tuhanku!
Di tangan Rumi, doa dalam surat al-Fatihah menjadi mantra buat para pemudik ruhani, bagaikan pohon yang berdoa di semua musim. Maka berangkatlah kawan dalam mudik menuju kampung halaman berbekal “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in” serta “Ihdinas shiratal Mustaqim”.
Semoga pertolongan, kelancaran dan kegembiraan menyertai perjalanan mudik kita semua. Anggaplah mudik lebaran ini sebagai rangkaian perjalanan kita bersiap akan mudik yang sesungguhnya.
Tabik,
Nadirsyah Hosen