Rumah Ibadah Non-Muslim dalam Pandangan Fikih Klasik

Rumah Ibadah Non-Muslim dalam Pandangan Fikih Klasik

Rumah Ibadah Non-Muslim dalam Pandangan Fikih Klasik

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Play Audio Artikel”]

Sebelum mengkaji hukum menjaga tempat ibadah umat lain, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana pandangan fikih tentang tempat ibadah non muslim. Dalam menghukumi hal ini, para ulama mengklasifikasinya berdasarkan pertimbangan daerah atau tempat dimana rumah ibadah tersebut dibangun. Para ulama memetakan daerah tersebut menjadi tiga bagian. Pertama, daerah yang sejak awal dibangun umat Islam. Kedua, daerah yang ditaklukkan umat Islam melalui jalur diplomasi dan perdamaian. Ketiga, daerah yang ditaklukkan umat Islam dengan kekuatan militer dan peperangan. Berikut ini penjelasan ketiganya:

Daerah yang sejak awal dibangun umat Islam

Daerah ini biasa disebut dengan kotanya umat Islam (amshar al-Muslimin). Terjadi kesepakatan di antara empat imam mazhab mengenai pelarangan membangun atau mendirikan tempat ibadah bagi umat non muslim di daerah ini. Bahkan imam Najmu ad-Din al-Hanafi mengklaim hal ini sebagai konsensus seluruh ulama (Ijma’). Meski demikian, perlu dicatat bahwa hukum ini adalah “hukum mentah” yang belum tentu dapat dipraktekkan di segala kondisi. Sebab, antara menghukumi sesuatu dan menerapkannya adalah dua hal yang sangat berbeda. Sehingga, belum tentu secara hukum fikih haram kemudian dalam penerapannya menjadi tidak boleh.

Dalam tataran aplikatif, hukum taklifi yang berjumlah lima hukum (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah) sangat terikat erat dengan hukum wadh’iy (sabab, syarat, mani’, sah dan fasad, menurut satu versi termasuk diantaranya rukhsah dan ‘azimah) yang menentukan keberlangsungan serta eksistensinya. Dalam konteks ini, apabila melarang umat non muslim mendirikan rumah ibadahnya mengakibatkan dloror yang lebih besar dibanding membiarkannya, maka membiarkan dan membebaskan mereka untuk membangun tempat ibadahnya adalah sikap yang harus dipilih, berdasarkan kaedah:

ارتكاب أخف الضررين

“menanggung resiko bahaya yang lebih ringan”

Hal ini juga sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam Syarh Shaghir kitab fikih muktabar Madzhab Maliki. Dalam konteks keindonesiaan dengan segala kemajemukan serta tingkat intoleransinya yang akhir-akhir ini cukup menanjak, melarang mereka untuk membangun rumah ibadah bukan hanya berakibat fatal yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Namun juga berdampak perlakuan diskriminatif yang akan menimpa umat Islam di daerah minoritas. Disamping itu, klaim ijma’ di atas sebenarnya masih perlu dikoreksi ulang. Sebab menurut madzhab Zaidiyyah diperbolehkan bagi pemerintah untuk memberi izin umat non muslim untuk membangun rumah ibadah mereka di daerah tersebut selama menurut pemerintah hal ini membawa kemashlahatan yang menjadi orientasi segala kebijakannya.

Bahkan, sebagaimana disampaikan Dr. Abdul Karim Zaidan, pendapat madzhab Zaidiyyah inilah yang lebih kuat dibanding pendapat madzhab lain, sebab jika kita telah menerima untuk hidup berdampingan serta mengakui eksistensi masyarakat non muslim sebagai warga negara dan membiarkan mereka dengan keyakinannya, maka tentu konsekuensinya adalah kita juga harus membiarkan mereka menjalankan kegiatan keagamaanya dengan membangun rumah ibadah.

Sementara berdasarkan pemahaman Sa’id Ramadan Al-Buthi, bahwa boleh tidaknya membangun rumah ibadah non-muslim di daerah ini lebih didasarkan pertimbangan kebutuhan mereka terhadap tempat ibadah atau tidak. Sehingga para ulama melarang hal ini. Sebab secara umum di daerahnya umat Islam, masyarakat non muslim tidak membutuhkan adanya tempat ibadah untuk menjalankan kegiatan keagamaan mereka.

Dalam konteks Indonesia, apa yang  disampaikan Dr. Sa’id Ramadan Al-Buthi ini sangat sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara kita. Dalam keputusan bersama Kementerian Agama dan Kementreian Dalam Negeri, prosedur pembangunan rumah ibadah disamping harus mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit enam puluh (60) warga, juga harus memiliki pengguna rumah ibadah ibadah minimal sembilan puluh (90) orang. Dalam peraturan ini, angka 90 orang merupakan presentasi dari kebutuhan penggunaan rumah ibadah setelah melalui pertimbangan panjang.

Daerah Yang Ditaklukkan umat Islam Melalui Jalur Perjanjian, Diplomasi atau Perdamaian

Apabila yang disepakati dalam perjanjian, daerah ini tetap menjadi milik masyarakat non-muslim dan mereka bersedia membayar pajak tanah (kharaj) kepada pemerintah, maka mereka dibebaskan untuk membangun tempat ibadahnya. Sementara jika dalam kesepakatan perjanjian daerah ini menjadi milik umat Islam dan masyarakat non-muslim bersedia membayar Jizyah kepada pemerintah, maka mereka boleh membangun tempat ibadahnya apabila mereka mensyaratkan diperbolehkan.

Sementara menurut Madzhab Maliki mereka boleh mendirikan tempat ibadahnya secara mutlak. Baik ada persyaratan atau tidak selama di daerah tersebut tidak dihuni umat Islam. Namun menurut Imam Ibnu Qasim salah seorang ulama Madzhab Maliki, di daerah ini mereka dibebaskan untuk mendirikan tempat ibadahnya baik ada persyaratan atau tidak, baik di daerah ini terdapat umat Islam yang menghuninya atau tidak.

Sementara rumah ibadah yang sudah ada sejak sebelum daerah ini ditaklukkan, maka harus tetap dipertahankan, dilindungi dan tidak boleh dirusak selama ada pensyaratan  dari mereka yang menginginkan hal ini.

Daerah yang ditaklukkan dengan kekuatan militer dan peperangan

Para ulama sepakat bahwa di daerah ini non muslim tidak diperbolehkan membangun rumah ibadahnya. Sebab dengan ditaklukkannya daerah ini dengan peperangan maka secara otomatis daerah ini menjadi harta ghanimah yang menjadi milik umat Islam. Hanya saja, imam Ibnu Qasim al-Maliki memperbolehkannya selama  mendapat perizinan dari pemerintah. Dalam hal ini pendapat Ibnu Qasim menjadi pendapat mu’tamad dalam Madzhab Maliki. Sedangkan rumah ibadah yang sudah berdiri sebelum penaklukkan, maka harus tetap dilindungan dan tidak diperbolehkan untuk dirusak.  Sebab dalam masa pembebasan awal Islam (Futuhaat al-Ulā) tidak ada satu pun dari para sahabat yang menginstruksikkan untuk merusak bahkan merobohkan tempat-tempat ibadah umat non Muslim. Bahkan menurut Imam Ibnu Qudamah hal ini telah menjadi ijma’. Sebab faktanya banyak rumah ibadah non muslim yang tidak diganggu meski sudah ditaklukkan oleh umat Islam dengan kekuatan militer dan hal ini tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana isi surat instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada seluruh pegawai pemerintahannya:

أَنْ لَا يَهْدِمُوا بِيعَةً وَلَا كَنِيسَةً وَلَا بَيْت نَار

“jangan dirobohkan sinagog, gereja, dan juga rumah penyembahan api”

 

Dalam konteks Indonesia, dengan keluasan wilayahnya, beberapa pemetaan di atas tentu tidak bisa digeneralisir untuk kemudian diterapkan pada seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing daerah tentunya memiliki status yang berbeda-beda tergantung cara penaklukan, kesepakatan perjanjian dan pembangunan daerahnya. Namun demikian, setidaknya semua pemetaan daerah di atas, dalam masing-masing daerah memiliki landasan otoritatif (Qoul Ulama) yang memperbolehkan bagi masyarakat non muslim untuk mendirikan rumah ibadahnya. Undang-undang 1945 indonesia juga menjamin kebebasan menjalankan kegiatan keagamaan bagi setiap rakyatnya. Dalam aturan yang lebih terperinci, pemerintah melalui Kemendagri dan Kemenag juga telah mengeluarkan keputusan bersama (SKB) tentang tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan antar umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah.

Wallahu A’lam bi as-Shawab

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri