Pergerakan advokasi lingkungan merupakan agenda yang sering kali terkonsolidasi secara bottom–up. Artinya, masyarakat sipil menjadi pihak yang aktif dalam menggerakkan massa dalam agenda konservasi alam. Salah satunya adalah Rumah Baca Komunitas (RBK). Komunitas yang diinisiasi oleh Cak David Efendi pada 2012 dan bermarkas di Dusun Kanoman, Banyuraden, Gamping, Sleman ini muncul sebagai bentuk respon atas degradasi peradaban Bumi yang ditandai dengan semakin semena-menanya manusia terhadap lingkungan.
“Kami bermimpi dan bergerak bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat dan peradaban ekologis” terang Iman Permadi, Pegiat Ekoliterasi Rumah Baca Komunitas.
“Jadi, apakah itu termasuk visi besar RBK?” saya bertanya.
“Betul. Itu terangkum dalam satu kata ekoliterasi yaitu masyarakat yang melek lingkungan sekaligus melek pengetahuan. Yang perlu digarisbawahi, kami ingin merombak definisi peradaban yang sejauh ini bias kaum developmentalis. Mereka selalu mengidentikkan peradaban dengan pembangunan yang masif. Implikasinya apa? Ya jelas kerusakan lingkungan,” lanjut mahasiswa CRCS UGM ini.
Saya lalu membayangkan kegelisahan Iman tentang bagaimana tiap peradaban saling mengunggulkan proyek infrastrukturnya. Ambil saja parameter revolusi industri yang sudah bertransformasi dari generasi 1.0 ke 4.0. Revolusi industri, sejak dicetuskan pada abad 17, telah banyak membawa perubahan yang menempatkan industri dan manusia sebagai perusak utama alam. Teknologi dan peralatan yang semakin berkembang menuntut energi yang semakin banyak pula.
Alam sebagai sumber penyedia energi utama mau tidak mau harus menjadi korban demi memenuhi tuntutan energi yang dibutuhkan. Demi memenuhi kebutuhan tersebut banyak sumber daya alam yang dieksploitasi secara berlebihan. Ditambah lagi dengan efek produksi yang dihasilkan oleh industri seperti limbah dan polusi membuat lingkungan semakin rusak. Perkembangan industri dan aktivitas pembangunan yang didorong dengan tingginya tuntutan ekonomi membawa manusia pada perilaku serakah yang menjadikan lingkungan melampui batas-batasnya. Dalam pengertian ini, saya mengamini misi dekonstruksi makna peradaban yang dijelaskan Iman.
Ia melanjutkan bahwa konsep ekoliterasi tersebut secara eksplisit bisa dibaca dalam slogan RBK “Membaca, Menulis, Menanam.” Saya cukup terkesima dengan slogan itu karena sebelumnya saya belum pernah mendengar kombinasi yang manis antara lingkungan hidup dan literasi. Yang sering muncul, jika literasi ditandemkan dengan lingkungan, ujungnya tidak jauh dari ekspoitasi alam karena kecenderungan manusia menggunakan ilmu pengetahuan untuk “memanfaatkan” alam sekitar.
“Lalu bagaimana langkah konkrit mewujudkan ekoliterasi itu, bang?” saya kembali bertanya.
“Kami fokus dulu ke masyarakat sekitar RBK dulu, ya di saerah Kanoman itu. Nah tiap minggu, misalnya, kami berkolaborasi dengan PAUD Birruna. Agenda utamanya adalah membiasakan anak PAUD untuk menanam tumbuhan. Nanti benih dan potnya disediakan oleh RBK. Nanti anak-anak akan disuruh mengawasi hasil menanamnya. Tiap sore mereka diminta untuk mencatat progress masing-masing di form.” Iman menjelaskan panjang lebar.
Untuk diketahui, RBK banyak diisi oleh kader muda Muhammadiyah. Hal itu menjelaskan mengapa RBK secara konsisten bekerja sama dengan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Kader Hijau Muhammadiyah (KHM).
Mengutip dari kaderhijaumu.id, kader hijau Muhammadiyah merupakan salah satu manifestasi dakwah Muhammadiyah yang berlandaskan semangat pembebasan, pembaharuan dan pencerahan K.H. Ahmad Dahlan, dalam rangka menjaga dan mengupayakan kelestarian lingkungan Hidup.
“Rumah baca komunitas itu sebenarnya anak kandung dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah. IPM dulu itu punya komunitas, yaitu rumah baca komunitas ini. Anggota IPM yang rantau bingung, mereka kuliah di Jogja membeli banyak buku, lalu pas mau balik kampung, bukunya bingung mau dikemanakan, akhirnya nyewa kontrakan dan bukunya diwakafkan di situ kemudian dikelola, akhirnya jadilah rumah baca komunitas.” tuturnya.
RBK, kata Iman Permadi, mengekspansi jejaringnya lewat salah satu agendanya yaitu “Sekolah Pemuda Ekoliterasi”. Sekolah ini dimaksutkan agar pesan-pesan dan nilai-nilai ekoliterasi dapat tersampaikan secara lebih luas. Sekolah Ekoliterasi adalah sekolah non-formal yang sudah berjalan selama tiga bulan setiap hari Jum’at. Hari yang agung untuk membincang topik yang istimewa.
“Kami tetap berjejaring meskipun interaksi kita hanya lewat virtual. Kami merangkul semua agama, semua suku, kami terbuka, dari Sumatera sampai Papua,” terangnya.
“Jangan dibayangkan ya kalau di kelas kita sistem guru dan murid, tidak. Kami di kelas saling memberi pandangan dan feedback terkait isu-isu ekologis di tiap wilayah anggota Sekolah Ekoliterasi hidup. Kami hanya berusaha untuk ‘connecting the dots’, menyambung jaringan, mengkonsolidasi orang-orang dengan keresahan yang sama, terutama terkait ekoliterasi.”
Saya mencoba menjelajah lebih dalam mengenai ideologi di balik agenda-agenda RBK, misalnya terkait apa keresahan ekologis paling fundamental yang menjadi titik berangkat RBK terjun dalam isu ekoliterasi.
“DNA para pendiri RBK itu Muhammadiyah. Nah Muhammadiyah itu salah satu fokusnya adalah membantu al-mustadh’afin atau pihak-pihak yang lemah. Mungkin bisa ditarik begini, semakin rusaknya lingkungan menjadi sebab semakin menderitanya orang-orang miskin. Jadi kami merasa perlu untuk menarasikan keduanya.”
Saya diam, menyimak khusyuk keterangan Iman.
“Menurut kami al-mustadh’afin itu bukan hanya tentang manusia, namun semua makhluk Tuhan yang lemah. Kami mengacu pada Teologi al-Ma’un bahwa al-yatim itu bukan semata seseorang tapi juga sesuatu. Al-Yatim bukan hanya orang yang lemah karena ditinggal sosok bapak, tetapi bisa juga alam yang tidak berdaya dan tidak bisa membela dirinya sendiri ketika berhadapan dengan tangan manusia.”
Al-Yatim yang dimaksud Iman berada dalam rangkaian ayat 2 dalam QS. al-Ma’un,
فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”
Al-Yatim ditafsirkan secara lebih luas bahwa pihak yang lemah itu bukan hanya manusia, namun juga makhluk di luar manusia yang tidak berdaya dan tidak punya cukup kuasa atas dirinya. Wa ba’du, dari RBK kita setidaknya bisa belajar bahwa merawat makhluk Allah merupakan salah satu bentuk manifestasi kita dalam mencintai dzat Allah itu sendiri. Wallahu a’lam…
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth