Rukun dan Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf

Rukun dan Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf

Apa saja rukun, tata cara dan hal-hal yang membatalkan i’tikaf? Kapan saja i’tikaf di

Rukun dan Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf

Itikaf secara bahasa yaitu “al-lubtsu” yang berarti menempat dan tinggal, sedangkan secara syar’i yaitu menempatnya seorang muslim di masjid dengan sifat khusus dan niat yang khusus. Itikaf hukumnya mustahab di setiap waktu, dan menjadi lebih disunahkan di sepuluh hari bulan Ramadhan dikarenakan pada hari-hari inilah malam lailatul qadar turun.

Meskipun hukumnya Sunnah, itikaf bisa menjadi wajib karena suatu nazar, misalkan si Ahmad bernazar jika mendapat pekerjaan maka akan melaksakan itikaf di masjid selama tiga hari, maka itikaf tersebut menjadi wajib. Terkadang pula menjadi haram, contohnya itikaf seorang istri tanpa izin suaminya dan seorang hamba sahaya tanpa izin tuannya.

Dalil disyariatkan itikaf adalah ayat alquran surat al-baqoroh ayat 187 yang berbunyi:

وَلاَ تُبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf”

Dan dari hadits yang terdapat dalam Shohih Bukhori Muslim,

أَنَهُ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إِعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَط مِنْ رَمَضَانَ، ثُمَّ اِعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ وَلَازَمَهُ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ تَعَالَى.

Sesungguhnya Rasulullah Saw beritikaf  pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan, kemudian juga di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau selalu melaksanakan itikaf hingga Allah mewafatkannya (meninggal).”

Adapun dalil ijmanya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqh Al-Ibadat yang disusun oleh Dr. Abdul Fattah: bahwa Khulafa rasyidin, sahabat dan Ummahatul muminin telah melaksanakannya serta mendawamkannya setelah kewafatan Rasulullah Saw.

Rukun itikaf

Adapun rukun itikaf, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Yaqut An-Nafis yaitu ada empat. Pertama, niat. Jika itikafnya karena suatu nazar, maka wajib niat itikaf nazar atau itikaf fardhu. Lafal niatnya yaitu:

نَوَيْتُ الإِعْتِكَافَ نَذَراً لِلهِ تَعَالَى

Saya niat itikaf sebab suatu nazar karena Allah Swt.”

 نَوَيْتُ الإِعْتِكَافَ نفَرْضاً لِلهِ تَعَالَى

Saya niat itikaf fardhu karena Allah Swt.

Adapun jika itikaf Sunnah, maka niat itikaf saja sudah cukup, seperti:

نَوَيْتُ الإِعْتِكَافَ لِلهِ تَعَالَى

“Saya niat itikaf karena Allah Swt.”

Kedua, tempat itikaf yaitu masjid. Disyaratkan masjid yang sudah diwakafkan dan murni (benar-benar masjid, bukan tempat ramai yang sering digunakan berjamaah), adapun jika di mushollah maka tidak sah itikafnya, begitu juga masjid yang baru diwakafkan sebagiannya saja.

Ketiga, berdiam diri. Dalam mazhab syafiie minimal berdiam diri dalam itikaf yaitu seukuran tuma’ninah dalam salat.

Keempat, orang yang beritikaf. Orang yang beritikaf mesti orang muslim yang sudah tamyiz, berakal, suci dari junub, haid dan nifas, terjaga (tidak tidur), menahan dirinya dari syahwat dan mengetahui perkara yang diharamkan.

Sesuatu yang membatalkan itikaf

Dalam kitab Fiqh Al-Ibadat Dr. Abdul Fattah disebutkan, ada 5 hal yang dapat membatalkan itikaf kita. Pertama, jimak. Kedua, murtad. Ketiga, mabuk yang disengaja. Keempat, haid dan nifas ketika itikaf. Kelima, keluar dari masjid dengan tanpa uzur, adapun jika ada uzur seperti ketika itikaf tiba-tiba ada kalajengking, maka tidak membatalkan itikaf. Dalam kitab Al-Yaqut An-Nafis ditambahkan, gila dan pingsan termasuk membatalkan itikaf.

Waalahu A’lam