Romo Greg Soetomo, Pastor Lulusan UIN Jakarta: Sains Itu Tidak Bertentangan dengan Agama

Romo Greg Soetomo, Pastor Lulusan UIN Jakarta: Sains Itu Tidak Bertentangan dengan Agama

Romo Greg Soetomo dalam wawancara ini menjelaskan tentang relasi agama, Tuhan, dan sains. Lebih jauh, ia juga memberikan pandangan tentang manfaat sains bagi umat manusia, terlebih bagi agama. Simak obrolan singkat kami dengan Romo Greg Berikut.

Romo Greg Soetomo, Pastor Lulusan UIN Jakarta: Sains Itu Tidak Bertentangan dengan Agama
Romo Greg Soetomo

Pastor Gregorius Soetomo lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 27 Oktober 1964. Romo Greg—sapaan akrabnya—, merupakan rohaniwan Gereja Katolik Roma, tepatnya imam di Ordo Serikat Yesus. Ia menempuh Pendidikan strata satu di Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah.

Ia juga menempuh pendidikan di Ordo Jesuit dan filsafat di STF Driyarkara Jakarta. Lalu sekitar tahun 1996 sampai 2000, Romo Greg menjalani studi teologi di Ateneo de Manila University, Manila, Filipina. Terakhir Romo juga mendapatkan gelar doctoral di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Redaksi Islami.co, berkesempatan mewawancarai penulis buku Sains dan Problem Ketuhanan ini beberapa waktu lalu. Romo Greg Soetomo dalam wawancara tersebut menjelaskan tentang relasi agama, Tuhan, dan sains. Lebih jauh, ia juga memberikan pandangan tentang manfaat sains bagi umat manusia, terlebih bagi agama. Simak obrolan singkat kami dengan Romo Greg Berikut.

Bagaimana menurut Anda hubungan agama, Tuhan dan sains?

Saya yakin bahwa dimulai pernyataan mendasar karena sains itu sungguh-sungguh pemikiran maupun keterampilan yang kreatif dari manusia. Dan hampir semua itu baik. Memberikan kemaslahatan bagi umat. Dan saya yakin sains itu tidak bertentangan dengan agama. Tidak bertentangan dengan Tuhan. Dimulai dengan itu ya. Kok saya tidak melihat bahwa agama dan sains, atau Tuhan dan sains itu bertentangan satu dengan yang lain.

Kemudian ada pertanyaan lanjutan, bahwa harus diakui produk sains itu ada yang membahayakan manusia dari yang kecil, misalkan aborsi. Aborsi itukan kemampuan, pengetahuan, dan ada ilmunya. Yang dari sains berasal. Itukan nanti akan bicara kita tentang moral. Atau yang gede misalkan nuklir. Itu yang besar. Nah di sinilah muncul problem moral itu muncul. Tapi saya yakin, kitab isa dengan bantuan penjelasan moral, dan sains itu sesuatu yang sangat bermanfaat untuk manusia. Akan selesai ya.

Bagaimana dengan sisi metodologi, sains sifatnya rasional dan saintifik. Sedangkan agama, sifatnya wahyu dari Tuhan?

Jadi begini, saya pikir sains itu tidak bertabrakan dengan agama. Itu bukan berarti bahwa sains dan pengetahuan dan keterampilan itu selalu bisa diterapkan begitu saja dengan satu dengan yang lain, baik segi metodologi dan sabagai. Tetapi yang saya maksudkan adalah bahwa keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Akan tetapi bisa, memberikan sebuah komplementer satu dengan yang lain, lewat moralitasnya. Lewat filsafatnya, mungkin. Bahwa urusan sains itu bisa berkembang, menjadi bagus dan menjadi tidak sempit.  Sedangkan agama juga berkembang begitu dengan cara yang hati-hati, dan agama bisa menjadi rasional.

Dan ketika ada masalah, seperti yang tadi ditanyakan; ketika ada metodologi yang tadi ditanyakan, metodologi tertentu. Sebagai contoh misalkan rasionalisme atau empirisme, yang menjadi isme, itu memang bisa berbahaya. Maksudnya yang rasionalisme adalah kalau tidak rasional, tidak bisa diterima. Terutama kalau yang dimaksud dengan rasionalisme itu kerap kali dihubungkan dengan empirisme. Empirisme itu adalah kalau andai kata kita bisa melihat dan merasakan itu benar. Itu kemudian yang tidak cocok.

Nah sebenarnya, apakah itu betul bahwa sains itu selalu harus empirisme? Rasanya kok tidak ya. Begitu ilmuwan-ilmuwan yang sudah sampai pada tahap yang sudah sangat mendalam, sebut saja fisikiawan seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, dia memang tidak langsung mengatakan bahwa itu Tuhan. Tetapi memberikan implikasi ada sesuatu lho yang non rasional, yang non empiris yang “mungkin”, atau “paling mungkin”,   karena memang ketika dia masuk ke bidang agama, ya salah lagi. Itu bukan bidang kamu untuk membuat klaim adanya Tuhan begitu.

Tetapi ya sangat mungkin, dan sebenarnya sangat mungkin, dan ketika berbicara hasil-hasil pengetahuan, tapi bukan hanya yang seperti itu. Tapi saya sangat yakin bahwa ilmuwan, yang melihat bahwa sains itu bukan berarti tanpa batas. Yang namanya kebebasan. Ada Batasan-batasan. Sebagai dari segi empirisme, misalkan saja, kalau kita melihat dari empirisme ya, matahari itu terbit atau matahari itu terbenam, kita melihat, dan semua orang itu sepakat itu sangat indah. Nah “indah” itu sendirikan spiritual ya.

Apakah yang Anda maksud dalam rasionalisme dan empirisme, pada ujungnya ada juga mistisisme?

Iya memang betul. Betul. Matahari yang kita butuhkan adalah cahayanya yang mengandung vitamin D. yang bumi bisa hidup. Itulah yang kita butuhkan. Tapi yang tadi masih ada tambahannya lho ini.  Tidak perlu indah sebenarnya, tapi nyatanya indah. Misalkan saja, tapi kemudian ada sesuatu ya ini. Kalau kita belajar SMA, rumus-rumus kimia dan Fisik aitu sangat indah ya. Pun dalam DNA itu kok indah ya. Ini yang menunjukkan dalam kehidupan itu indah. Minimal kita mempertanyakan, itu ada sesuatu ya.

Era sekarang ada kecendrungan sains itu ditarik pada kebenaran agama dan terkesan ada mengislamkan sains, misalnya atau lebih jauh lagi marak cocokologi,  bagaimana tanggapan Anda?

Fenomena itu di Kristen juga ada. Itu yang kemudian dalam hal tertentu yang kita sebut sebagai fundamentalisme Kristen. Misalkan ayat-ayat tertentu dalam Perjanjian Lama, yang seolah-olah cocok dengan fenomena alam. Inilah yang menyebabkan bahwa Israel ada sejak 1948. Dihubungkan dengan ayat di Perjanjian Lama. Ada juga beberapa yang melakukan tindakan yang demikian. Yang cara berpikir fundamentalis.

Lantas bagaimana cara menyelesaikan hal itu?       

Begini ya, kalau orang mempercayai, saya kok cenderung kita jangan melawan ya. Artinya, andai kata itu meneguhkan iman itu, maka orang itu ada dalam proses menjadi baik dan benar. Mereka yang konservatif itu kitab isa toleran pada mereka, asalkan mereka tidak sampai melanggar hukum.

Nah jika sudah melanggar hukum, maka akan menjadi repot. Melakukan kekerasan dan memaksa orang dan mengungkapkan kata kebencian. Namun jika hanya sebatas pengetahuan dan gigih dalam kepercayaannya, kita mau apa? Ya sudah tidak mengapa. Ingat ada catatannya! Tidak sampai dalam hal melanggar hukum.

Yang kedua, tidak eksklusif ya. Eksklusif itu adalah sedemikian itu mengambil semua itu kedalam agama. Dan terus kemudian berhenti di sana. Fenomena ini akan ditarik dalam porsi eksklusif agama, yang menganggap kebenaran itu disandarkan dalam hal itu. Waktu saya lanjut studi di Pasca Sarjana UIN Jakarta, saya dengar bahwa banyak orang yang berperilaku seperti itu. Misalkan yang mengatakan bahwa nuklir itu ada dalam Al-Quran. Setelah mengatakan itu ia berhenti dan puas.

Seyogianya iman seseorang itu tidak membuat dia menutup diri, sambil mensyukuri kemajuan manusia, sekaligus berkembang, atau mengambangkan diri.  Dan kalau saya cenderung mengungkapkanlah, kita menemukan Tuhan dalam segala ya, termasuk dalam sains.  Itu Bahasa saya.

Ada yang meramalkan bahwa kemajuan teknologi dan sains membuat orang menjauhi agama (dan tidak membutuhkan Tuhan) dan memilih menjadi ateis, Bagaimana tanggapan Romo?

Sebenarnya bisa dari dua sisi ya kalau menurut saya. Dari sesi mereka yang meninggalkan agama atau memilih diri menjadi ateis. Bagi saya ateis yang benar adalah yang mempertanyakan. Ateis yang benar yang bertanya. “Kenapa ini ya?” “Tuhan kenapa kok hidup saya menderita?”, mulia seperti itu.  Tapi kalau ada yang mengaku ateis yang tidak mempertanyakan dan acuh tak acuh, itu bagi saya tidak benar. Seorang ateis yang serius itu adalah rasional. Bukan yang bodoh. Harus dibedakan.

Dan kalau mereka mempertanyakan betul, dan mencari serius dan menolak serius, maka di sini sebenarnya peluang agama. Memang agama harus menjawab persoalan tersebut.  Itu peluang, bukan ancaman.  Agama bisa memperbaiki diri dalam menghadapi ini.

Apa tips dari Romo pada anak muda untuk mau belajar dan melek pada sains, namun di sisi lain juga tidak berhenti belajar agama?

Nasihat tentang hal ini kalau saya sangat percaya bahwa ketika orang terlibat dalam suatu hal, maka itu akan menjadi spiritualnya. Jadi pelukis yang benar, adalah spiritual. Pesebak bola yang sungguh-sungguh itu juga spiritual.  Kita mulai dari spiritual dulu ya. Nah dalam sepak bola itu kaya sekali hikmahnya; kerja sama, tim, dan ketangguhan itu semua spiritual. Dan begitupun dengan yang scholar, ia akan menemukan spiritual.

Dari ilmu scholar ke agama itu ada tahapannya. Saya kira sufisme itu bisa menjawab persoalan tersebut. Menurut saya sufi itu dulu. Sufi yang benar itulah yang akan menghubungkan pada agama. Meskinya begitu itu. Sebut saja neo sufisme. Sebut saja, sufisme yang tidak meninggalkan hukum-hukum alam. Jadi ada jembatannya ya.

Saya percaya orang yang menekuni apapun, dia pada ujungnya akan menumukan Tuhan ya. Ini tidak ujung-ujungnya seperti itu. Terdapat ada tahapannya ya. Kekecewaan, kekaguman, rasa puas, nah ketika sudah di tahap puas, akan mempertanyakan “puas” itu apa. Pasti aka nada tahapan lanjutan. Yang bias akita lihat, orang yang kaya sekali, juga nyumbangnya banyak sekali, karena mungkin ia menyadari ini semua untuk apa.