Terror wasap kepada siswi yang tidak berjilbab yang terjadi di Sragen merupakan serangkaian kasus intoleransi yang terjadi di dalam lembaga pendidikan kita dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, benarkah kita darurat intoleransi di level sekolah?
Sebelumnya, tahun 2015, jagad pendidikan kita diramaikan dengan hadirnya pandangan eksklusif di lembar kerja siswa (LKS) pelajaran, “Pendidikan Agama Islam Kelas XI SMA”. LKS memuat kalimat yang berisi,“Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah SWT, dan orang yang menyembah selain Allah, telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”. Namun, kasus di Sragen ini harus mendapatkan perhatian lebih karena intoleransi tersebut tidak hanya termaktub di dalam buku ajar, melainkan sudah berada di tataran praksis di mana organisasi Rohis adalah aktor di balik terror tersebut.
Sekolah yang Kecolongan atau Pemerintah yang Abai?
Pihak kepala sekolah SMAN 1 Gemolong Sragen, menanggapi hal tersebut, mengaku bahwa pihaknya telah kecolongan dan berharap kasus intoleransi serupa tidak terulang lagi atau bahkan dihentikan (Joglosemarnews.com). Namun, bagi saya, kasus di Sragen ini hanyalah puncak dari gunung es yang kebetulan menyeruak di permukaan. Bagaimana tidak? Beragam penelitian telah dilakukan yang menunjukkan bagaimana Rohis menjadi pintu bagi tumbuh suburnya intoleransi dan keberagamaan yang eksklusif di sekolah utamanya di sekolah-sekolah negeri.
Penelitian dari MAARIF Institute (2017) menunjukkan kepada kita bahwa sekolah yang idealnya menjadi tempat untuk menyemai karakter kebangsaan dan keberagamaan yang moderat pada generasi muda justru rentan terhadap radikalisasi agama. Riset yang dilakukan terhadap sejumlah sekolah di 6 kota di Indonesia itu menemukan bahwa Kerohanian Islam (ROHIS) menjadi pintu masuk paham radikal di sekolah menengah atas.
Penelitian ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa hampir seluruh elemen di sekolah baik itu peran guru dalam proses belajar mengajar, dan kebijakan dan peran sekolah (baik kepala sekolah, guru, pengurus OSIS, maupun komite sekolah) masih lemah dalam menangkal masuknya paham radikalisme agama.
Lebih dari itu, riset PPIM UIN Jakarta (2018) menunjukkan hasil yang lebih mengerikan: guru di Indonesia mulai dari tingkat TK hingga SLTA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi, yaitu sebesar 50% (opini intoleran) dan 46.09% (opini radikal)! Saya hanya ingin mengatakan bahwa kita tidak kekurangan data untuk menunjukkan bagaimana intoleransi itu telah dan semakin subur di lembaga pendidikan kita.
Jadi, kasus intoleransi ini menunjukkan bahwa pemerintah telah abai dalam menangani masalah ini. Buktinya, beragam rekomendasi penelitian yang telah disodorkan oleh lembaga-lembaga penelitian tidak mengubah kebijakan dalam dunia pendidikan kita. Dalam kasus di Sragen ini saja, para elite, termasuk anggota DPR baru memberikan respons setelah kabar ini mencuat mengisi ruang media-media online.
Rohis, LDK, dan Intoleransi di Sekolah
Kalau ditelusuri lebih jauh, Rohis merupakan perpanjangan tangan dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang telah berhasil masuk ke hampir semua arena penting perguruan tinggi melalui program Asistensi Agama Islam (AAI), yang belakangan berganti nama menjadi Pendampingan Agama Islam (PAI) (Hasan, 2018). Keberhasilan ini membuat LDK mempertimbangkan pentingnya menyebarkan pengaruh dakwah mereka di lingkungan pelajar SLTA. Dengan mengikuti pola PAI di kampus, mereka masuk melalui Rohis dengan mempelopori program mentoring Islam. Dari sinilah pandangan-pandangan keagamaan yang eksklusif itu diajarkan lalu disebarkan.
Rohis, dengan demikian, menjadi pintu masuk bagi kelompok Islamis di kalangan pelajar SLTA. Adapun corak keislamannya, menurut riset MAARIF Institute 2011 terhadap 50 SMAN di Pandeglang, Cianjur, Jogja, dan Solo, sangat beragam. Mulai dari yang ekstrem dengan menolak Pancasila sampai kepada yang mengampanyekan penerapan syariat Islam (Hasan, 2018).
Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 100 sekolah di Jakarta tahun 2012 memperlihatkan tingginya dukungan mereka terhadap persekusi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, serta simpati kepada pelaku terorisme. Bahkan kecenderungan semacam ini juga terjadi di kalangan guru PAI di SMA di mana mereka mendukung penerapan syariat Islam, meskipun pada saat yang sama, menerima Pancasila sebagai dasar Negara yang sudah final (PPIM, 2016).
Jadi, menjawab pertanyaan di atas, benarkah kita darurat intoleransi atau dalam kata lain intoleransi sudah merasuki kita semua dan kita tidak sadar.
Daftar Bacaan
Noorhaidi Hasan, “Menuju Islamisme Populer” dalam Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Press, 2018), 1-29.
Muhammad Wildan dkk, Menanam Benih di Ladang Tandus: Protret Sistem Produksi Guru Agama Islam Di Indonesia (Yogyakarta: CISForm, 2019)
PPIM, Tanggung Jawab Negara terhadap Pendidikan Agama Islam (policy brief), 2016