Bila bukan karena Cinta,
bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri
demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri
demi memperoleh Ruh yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju,
tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna
dan naik ke atas laksana tunas
Cita-cita mereka yang tak terdengar,
sesunggunya adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan.
(Jalaluddin Rumi)
24 Desember 2000, lepas berbuka puasa dengan sebotol air mineral yang dibeli Riyanto, Amir mengaku kaget ketika rekannya tersebut tiba-tiba bertanya soal muslim jika meninggal saat menjaga ibadah umat agama lain. “Dik Riyanto itu aneh tanyanya, dia bilang ‘Pak Bowo, kalau aku jaga gereja begini, bagaimana kalau mati?’. Ya Pak Bowo jawab ‘Alhamdulillah mati syahid dik, membela persatuan kesatuan’. Sudah itu dia enggak tanya-tanya lagi, diam, seperti berpikir,” ujar Amir. Sesaat setelah itu, Amir mengaku kaget ketika rekannya tersebut tiba-tiba bertanya soal muslim jika meninggal saat menjaga ibadah umat agama lain.
Demikian beberapa saat sebelum kejadian heroik itu terjadi tepat 20 Ramadan 1421H. Di timur pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Mojokerto.
***
Setelah salat dan berbuka puasa, Riyanto dan Amir kemudian diminta kepolisian mewakili Banser untuk mengikuti apel di halaman Mapolres Mojokerto. Usai apel, Riyanto sempat memperbaiki vespanya yang sempat mogok lalu kembali ke Gedung Sidang Jemaat Pantekosta di Indonesia (GSJPDI) Eben Haezer untuk menjalankan tugas menjaga prosesi Misa Natal.
Tak lama berselang, sekitar pukul 19.45 WIB, kata Amir, salah seorang jemaat memberitahu ada tas yang tergeletak di bawah telepon umum, di depan gereja. Amir pun mengecek keberadaan tas yang tergeletak itu. Tak lama, Riyanto pun menghampirinya. Mereka kaget, dalam tas terdapat rangkaian kabel dan paku yang memercikkan api. Salah seorang polisi yang juga melihat tas itu lalu sadar itu adalah bom sehingga refleks berteriak, “Tiarap!”.
Spontan teriakan itu membuat kerumunan orang di depan gereja kocar-kacir, sementara tas berisi bom itu masih tergeletak. Amir melihat Riyanto segera mengambil tas berisi bom tersebut, memeluknya sambil membawa menjauh dari kerumunan ke arah selokan di seberang gereja. “Belum sempat masuk selokan, [tas] dilempar dik Riyanto ternyata meledak”, Dan BOOOM! ”jalan jadi gelap, keadaan sudah kacau, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi,” kata Amir.
Berdasarkan keterangan rekan-rekannya, ledakan itu membuat tubuh pria berusia 25 tahun itu terpental sejauh 30 meter dari titik ledakan. Amir juga dilarikan ke rumah sakit. Ia menderita luka sobek di bagian kepala terkena serpihan ledakan, darahnya deras bercucuran. (Sumber: CNN Indonesia | Jumat, 27/12/2019).
Dalam satu kesempatan Gus Dur pernah berujar, “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya.” (Baca: Riyanto Wafat Menjaga Gereja Menjaga Indonesia).
Umat Kristen yang beribadah khidmat malam itu, mungkin tidak mengetahui kedatangan kado tak terduga yang diterima di Malam Natal penuh sukacita itu. Kado yang didapat bukan kado sukacita, namun sebaliknya—kado dukacita. Dengan tangan dingin Riyanto, kado Natal berisi kekejian itu ditukar dengan nyawanya. Ditukar dengan sebuah harapan dengan cinta yang besar terhadap manusia lainnya.
Tindakan dari dilakukan seorang Riyanto yang sudah dua dekade lalu berpulang adalah satu perwujudan rasa cintanya kepada ciptaan-Nya—kepada umat manusia yang tak mengenal sekat primordial yang membatasinya berbuat kebaikan. Tindakannya melampaui perdebatan teologis kafir atau tidak, halal atau haram bahkan surga atau neraka. Dia melampaui semua itu.
***
Kurang lebih dua puluh abad yang lalu, tindakan tersebut pernah didakwahkan oleh seorang yang kelak menjadi pandu bagi kaumnya untuk menuju cahaya terang benderang, ialah Isa al-Masih atau Yesus Kristus yang menjadi kabar baik bagi semua orang. Mengajarkan orang-orang untuk memiliki pengaruh seperti garam dan menjadi cahaya terang bagi semesta. Riyanto menunjukkan hal itu semua.
Dia mempraktikkan apa yang sejatinya tertuang dalam Injil Yohanes 15:3 yang berbunyi “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (TB LAI). Riyanto mungkin tidak mengenal tiap kepala yang hadir memuji nama Tuhan di malam Natal waktu itu. Tapi, satu hal yang pasti—bahwa Riyanto melihat semua orang adalah sahabatnya. Dia rela mengorbankan nyawa yang dia miliki untuk menjaga puluhan atau bahkan ratusan jemaat yang hadir pada waktu itu. Tanpa pernah bertanya apa agamanya.
Semangat pengorbanan itulah yang tengah ditunjukkan Riyanto hari ini, pada kita semua yang masih hidup, yang masih senang tawuran oleh karena perbedaan sudut pandang kita melihat orang yang berbeda dengan kita. Riyanto, Sang Syahid yang sampai hari gugurnya tetap setia meyakini ajaran Islam yang dalam hati dan tindakannya menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmat lil a’alamin).
Malam Natal 24 Desember 2000, dan malam-malam Natal lainnya adalah momentum untuk berziarah ingatan ke kelahiran Sang Junjungan lahir ke dunia. Selain itu, malam Natal di Indonesia khususnya—juga menjadi momentum untuk berziarah ingatan ke sosok Riyanto yang mengerti benar seperti apa manifestasi dari cinta Agape (ἀγάπη) yang diajarkan Yesus beberapa abad silam.
Natal menjadi momentum untuk menziarahi kelahiran Yesus yang menandai sebuah revolusi pengorbanan yang merupakan sebuah manifestasi cinta tertinggi, yakni Agape. Cinta yang tanpa syarat, cinta yang tidak lagi mementingkan diri sendiri, cinta yang tanpa batas, cinta yang mengIlahi. Sudah kurang lebih 20 abad yang lalu Yesus mengajarkan ke kaumnya, lalu kemudian dilanjutnya oleh Nabi Muhammad SAW.
Sudahkah kita mengasihi hari ini? Sudahkah ajaran kasih Yesus dan Nabi Muhammad hadir di dalam hati dan kesadaran kita saat ini?