Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah penguasa semesta alam semata (Inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi robbal ‘alamin). Potongan kalimat doa iftitah tersebut sangat sering diucapkan seorang muslim tatkala mengawali shalat tepatnya sebelum membaca surat al-fatihah pada rakaat pertama.
Didahului dengan kata inna yang berarti sesungguhnya atau bahwasanya, kalimat ini mengandaikan kesungguhan seseorang ketika melisankannya. Bak seorang pejabat yang sedang mengikrarkan sumpah jabatan dengan penuh hikmat sebagai langkah awal mengemban tugas, doa iftitah adalah pengejewantahan janji abadi manusia pada Tuhannya. Bahwasanya shalat yang sedang dilakukannya, semua amal kebaikan selama hidup hanyalah murni karena mengharap rahmat dan ridha Allah.
Ditilik dari sisi ketatabahasaaan (gramatikal) Arab, lafadz inna dikelompokkan sebagai huruf taukid yang berfungsi sebagai penguat atas kalimat berikutnya. Faedah huruf taukid adalah meyakinkan lawan bicara. Jika kita tarik pada inna-nya doa iftitah berarti menunjukkan kesungguhan seseorang di hadapan Tuhannya dan mengikrarkan bahwa segalanya adalah demi Allah.
Namun, bila sejenak berintrospeksi, benarkah semua ibadah yang semestinya sebagai sarana penghambaan manusia kepada Tuhannya telah kita kita lakukan demi Dia Yang Esa semata ? masing-masing kita lebih tahu jawabannya.
Ibadah dengan ragam bentuk dan caranya merupakan sarana penghambaan manusia kepada Tuhannya sebagai pengakuan atas keesaan-Nya. Saat kita shalat dan berlapar-dahaga karena puasa berarti kita sedang mengabdi kepada Sang Dia Yang Esa.
Saat kita bersedekah, membantu orang yang sedang didera kesusahan, membela kaum miskin yang menderita, mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, sejatinya kita sedang menghamba kepada Allah Swt. Dengan logika bahwa semua kebaikan kembali kepada-Nya, seharusnya semua amal kebajikan dipersembahkan untuk mencari ridha dari Allah jua.
Namun, pada tataran praktiknya idealitas tersebut kerap melenceng. Shalat yang semestinya adalah bilik komunikasi terdekat dan terindah antara Manusia dengan Sang Khaliq ternyata tak jarang tercampuri dengan kepentingan-kepentingan duniawi, entah sekadar pamer agar dilihat orang lain ataupun kehendak duniawi lain yang menyelinap di balik kekhusyukan semu.
Kiranya ancaman Allah dalam Al-Quran surat Al-Ma’un: 4-5: “Celakalah orang-orang yang lalai dalam menjalankan shalat dan orang-orang yang pamer (dalam amalnya)” adalah kecaman sekaligus ancaman terhadap orang-orang yang pamer (riya) dalam ibadahnya, bukan hanya ibadah mahdhah (shalat, puasa, dzikir, dsb.), lebih dari itu terhadap pada ibadah ghairu mahdhah (sedekah, menolong sesama, dsb).
Zainuddin al-Malibary dalam risalah Mandhumah Hidayat al-Adzkiya’ Ila Thoriq al-Auliya’, mengungkapkan bahwa amal ibadah yang dikerjakan karena manusia (baik sebab ingin dilihat ataupun didengar) adalah syirik (menyekutukan Tuhan), namun meninggalkan amal ibadah karena takut pamer adalah riya’ itu sendiri (Tp.th, hal. 36).
Karena itu, segala perbuatan kebaikan yang dijalankan selain karena Allah dalam pandangan kaum sufi (ahli tasawuf) adalah batal dan sia-sia. Lebih dari itu dapat menyebabkan syirik, meski syirik di sini dikategorikan sebagai syirik khofi (samar-samar/bukan sesungguhnya) yang tidak mengakibatkan rusaknya iman seseorang.
Menengok fakta sekarang, untuk melakukan amal kebaikan yang murni ikhlas karena mengharap rahmat dan ridho’ Allah menjadi hal yang teramat berat. Mungkin riya’ bukan hal yang terlalu sukar dihindarkan dalam ibadah seperti shalat, puasa, zikir, membaca Al-Qur’an, dan sepadannya. Tetapi menjadi sangat berbeda ketika mengerjakan kebaikan yang menuai maslahat bagi orang lain.
Mendermakan harta sering dan hampir selalu diwarnai rasa ingin dipuji, dianggap dermawan, dan lain semacamnya. Apalagi dalam kancah politik, tidak ada pemberian dan bantuan yang murni dan tanpa pamrih, pasti tersimpan banyak kemauan pemberi.
Membela hak-hak kaum lemah yang tersingkirkan oleh aturan dan penguasa ternyata jarang sekali ditemukan orang yang benar-benar mengerjakan hal tersebut karena dorongan keimanan. Pendek kata sangat sulit untuk menghindari rasa pamer, ingin dipuji, dan kehendak nafsu duniawi lain yang bersembunyi di balik amal ibadah sosial.
Kendati demikian, bukan berarti kita tidak menyisakan ruang dalam hati untuk ikhlas. Setidaknya bila ditimbang, maka kadar keikhlasan lillahi ta’ala dan maksud duniawi seimbang. Kiranya ada satu resep yang perlu dicoba untuk mengurangi rasa pamer yakni dengan membiasakan dan melanggengkan amal.
Gambarannya mungkin begini, seseorang yang biasa membantu, pada masa-masa awal memberi wajar ingin dipuji dan sebagainya. Namun jika di kalangan masyarakat dia sudah terkenal sebagai dermawan, masih perlukah pujian tersebut baginya?
So, urusan ikhlas dan tidak ikhlas belakangan deh… Hati itu bisa dilatih. Yang terpenting sekarang beramal dulu!