Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia punya kesan mendalam, sampai rindu pada sosok Gus Dur. Dalam sebuah webinar bertema Gus Dur dan Lingkungan, Ia menuturkan bahwa Gus Dur adalah seorang yang memiliki keberpihakan yang jelas. Kesan ini timbul lantaran pada medio 90an Gus Dur menjadi bagian dalam barisan penentang pembangunan PLTN di Jawa, tepatnya di semenanjung Kudus dan Jepara.
Gus Dur adalah salah satu rekan perjuangan terpenting yang dimiliki masyarakat anti nuklir pada masa itu. Gus Dur membuat dirinya berhadapan langsung dengan mesin-mesin pembangunan orde baru. Padahal, saat itu Gus Dur menduduki posisi yang tidak main-main; yakni sebagai Ketua PBNU. Dalam kapasitas sebagai ketua PBNU, sebenarnya Gus Dur tidak perlu juga turun tangan sendiri untuk ikut dalam barisan. Tetapi Gus Dur ikut turun langsung karena niat ingin melindungi warga Nahdliyin yang ada di daerah Muria.
Karena lingkaran pengaruh yang dimiliki Gus Dur sangat kuat, hadirnya Gus Dur dalam barisan perjuangan masyarakat menentang berdirinya PLTN sangatlah berarti besar, pungkas lelaki yang akrab disapa Bang Leo tersebut.
Masih dalam webinar yang sama, rindu pada Gus Dur juga disampaikan A’ak Abdullah Al-Kudus, pemuda Laskar Hijau peduli lingkungan dari Lumajang. Untuk A’ak, kesan mendalam itu tumbuh saat dirinya tengah terbelit kasus yang membuatnya harus berhadapan dengan kiai-kiai di Lumajang. Saat itu, ia disebut oleh Majelis Ulama Indonesia cabang Lumajang sebagai penganjur ajaran sesat. Untuk menenangkan hatinya, akhirnya A’ak sowan ke Gus Dur, tentu hal ini ditengarai karena yang berhadapan dengan dia adalah guru-gurunya sendiri, karena bagaimanapun A’ak adalah seorang santri.
Yang spesial, hasil sowan itu bukan hanya membuat hati A’ak lega, tetapi juga membuat problematika yang Ia hadapi seketika selesai. Dan lagi-lagi hal ini karena Gus Dur memiliki keberpihakan yang jelas. Saat itu Gus Dur pasang badan sendiri melindungi A’ak dari “serbuan” MUI Lumajang. Padahal sekali lagi, sebenarnya Gus Dur bisa saja meminta murid-muridnya untuk membantu A’ak, tapi beliau memilih turun tangan sendiri.
Selain kasus-kasus spesifik yang saya ceritakan, kita tahu bahwa Gus Dur adalah salah satu oposisi kuat rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Banyak orang bicara dan mengakui bahwa Gus Dur adalah salah satu oposisi terkuat. Gus Dur tak jarang berbicara keras dengan kritik-kritik tajam pada rezim dan membuatnya berhadapan dengan tangan besi Orde Baru.
Yang menarik, ungkapan Gus Dur sebagai seorang oposisi Orde Baru bukanlah isapan jempol. Karena Gus Dur pernah mengakui sendiri kalau satu-satunya orang di Indonesia yang pantas ia jadikan “musuh” adalah Soeharto. Kembali lagi, Gus Dur menunjukan keberpihakan yang jelas dalam setiap denyut kehidupan bangsa Indonesia.
Sejujurnya, saya sangat rindu akan tokoh yang memiliki keberpihakan yang jelas seperti beliau. Apalagi kegelisahan saya juga semakin diperkuat dengan kondisi-kondisi yang kerap kita hadapi saat ini.
Seakan-akan persoalan di negeri ini selalu ada saja, tak berhenti dan selalu direproduksi. Ketika corona masih di puncak-puncaknya menguasai sendi-sendi negeri ini, tetiba muncul gagasan melonggarkan pembatasan. Lalu di antara riuhnya soal corona, kita juga dibuat geregetan dengan drama persidangan kasus Pak Novel Baswedan. Ketika ramai-ramai proses persidangan itu dikritik, tiba-tiba ada buzzer yang “ngerjain” salah satu komika viral; Bintang Emon.
Dan tetap saja, dari sekian rumitnya problematika hidup bernegara kita, tak ada satupun tokoh yang nyaring dan memiliki posisi yang jelas dalam menyikapi gaduhnya problem itu. Itu yang membuat saya dan banyak orang lainnya rindu Gus Dur.
Paling-paling kalau ada tokoh yang tampil, mereka hanya bicara normatif yang sungguh tak memberikan jalan keluar atau minimal perspektif baru dalam melihat masalah. Hanya menjawab pertanyaan “apa pendapat anda?” jarang kita temui “bagaimana sikap dan gerak anda untuk melewati atau bahkan melawan realita ini?”
Fadjroel Rachman, seorang jubir kepresidenan pernah berucap dalam suatu acara televisi. Ia mengaku kalau “istana tidak memelihara buzzer”. Hal-hal kaya gini kan nggak penting banget. Tanpa diucapkan pun, saya juga percaya kalau istana nggak mungkin memelihara buzzer sialan macam begitu. Lha buat apa istana ngurusin hal sepele yang bisa dilakukan pengasong jabatan rendahan, kan mending fokus ke investasi yang bisa masuk dengan mengabaikan hak buruh dan merusak lingkungan. Iya, kan? Ucapan-ucapan normatif macam begitu kan nggak penting diucapkan berulang-ulang.
Yang lebih dibutuhkan saat ini kan empati pada masyarakat dan adanya tindakan yang jelas. Saat ini warga kan punya sosial media yang bisa pemerintah pantau juga. Misal dalam kasus corona, oh ternyata warga nggak cuma butuh dihimbau untuk di rumah aja nih, tetapi mereka juga perlu diberikan solusi buat proses belajarnya, kerjanya, dan bagaimana memenuhi kebutuhan hariannya.
Oh ternyata warga gak suka nih dengan proses persidangan yang gak jelas, ya maka dari itu bersikaplah yang jelas, posisinya gimana, lalu gerakkan lah seperangkat pemerintahan yang dipunya. Oh, ternyata warga juga gerah dengan adanya buzzer, entah buzzer dari kubu mana saja. ya bersihkan lah itu. Wong selama ini juga pemerintah sudah hobi blokir website kan, masa mengatasi buzzer yang banyak diresahkan warga saja tidak mampu.
Ini nggak mampu atau nggak mau, sebenarnya?
Hal-hal kayak begini ini yang membuat saya yakin bahwa kita hidup ini perlu punya basis nilai dan prinsip yang dipegang. Bukan apa-apa, ya biar hidup kita ini punya arah dan tujuan saja. Saat kita punya basis nilai dan prinsip atau minimal punya tujuan, kan kita jadi punya positioning, keberpihakan dalam melihat realitas. Kita juga memiliki guide dalam bergerak agar tepat sasaran seperti yang dicita-citakan.
Gus Dur pun melakukan hal yang sama, beliau kan memegang nilai kemanusiaan, sehingga gerakannya ya untuk tujuan kemanusiaan. Kalau tokoh-tokoh yang sekarang, gak tau lah ya apa yang dipegang. Wong mengunggah guyon “polisi jujur”nya Gus Dur saja bisa terancam dipidana, kok.