SUNGAI Tigris di Irak, mengalir melintasi dan menghidupi kota Ubulla (Aballiyah), yang di dalamnya hidup seorang perempuan Afrika. Pipinya sarat bekas tangisan untuk akhirat. Ia hidup pada rentang masa awal abad Hijriyah/8 M. Barangkali sosok yang satu ini adalah leluhur penyanyi kondang Amerika, yang juga bernama sama.
Ibrahim bin Adham, sufi besar dari Balkh (Iran sekarang), hidup sezaman dengan Rihanah. Riwayat pertemuan mereka direkam dalam kitab ‘Uqala al-Majanin (Kebijaksanaan Orangorang Gila) karangan Abu l-Qasim an-Naishaburi, yang ditulis seribu tahun silam. Ibrahim tergerak menemui Rihanah. Ia pun akhirnya menjumpai sufi perempuan itu saat sedang bergulingguling di pasir, pada sebuah reruntuhan bangunan–sambil mendendangkan syair:
“Celakalah aku lantaran dosa di catatanku. Celakalah aku jika dipanggil namaku. Celakalah aku jika disuruh, ‘ambillah itu.’ Celakalah aku jika neraka nasibku.”
Orang yang kan melalui hari menggelisahkan. Pun tidur pada malam-malam setelah habisnya dunia. Bagaimana ia bisa menikmati hidup di dunia yang tak baik baginya. Bagaimana matanya merasa nikmat kala terpejam.
Sya’wanah, tokoh lain yang juga bersua Rihanah, pernah ditimpali sebuah syair saat ia dan teman-temannya membicarakan kefanaan dunia:
“Perindu dunia takkan selamat dari kehinaan. Tiada orang yang keluar darinya tanpa kedengkian. Berapa banyak raja yang rumahnya dikosongkan kematian? Lalu dikeluarkan dari naungan Dzat yang menguasai naungan.”
Abdul Aziz ibn Jabir berkata bahwa ia bertawaf di Masjid l-Haram dan bertatap muka dengan Rihanah. Saya melihat kerudungnya terjatuh dan ia berkata, “Rumah ini rumah-Mu. Sedangkan aku adalah tamu dan peziarah-Mu. Jika Engkau mengembalikanku ke Bashrah dalam keadaan selamat dan aku ditanya, ‘Apa yang utama pada Dirimu? Maka aku menjawab, “Pengampunan. Itu karena prasangka baikku pada-Mu. Sementara Dirimu yang terkasih, bertindaklah sesuai kehendak-Mu.”
Abdul Aziz mendekatinya dan berkata, “Diamlah!”
Rihanah pun menukas, “Hai anak kecil! Rumah ini rumahmu atau rumah tuhan?”
“Tentu rumah tuhan,” jawabnya.
“Lalu apakah aku tamumu atau tamu-Nya?
“Tamu-Nya,” jawab Abdul Aziz.
“Duhai citacita yang jauh! Ia menjadikan Kita tamunya, lalu tidak mengampuni kita? Tidak, Dia takkan melakukannya.”
Usai mengucapkan kalimat itu, Rihanah berteriak dan terguncang hebat. Lalu wafat di tanah yang telah disucikan dari debu kefanaan.
Semoga Allah mengasihi Rihanah. Alfatihah… []
Ren Muhammad, 23 Ramadhan 1438 H