Terdapat beberapa poin penting yang menarik untuk dicermati manakala kita membaca buku Ketika Nonmuslim Membaca Al-Quran; Pandangan Richard Bonney tentang Jihad karya Irwan Masduqi. Pertama, Richard Bonney seorang pendeta dari Leicester, Inggris, meneliti ayat-ayat jihad dalam Al-Quran dan menemukan kesimpulan bahwa konsep jihad bukan ideologi terorisme. Kedua, jihad memiliki sejarah yang panjang, oleh karenanya memaknai kata jihad tidak dapat sembarangan. Ketiga, pemaknaan ayat-ayat jihad yang tidak komprehensif berpotensi menimbulkan islamofobia.
Richard Bonney menulis buku berjudul Jihad from Qur’an to bin Laden untuk mengurai benang kusut pemahaman bahwa Islam adalah agama terorisme. Bonney menelisik makna jihad yang orisinal dan berupaya menemukan sebab mengapa makna jihad sering direduksi oleh kelompok Islam radikal. Harapan Bonney, kaum fundamentalis dapat memahami jihad secara tepat sehingga mampu melihat dunia dengan pikiran terbuka, dapat hidup dalam perbedaan dan belaku toleran. Selain itu, Bonney juga ingin media Barat tidak lagi memuat berita yang timpang dan melenceng tentang Islam dan menghentikan propaganda Islam-agama-kekerasan yang sangat kontrapoduktif.
Bonney, yang juga seorang profesor dalam bidang sejarah modern di Universitas Leicester, menelah penafsiran umat Islam terhadap ayat-ayat jihad sepanjang sejarah peradaban Islam. Menurut Irwan Masduqi, metode yang digunakan Bonney dalam meneliti teks-teks seputar jihad setara dengan metode diskontinuitas (Michel Foucault) dan retakan epistemologis (Abed al-Jabiri). Adapun hermeneutika menjadi pilihan Bonney untuk dapat melihat teks secara objektif dan relevan. Mencermati cara Bonney meneliti tentu dapat dipahami arti penting penelitiannya.
Hal penting yang bisa kita unduh dari penelitian Bonney adalah paparan mengenai konsep jihad dari abad ke-7 hingga ke-21. Didedah dengan baik bagaimana jihad di masa Nabi, era klasik dan pertengahan, era modern dan kontemporer. Dikupas di pembahasan jihad di era klasik dan pertengahan bagaimana jihad dalam tradisi fikih dan sufisme, jihad menurut Ibn Taimiyah, dan jihad menurut Wahai. Membaca sejarah panjang jihad membuat kita tidak ahistoris dan menerima informasi jihad yang sepenggal-penggal. Kiranya, berawal dari membaca sejarah secara utuh akan dapat dimengerti perbedaaan jihad, perang, dan teror.
Kritik terhadap Barat juga tak lupa Bonney sampaikan. Menurut Bonney, kebijakan Barat yang tak populer sering kali memancing tindakan radikalisme. Kebijakan-kebijakan yang diambil Barat sudah seharusnya bersifat humanistik dan mendorong perdamaian dunia. Kritik tersebut mengingatkan kita pada janji kampanye seorang calon presiden AS: jika terpilih, ia akan membatasi masuknya orang Islam ke AS, mengawasi komunitas muslim di AS, termasuk mengawasi masjid-masjid. Sebuah ketakutan terhadap Islam yang berlebihan dan sangat tidak perlu, sebuah contoh kemunduran yang menyedihkan.
Pelajaran dari Orlando
Islam kembali menjadi sorotan ketika terjadi penembakan di kelab malam Pulse, Orlando, belum lama ini. Pelakunya diketahui bernama Omar Mateen (beberapa orang yang sembrono akan berpikir bahwa nama pelakunya berbau Arab, dan Arab adalah Islam, dan Islam adalah teroris). Pelaku sempat menghubungi 911 sebelum melakukan aksinya dan mengaku sebagai bagian dari ISIS.
Ketakutan dan pandangan negatif terhadap Islam kembali menyeruak setelah tragedi Orlando. Untungnya, beberapa orang dan kelompok dapat melihat kejadian tersebut secara proporsional: tidak menjadikan Islam sebagai kambing hitam. Meski yang menyudutkan Islam masih banyak dijumpai. Berkaca pada penembakan di Orlando, kita mungkin berharap semakin banyak orang seperti Richard Bonney, seorang sarjana Barat yang bertungkus lumus belajar Islam (jihad). Agar pandangan negatif tehadap Islam dan Islamofobia dapat terkikis. []
Zakky Zulhazmi, penulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber. Dosen IAIN Solo.