Rezim Tentara

Rezim Tentara

Rezim Tentara

Saat Soeharto mengambil alih kekuasaan pasca pergolakan 1965-1966, pemilu dijadwalkan untuk digelar lagi 1968, tetapi batal dan baru dilaksanakan pada 1971. Pemilu 1971 ini menghadirkan peserta baru, yaitu Golkar, yang didukung penuh oleh birokrasi dan militer/ABRI. Mono loyalitas tunggal bagi seluruh aparatur negara. Hasilnya, meski partai baru tapi Golkar menang telak dengan 62,8 persen suara. Di belakangnya hanya Partai NU yang memperoleh hasil cukup signifikan, yaitu 18 persen—angka yang relatif sama dengan pemilu pertama 1955. PNI yang menjadi warisan Bung Karno hanya meraih 6,9 persen dan Parmusi 5,3 persen, sementara beberapa partai lain di bawah 5 persen. Pemilu 1971 ini bisa dibilang langkah konsolidasi kedua Orde Baru setelah penumpasan PKI yang menjadi langkah pertama.

Konsolidasi ketiga Orba terjadi pada 1973, ketika partai-partai dipaksa melebur menjadi hanya tiga: Golkar, PDI, dan PPP. Kelompok abangan serta non-Muslim dikandangkan ke PDI, sementara kelompok Islam dimasukkan ke PPP.

Pemilu berikutnya baru digelar lagi pada 1977, ketika Orde Baru sudah merasa cukup mapan. Hasilnya tidak jauh berbeda: Golkar tetap meraih sekitar 62 persen suara seperti pada 1971, sementara PPP—yang merupakan gabungan partai-partai Islam—termasuk NU—memperoleh 29,2 persen, dan PDI hanya 8,6 persen. Orde Baru semakin kokoh, dan elemen-elemen lain hanya bisa menerima keadaan.

Dari 1977 hingga 1997, pemilu praktis hanya menjadi seremoni. Media dan birokrasi sepenuhnya berada dalam kendali Orde Baru—yang pada hakikatnya adalah rezim militer, karena Orba menggunakan tentara yg punya struktur hingga desa-desa. Kopkamtib peninggalan konflik 1965 masih bertahan hingga 1988—sebelum digantikan Bakorstanas—memantau, mengawasi dan mengintervensi setiap gerak yang dianggap membahayakan dan mengkritik eksistensi pemerintah. Sehingga sepanjang periode 1971 hingga kejatuhannya pada 1998, rezim ini hampir tak memiliki lawan berarti karena semua kekuatan telah ditundukkan, baik melalui kompensasi maupun intimidasi. Pada awalnya, NU relatif mampu melawan, seperti ditunjukkan dalam perolehan pemilu 1971, tetapi pada akhirnya juga kalah dan dipinggirkan selama puluhan tahun. Tak sedikit kiai yang menjadi korban kekerasan tentara dalam pemilu 1971 ini.

Padahal, dalam konfrontasi awal dengan PKI, banyak partai—termasuk NU—berada dalam satu kubu dengan tentara. Namun, secara bertahap, dalam rentang waktu lima tahun dari 1966 hingga 1971, tentara mulai mendominasi segala lini melalui peran dwifungsinya. Unsur-unsur lain kalah dan menyerah. Baru pada 1998, rezim ini akhirnya tumbang.

Pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai, tetapi pada pemilu 1977 hanya tersisa tiga akibat kebijakan fusi paksa. Butuh waktu lima tahun bagi Soeharto untuk menjinakkan dan menyingkirkan kekuatan politik lain. Dengan strategi intimidasi menggunakan tentara seperti yang terjadi pada Kontras, penyanderaan kasus hukum melalui polisi, kejaksaan dan KPK, serta akomodasi terhadap elemen-elemen tertentu melalui berbagai konsesi kecil, di era post-ideology ini, Pak Prab (Prabowo Subianto, red.) mungkin hanya membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mengendalikan Indonesia—dan menentukan nasib kita semua.

Kekuasaan militeristik bisa datang tiba-tiba seperti kudeta, tetapi bisa juga merayap perlahan. Para pendukung RUU TNI menyangkal bahwa ini sama dengan dwifungsi ABRI di era Orde Baru, ketika tentara memiliki fraksi di parlemen dan bisa menduduki jabatan apa pun, termasuk gubernur dan bupati. Apalagi de-facto tentara memang masih banyak mengisi sejumlah badan/kementrian sebelum RUU ini disodorkan. Mungkin memang belum sama dengan Orde Baru, Pak/Bu, karena ini bisa jadi baru permulaan. Sangat mungkin ada langkah-langkah berikutnya setelah ini, karena setiap kekuasaan butuh memantapkan diri. Ide penambahan 100 batalyon merupakan bagian dari langkah ini. Mungkin tak lama bisa ada ide “TNI Masuk Desa” lagi. Adakah yang berani menentangnya nanti?

Tentara dididik dengan ketaatan tinggi terhadap mata rantai komando. Atasan perintah bawahan akan melaksanakan, tak peduli jika itu melanggar hukum/aturan. Jika melanggar hukum tentara juga tidak bisa diseret ke pengadilan tinggi/sipil, tapi mesti lewat peradilan militer. Sementara peradilan militer tidak punya divisi pengawasan dan pencegahan yang memadai seperti kejaksaan dan KPK karena memang tidak punya tugas penegakan hukum dan pencegahan korupsi.

Dan yang jelas, tentara tidak didesain untuk berdiskusi secara terbuka, menerima kritik, apalagi cemoohan—hal yang justru lumrah dalam demokrasi sebagai bagian dari mekanisme kontrol publik karena kekuasaan cenderung korup/menyeleweng. Rezim militeristik juga cenderung mudah tersinggung. Sudah bisa dilihat dari keluarnya umpatan “ndasmu” dan “kampungan.” Dan jika mereka tersinggung, masalahnya besar, karena mereka pegang senjata. Sementara manusia, kalau marah atau kepepet, ya, akan bicara dengan bahasa yang mereka kuasai, yaitu bahasa kekerasan.

Dan jika tentara sudah berada di mana-mana, siapa yang bisa melawannya? Karena mereka menguasai gudang senjata yang berbeda dengan gudang senjatanya Arsenal. Eh.