Aksi Damai Reuni 212 telah purna. Namun kegaduhannya masih menggema. Jika kemarin-kemarin soalnya tentang jumlah peserta aksi, maka kini melebar ke syaraf media mainstream yang dinilai tidak memberitakan reuni itu kecuali TV One, memang beda.
Kendati hal itu telah dijelaskan oleh banyak pihak sebagai bentuk kewenangan dapur redaksi yang punya otoritas penuh tentang mana isu layak tayang dan tidak, termasuk headline, nyatanya alasan tersebut tetap menyisakan lara bagi kebanyakan peserta aksi dan/atau pihak yang satu frekuensi.
Bahkan, tak hanya itu. Capres No. 2, Prabowo Subianto sampai-sampai merasa perlu turun gunung dan angkat bicara.
“Kamu, (dari) TV mana? Kenapa wawancara saya? Orang, kemarin, 11 juta kau bilang gak ada orang” tegas Prabowo menghardik pewarta yang hendak melakukan wawancara.
Ketahuan cerdasnya. Prabowo sebagai pihak yang turut hadir bahkan sempat ngisi sambutan di panggung kehormatan, saya kira mengerti betul bagaimana situasi di lapangan, saat itu. Termasuk gegap gempita rasa kecewa peserta yang hadir, namun tidak diliput.
Rocky Gerung, dalam sebuah kesempatan mengatakan jika Reuni 212 adalah reuni akal sehat. Alasannya, karena 212 adalah peristiwa sejarah dengan ketertiban dan kepemimpinan intelektual.
Tapi, benarkah demikian?
Saya menyangsikannya. Bahwa reuni itu dikatakan dengan kepemimpinan intelektual karena ia berjalan tertib dan tidak menimbulkan huru-hara, itu iya. Tapi secara mikro, jejak digital berbicara lain. Ya, ada beberapa serpihan reuni yang mesti jadi renungan bersama.
Pertama, tidak lama menjelang bubarnya Reuni 212, saya, dan mungkin warganet Muslim lainnya digemparkan oleh sebuah foto, berikut potret sederet orang yang tengah melakukan Salat jamaah di sebuah gerbong kereta ekonomi. Sebetulnya, siluet kesalehan seperti itu adalah hal biasa, mengingat Salat adalah kewajiban agama. Menjadi tidak biasa bahkan aneh, ketika hal itu diperagakan di tengah gerbong kereta yang tentu saja mengganggu hak orang lain.
Terang saja, kesalehan yang diperagakan sedemikian masygul itu mendapat ragam komentar miring. Dalam sebuah unggahan di akun instagram @ala_nu misalnya, menyebut jika Salat di tengah sela-sela gerbong itu justru menunjukkan praktik keagamaan tanpa ilmu. Pasalnya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan Salat di kendaraan dengan mekanisme normal. Maka, sebagai dispensasi, para musafir (seseorang yang melakukan perjalanan) mendapat keringanan berupa Salat hurmat waktu atau bahkan Jama’.
Hal senada juga dikicaukan Ahmad Sahal dalam akun twitter-nya @sahal_AS yang, kurang lebih menegaskan bahwa Salat di kendaraan bisa sambil duduk secara senyap tanpa harus demonstratif. Sebab, beribadah tidak lantas menjadikan kita berhak menguasai area umum. Yang demikian itu jelas mengganggu orang lain dan dilarang agama.
“Awam fikih, oke. Asal mau belajar. Jangan justru merasa paling Islami”, tandas intelektual muda NU ini.
Kedua, Jika 2017 lalu pengadaan reuni 212 jilid I diwarnai pro-kontra kelamin gerakan terkait apakah ia merupakan gerakan sosial, politik, atau agama, maka kini perdebatannya tak kalah pelik tentang seberapa tebal muatan politis yang menyelimutinya.
Sejak awal, banyak pihak, termasuk panita bahkan Cawapres nomor urut 2, Sandiaga Uno mengatakan jika reuni kali ini sama sekali tidak terdapat muatan politik. Hal ini juga dipertegas oleh pasangannya, Prabowo Subianto saat memberi pidato di tengah acara yang mengaku akan patuh dan mengikuti ketentuan untuk tidak boleh bicara politik dan kampanye di Reuni Aksi 212.
Sebaliknya, terpantau dari Arab Saudi Imam Besar FPI, Habib Rizieq Syihab (HRS) menyerukan lewat rekaman suara pidato yang diputar dalam ajang reuni 212, agar 2019 ganti presiden. Telak, pidato HRS itu saya kira, dengan sendirinya justru mengamini anggapan adanya muatan politis dalam aksi tersebut, meski sangat tersirat dan tipis.
Apalagi, mengingat embrio dari gerakan ini adalah berbasis “kebencian” terhadap penista agama bernama Ahok yang non-Muslim-Tionghoa dan kebetulan menjabat Gubernur sekaligus kandidat Pilkada DKI Jakarta 2016 lalu. Maka, ya harap maklum kalau kebanyakan isinya adalah Muslim protesan.
Karenanya, kalau pun Reuni Aksi Bela Islam 212 itu diberitakan, harusnya sisi yang diangkat adalah mengenai apa yang disebut oleh seorang indonesianis, Greg Fealy (2016) sebagai tanda kemunduran besar bagi hak politik minoritas di Indonesia. Lagian, ini juga semakin menunjukan bagaimana kekuatan politik elit telah menggunakan agama untuk melemahkan pemerintah dan mendapatkan keuntungan bagi politik mereka sendiri.
Lepas dari itu semua, memang, untuk sebagian besar peserta aksi 212 berikut reuni-reuninya, pada dasarnya mereka menganggap even itu sebagai acara keagamaan. Baik dalam arti mempertahankan ranting keimanan dari penghinaan, maupun untuk menyatakan kesalehan melalui doa masal dalam lokasi nasional yang simbolis, senyatanya mereka bergerak, merapatkan barisan ke Ibu Kota laksana “mujahid-mujahid patriotik perang Badar”.
Tapi masalahnya, acara keagamaan mana yang mengharuskan ia diliput sedemikian massif gempita laiknya peringatan 17 Agustus tiap tahunnya. Bikin acara, ya bikin acara aja. Apakah akan diliput media atau enggak, itu soal lain.
Toh, sejumlah pewarta TV sebelah yang meliput situasi di lapangan, malah kalian persekusi sendiri, kan? Demi melihat video itu, belakangan saya sadar kenapa Media Mainstream tidak begitu tertarik menaruh Reuni 212 menjadi Headline News. Begitu kok masih pengin diliput dan dibilang akal sehat.