Tidak sekali ini Prabowo meniru Trump. Sesudah slogan “Make Indonesia Great Again” (Migrain), sekarang dia menyerang media. Trump selalu menyerang media jika media tidak memberitakan sesuai yang diinginkan.
Trump mencak-mencak ketika media memberitakan jumlah massa yang hadir pada pelantikan dia jadi presiden jauh lebih kecil dari Obama.
Hampir setiap saat Trump menyerang media. Yang paling menyakitkan adalah deklarasinya bahwa “the media is the enemy of the people.” Media adalah musuh masyarakat.
Salah satu konselornya Trump mengatakan mereka hanya menyodorkan “alternative facts.” Tim Trump menyodorkan bahwa mereka mempunyai fakta tersendiri.
Keadaan ini persis seperti yang digambarkan oleh George Orwell dalam 1984: 2+2 = 5 jika Big Brother mengatakan demikian maka itu adalah kebenaran.
Trump secara sinis, entah sengaja atau tidak, membenarkan apa yang sudah dikaji oleh pemikir-pemikir posmodernis — bahwa tidak ada kebenaran dan satu-satunya kebenaran tergantung dari kepentingan yang menafsirkan. Obyektivitas adalah sesuatu yang terdistorsi tergantung siapa yang membikin dan kepentingan apa yang dilayani.
Hal seperti inilah yang ditiru oleh Prabowo Subianto ketika dia mengkritik media yang tidak memberitakan Reuni 212 hari Minggu lalu. Dia mengklaim Reuni ini benar-benar dihadiri oleh 11 juta orang.
Banyak sudah ulasan yang diberikan tentang betapa konyolnya klaim seperti ini. Namun itu tidak menghalangi Prabowo dan para minionnya menyodorkan angka-angka fantastis.
Apakah Prabowo peduli dengan apa yang obyektif? Saya kira tidak. Dia hanya berusaha meniru resep yang dimana-mana sudah terbukti menang.
Salah satu cara politik ala Trump dan juga kaum populis kanan di mana-mana di belahan dunia adalah: bentuklah opini publik dengan mengacaukan mana yang benar dan mana yang tidak.
Cara ini dikenal juga dengan sebutan “muddying the water” atau mengeruhkan air sehingga semuanya tampak samar-samar.
Sodorkan fakta alternatif untuk setiap narasi. Seberapa pun tidak benarnya, sodorkan saja. Kemudian bertahan mati-matian bahwa apa yang sudah disodorkan itu benar dan itulah kenyataannya. Ulangi terus menerus tanpa henti sampai akhirnya orang percaya bahwa peserta Reuni 212 itu benar 11 juta!
Inilah politik paska-kebenaran (post-truth). Saya sama sekali tidak suka istilah ini karena terminologi ini ‘desentisize’ (membuat mati rasa) apa yang seharusnya disebut sebagai “penyesatan publik.”
Saya tidak tahu seberapa jauh ini akan berhasil mengangkat Prabowo. Sama seperti Trump di Amerika; gerakan Brexit di Inggris; Jair Bolsonaro di Brazil; Duterte di Filipina; atau János Áder di Hungaria — untuk menyebut beberapa — semuanya memakai taktik yang hampir mirip.
Mereka mengacaukan fakta, mendorong teori konspirasi, menebar ketakutan terhadap minoritas (ingat LGBT?); kebencian terhadap migran (ingat Aseng?); dan tidak lupa menyatukan kaum konservatif kanan. Mereka dengan gembira merangkul orang-orang yang dulunya dipandang sebelah mata oleh kelas politik dan masyarakat umum dan memberinya panggung terhormat.
Siapa yang mengira jika Steve Bannon yang memulai karirnya menyebar teori konspirasi kemudian menjadi sangat berpengaruh terhadap Trump? Siapa yang mengira jika penceramah agama model Bahar Smith yang sangat merendahkan perempuan dalam ceramahnya, dirangkul dengan riang gembira oleh Sandiaga Uno dan diberi sebutan “ulama yang banyak pendukungnya”?
Jika keberhasilan strategi kampanye ini belum pasti, maka saya yakin akan satu hal: efek destruksinya terhadap bangsa ini akan sangat luar biasa. Taktik seperti ini akan memecah bangsa ini kedalam kubu-kubu yang sangat sulit untuk disembuhkan.
Sekali model kampanye ini dipakai, siapapun yang akan berkuasa akan sangat sulit memerintah. Contoh akan hal ini bertebaran. Trump di Amerika; urusan Brexit yang tidak selesai di Inggris; Anies Baswedan di Jakarta.
Mengapa? Sederhana saja. Jika Anda menyerang kepercayaan (trust) terhadap institusi semacam pers, yang merupakan pilar keempat dari demokrasi, maka Anda mendorong orang untuk tidak percaya pada apapun.
Air yang Anda keruhkan akan butuh waktu lama untuk menjadi jernih. Bahkan tidak akan bisa menjadi jernih.
Untuk saya, tidak ada yang lebih menyedihkan dari kenyataan bahwa taktik politik seperti ini datang dari mantan Jendral dan jendral-jendral yang mengorganisasi kampanye Prabowo. Saya cukup kenyang hidup dibawah Orde Baru, dimana tentara mengklaim diri sebagai satu-satunya lembaga yang paling nasionalis dan patriotik menjaga keutuhan Republik ini.
Perasaan saya, jangan-jangan Steve Bannon memberikan nasihat kampanye di Republik ini. Mudah-mudahan tidak.