Sejak peradaban manusia menggelinding dalam orbit industrialisasi, tema obrolan tentang efektivitas dan efisiensi kerja telah banyak melahirkan makna baru atas perbendaharaan kata, kamus hidup manusia. Toleransi merupakan salah satu kata yang mendapat pemaknaan baru dalam pergaulan masyarakat industri maju. Siapa sangka toleransi yang harusnya membebaskan kini justru malah menindas.
Seri buku kecil ide besar Penerbit Circa ini, merupakan terjemahan satu dari tiga esai A Critique of Pure Tolerance yang diterbitkan Beacon Press tahun 1970. Herbert Marcuse, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt mengamati toleransi dalam masyarakat industri maju yang tampak bertentangan dengan apa yang dulu menjadi asal-usulnya.
Esai panjangnya Repressive Tolerance atau Toleransi yang Menindas tidak terlepas dari pokok-pokok gagasan kritis Marcuse terhadap masyarakat industri yang tengah diarahkan menjadi masyarakat satu dimensi – dimana memiliki ciri administrasi total, bahasa fungsional, berkebutuhan palsu dan hidup dalam abad imperium citra.
Oleh karenanya, toleransi yang pada intinya adalah sebuah tujuan penghapusan kekerasan dan pengurangan represi hingga tingkat yang diperlukan untuk melindungi manusia dan hewan dari kekejaman dan agresi yang merupakan prasyarat untuk menciptakan suatu masyarakat berperikemanusiaan, telah berubah lokus politiknya (halaman 2).
Toleransi jenis ini diistilahkan oleh Marcuse sebagai toleransi murni yang bercirikan pasif, non-partisan, dan sesungguhnya melindungi sistem diskriminatif yang mapan. Menurut Marcuse, toleransi murni yang dinyatakan dalam ketidakberpihakan itu bahkan membebaskan intoleransi dan represi yang berlaku (halaman 18).
Lebih lanjut, Marcuse memberikan contoh toleransi murni yang dibenarkan oleh argumen demokratis yang dijadikan dalih mempertahankan dan bahkan memperhebat status quo. Contohnya, tesis: kami bekerja demi perdamaian, antitesis: kami siap berperang, sintetisnya: siap berperang demi kedamaian (halaman. 16).
Judul : Toleransi yang Menindas
Penulis : Herbert Marcuse
Penerjemah : Fatkhur Rahman
Penerbit : Circa
Cetakan : Pertama, Juli 2020
Tebal : v + 50 halaman
ISBN : 978-623-7624-15-8
Adapun gagasan tandingan yang ditawarkan Marcuse kepada pembaca atas atas toleransi murni yakni memperhebat praktik toleransi yang membebaskan. Menariknya, toleransi yang membebaskan yang dikemukakan oleh Marcuse pada dasarnya juga tak luput daripada tindakan intoleransi. Intoleransi di sini dimaksudkan dengan tetap mengedepankan prinsip bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Marcuse menganjurkan praktik toleransi diskriminatif secara terbalik. Toleransi akan dibatasi menyangkut gerakan-gerakan karakter yang terbukti agresif dan destruktif (destruktif terhadap prospek-prospek perdamaian, keadilan dan kebebasan bagi semua) (halaman 40).
Esai panjang Marcuse yang diterbitkan oleh Beacon Press pada 1970 dan diterjemahkan pada tahun 2020 oleh Penerbit Circa ini, secara konteks ruang dan waktu menjadi catatan yang menarik untuk disoroti. Satu catatan penting dari buku ini, sebagai terjemahan satu esai dari satu buku berjudul A Critique of Pure Tolerance yang didalamnya memuat tiga esai dari Robert Paul Wolf, Barrington Moore Jr dan Herbert Marcuse, tidak adanya kata pengantar dari penerjemah, editor maupun penerbit terasa cukup menyulitkan bagi pembaca.
Walhasil, tanpa sedikit kata pengantar, pembaca tidak dapat mengetahui pembeda esai Robert Paul Wolf, Barrington Moore Jr dan Herbert Marcuse, siapa tokoh dan bagaimana pemikiran tokoh yang menjadi sasaran kritik mereka, serta pembaca kesulitan dalam memahami konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya dan pergulatan ide dimana esai ini ditulis Marcuse.
Terlepas dari kekurangan terjemahan tersebut, meskipun esai yang ditulis Marcuse ini telah berumur lima puluh tahun, esai Repressive Tolerance atau Toleransi yang Menindas dirasa masih relevan untuk menyikapi secara kritis dan reflektif atas gegap gempitanya wacana Revolusi Industri 4.0 di tanah air.
Bukankah dengan perkembangan teknologi digital yang semakin canggih, internet dan big data, justru membuat teknik agitasi dan propaganda yang dilakukan oleh manusia sebagai mahluk politik juga semakin canggih, sistematis dan massif? Sebagaimana hasil penelitian Universitas Oxford yang berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation.
Peran cyber troops atau pasukan siber dalam membentuk opini publik, yang semula digunakan untuk meningkatkan citra perusahaan, justru telah dimanfaatkan pihak-pihak yang bertarung dalam medan politik. Pelemahan demokrasi nampak jelas mendekati masa pemilu 2019, bahkan semakin parah pasca pemilu 2019 contohnya pertarungan wacana di social media seperti Facebook, Twitter dan Instagram dalam merespon aksi demonstrasi Reformasi Dikorupsi, demonstrasi menolak RUU Omnibus Law, peretasan akun-akun masyarakat sipil, dll.
Sebagai penutup, seyogianya kita mulai memasifkan gerakan istikamah untuk mulat toleransi hangrasa wani atau berani mawas diri dalam bersikap dan bertindak toleran secara benar sekaligus pener. Adapun sikap bodo amat, terutama terhadap praktik toleransi yang menindas di era Revolusi Industri 4.0 melalui propaganda dan hoax yang dilakukan buzzer atau pendengung dan cyber troops, maka bersiaplah untuk semakin jarang kita mendapati kehangatan berwarganegara dan semakin sering bersinggungan dengan warga negara yang judes.