Buku yang berjudul “Menggagas Peran Politik NU” ini ditulis oleh Gus Sholah pada awal tahun 2002. Di dalamnya tersaji 5 bab. Mulai dari pendahuluan, acuan bagi kegiatan politik NU, kiprah politik NU, tantangan terkini, hingga peran politik NU yang ideal. Sedikit banyak, buku ini lahir sebagai respon dari gegap gempita politik NU pasca reformasi 1998. Di antaranya adalah moment dilengserkannya Gus Dur (1940-2009) sebagai presiden RI melalui Sidang Istimewa MPR 2001.
Sebagaimana digarisbawahi oleh Saifullah Ma’shum, Direktur Pustaka Indonesia Satu, dalam kata pengantar, salah satu poin penting gagasan Gus Sholah adalah perlunya netralitas kelembagaan NU dalam kehidupan politik praktis, baik tingkat pusat ataupun tingkat ranting. NU harus mampu menjadi wasit dalam setiap kontestasi politik. Karena itu, NU harus tidak jadi pemain. Selain itu juga harus menjaga jarak yang sama terhadap semua partai. Struktur NU harus mampu mengayomi warga NU yang tersebar di berbagai partai. Gus Sholah menandaskan jargon “NU tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana.”
Lebih lanjut, setidaknya ada tiga hal penting yang akan kita dapati dari buku terbitan Pustaka Indonesia Satu (PIS) ini. Pertama, di bagian awal, Gus Sholah memberikan ulasan yang bernas terkait acuan politik NU. Di titik ini, dipaparkan peran politik NU yang terdokumentasikan dalam Anggaran Dasar Jam’iah NU, hasil-hasil muktamar NU, Khittah NU 1926, dan sembilan pedoman berpolitik warga NU. Ditambah lagi dengan paparan hubungan agama dengan negara, hubungan Islam dengan Pancasila, serta hubungan NU dan partai politik. Dalam pandangan Gus Sholah, PBNU dan struktur NU harus mampu merangkul serta memanfaatkan potensi semua warga NU yang berada di berbagai partai politik.
Karena itu, secara teknis, Gus Sholah mengusulkan, PBNU harus memiliki Komisi Politik. Komisi ini berfungsi memfasilitasi kerjasama antar warga NU yang berada di berbagai partai politik. Hal ini niscaya sebagai upaya nyata meminimalisir konflik di antara sesama warga NU dengan latar belakang partai yang berbeda. Sebaliknya, komisi ini akan lebih dapat diharapkan memaksimalkan kerjasama yang sinergis antar warga NU.
Kedua, di bagian keempat dari buku ini, Gus Sholah memberikan ulasan yang tajam dan objektif terkait tantangan terkini politik NU. Setidaknya ada lima aspek yang disorot Gus Sholah. Pertama, perbedaan dalam pemikiran keagamaan dan politik, khususnya masalah hubungan negara dan agama. Kedua, kebijakan dan langkah organisasi dalam masalah politik. Ketiga, terdapat sekat-sekat psikologis antar warga dan tokoh NU yang aktif di berbagai partai. Keempat, kurangnya kesadaran akan mekanisme organisasi sesuai ketentuan AD/ART dan budaya berorganisasi yang belum mantap. Kelima, pemanfaatan SDM NU yang belum maksimal.
Ketiga, di bagian akhir, Gus Sholah memberikan sembilan pertimbangan dan langkah penting bagi pematangan politik NU. Di antaranya adalah keniscayaan PBNU untuk terus menerus menjelaskan dan memberikan contoh konsistensi menjalankan Khittah NU 1926 dan sembilan pedoman berpolitik warga NU. Secara struktural dan kultural, warga NU harus menyadari bahwa NU merupakan bagian penting bagi penguatan civil society. Masyarakat sipil yang kuat merupakan prasyarat bagi negara yang maju. Peran politik tidak melulu melalui partai politik dan kekuasaan. Meskipun keduanya tetap penting.
Lebih lanjut, buku ini wajib dibaca dan ditelaah oleh warga NU, terlebih bagi generasi mudanya. Meskipun perbedaan pandangan adalah hal yang wajar dalam kultur NU, namun apa yang dipaparkan Gus Sholah di atas, tetap penting dihayati dan dipahami.