Rusdi Mathari terkenal dengan esai yang membawa pesan-pesan kemanusiaan. Di buku Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis Menangis; Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati, ia mampu mengurai problem-problem umat dengan tulisan-tulisan gaya dongeng tidur. Percakapan-percakapan yang mudah dicerna dengan isi petuah-petuah khas khotbah Jumat. Tentunya tidak bikin ngantuk.
Gaya penulisan ini menjadikan pembaca dapat berefleksi tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin, santun, tidak grusa-grusu,lembut dapat dipahami. Rusdi Mathari menyadari bahwa ajaran-ajaran Islam kini seringkali disampaikan dengan nada-nada kelewat keras, sehingga terkesan menakutkan. (hlm.i).
Pria kelahiran Situbondo ini menggambarkan relasi Islam dengan minoritas dalam tulisan berjudul “Cathala”. Bagaimana pengalaman Eropa yang dikenal menjunjung nilai-nilai kemanusian baru saja membangun masjid pertama di Creteil, Prancis. Peristiwa ini tercatat sebagai tempat ibadah Muslim terbesar dan pertama di benua biru dalam 100 tahun terakhir.
Pembangunan masjid di Creteil itu di bela mati-matian oleh seorang anggota Partai Sosialis. Chatala, sekaligus Walikota Creteil menyebut sebagai bentuk evolusi demografi di Kota Creteil. Ia beralasan kepada orang protes terhadap pendirian masjid.
“Jika anda sedang belajar keadilan, anda tidak hanya bisa mengakui sebagaian penduduk dan tidak mengakui sebagain penduduk yang lain, apalagi dalam soal agama dan keyakinan mereka.”(hlm.13)
Nasib minoritas di Eropa sama-sama mendapatkan tekanan seperti di Indonesia. Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi menyatakan Gereja Katolik Santa Clara tidak boleh beraktivitas dan pembangunannya menunggu keputusan hukum alias status quo. Akhirnya, jemaat gereja beribadah di aula milik kesatuan tentara setempat dengan biaya sewa.
Kedua peristiwa di atas tidak melihat ke belakang. Relasi Nabi dengan umat non-Muslim terkisahkan dalam sebuah riwayat. Setelah salat Ashar di Masjid Nabawi, serombongan tamu dari Yaman menemui Nabi di masjid itu. Mereka terdiri dari enam puluh orang yang dipimpin tiga bangsawan. Salah satunya bernama Abu Haritsah. Dialah pendeta Nasrani yang dihormati oleh penguasa Roma dan telah mendirikan banyak gereja. Lalu di dalam masjid, para tamu pun bermaksud menunaikan ibadah tapi beberapa sahabat mencegah mereka. Nabi yang melihat hal itu menegur para sahabat dan mempersilahkan para tamu Nasraninya melakukan Misa di satu sayap masjid. “Biarkan mereka beribadah dengan cara mereka menghadap ke timur.” (hlm.98)
Minoritas selalu mendapat tekanan saat akan mendirikan tempat ibadah. Ia akan selalu dituntut menghormati mayoritas. Celakanya mayoritas sering menyandarkan alasan mereka menekan minoritas berdasarkan ajaran agama.
Dalam Islam tak ada satu ayat pun di dalam al-Quran beserta ucapan dan tindakan Nabi Muhammad yang mengajarkan untuk melarang penganut agama lain mendirikan tempat ibadah. Tidak ada larangan untuk berbeda keyakinan karena Islam adalah agama yang merahmati seluruh alam serta tak menciptakan kebencian di sana. Tidak juga diajarkan untuk curiga dan berburuk sangka. (h.12)
Ajaran-ajaran kemanusian Islam diperoleh dari Nabi Muhammad yang di utus ke bumi untuk meperbaiki akhlak dan adab umat. Sebab adab, Muslim seyogianya menjadi manusia yang menghargai perbedaan asal-usul bangsa, ras, bahasa dan bahkan keyakinan.
Jika kebencian sudah tertanam jauh dalam diri manusia, maka jawabanya ada pada tulisan berjudul “Agama”. Persatuan antara kebencian, denam dan fanatisme yang muncul tanpa alasan dapat menyebabkan menghardik orang-orang yang berbeda paham dan keyakinan sebagai ancaman.
Kebencian yang di sebar pun yang dibungkus dengan bahasa mengajak perang berujung saling mengkafirkan dan sesat menyesatkan lalu seperti yang dikeluarkan dengan perasaan jijik. Seolah hanya yang paham ilmu agama dan karena itu layak menjadi penghuni surga, meskipun yang terjadi sesungguhnya, hati mereka sudah lebih dulu terbakar oleh kemarahan dan kesumat. Sebab banyak manusia yang mengaku benar padahal salah saja mereka tidak punya. Mereka mengaku pintar padahal bodoh saja tidak punya. (hlm.20).
Kebencian yang disebarkan itu tak pernah punya dasar. Sebab Islam justru menjadi agama yang membenarkan ajaran-ajaran Taurat, Zabur, dan Injil. Tak ada satu kata pun di redaksi al-Quran dan hadis Rasulullah yang menyarankan untuk merusak dan menghancurkan tempat ibadah dengan dalih apapun.
Ajaran Nabi Muhammad yang menuntun umatnya untuk menebarkan kedamaian, menjaga amanah, menjaga kesederhaan, serta menghormati orang tua. Kedamaian yang diciptakan oleh kalangan Muslim dapat dijadikan paradigma berpikir seorang Muslim di era kekinian. Sehingga amanah yang dipikul oleh seorang Muslim mampu dijalankan dengan sederhana dan menebarkan akhlak karimah.
Menjadi Muslim melatih untuk memahami setiap rukun Islam secara hafiah dan maknawi. Rusdi menjelaskannya dalam tulis “Kakbah” sebagai sebagai simbol pemersatu umat Islam. Ia memaknai peristiwa Nabi Muhammad melakukan bersih-bersih terhadap berhala di dalam Ka’bah, selain menghancurkan benda juga mengusir kebusukan hati dan kehancuran moral berupa berhala dalam diri manusia.
Ka’bah bagi Muslim seharusnya tak sekedar bangunan yang tampak indah dengan segala pernak-perniknya. Menjadi Ka’bah yang tak tampak dan akan bersemayam pada hati (rasa) manusia sehingga berhala-berhala yang bersemayam dapat segera disingkirkan. (hlm.43).
Pasca berefleksi menjadi Muslim kita akan sampai pada pelabuhan akhir setelah dihisab, menuju neraka atau surga. Namun, sebelum terlalu bingung memilih surga atau neraka, mantan wartawan detik.com ini memberikan kisi-kisi tentang surga. Dialog tentang siapa berhak masuk surga menandakan bahwa tempat terbaik itu ditujukan bagi umat yang mendapatkan rahmat dari Alloh.
“Sesungguhnya telah ada seorang pelacur yang masuk ke surga.” Cerita yang sontak mengejutkan para sahabat Nabi ini kemudian dijelaskan secara komprehensif. Bahwa wanita pekerja seks ini dijamin masuk surga karena memberi minum seekor anjing.
Lalu sahabat bertanya kepada Rasul: “Apakah hanya orang-orang ahli ibadah saja yang masuk surga?” Rasul menjawab, tidak. “Sesungguhnya, seseorang masuk surga bukan semata-mata ibadahnya tapi karena rahmat Allah.”
Buku karangan Rusdi Mathari identik dengan refleksi diri seperti di buku Aleppo (2016), Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (2016), Mereka Sibuku Menghitung Langkah Ayam (Buku Mojok, 2018), dan Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018) yang kesemuanya patut kita lahap untuk merefleksikan diri sebagai Muslim, dan juga sebagai manusia.
Judul Buku : Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis; Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati
Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Tahun Terbit : Cet ke-3 Mei 2019
Jumlah Halaman : vii + 115