Rendang: Produk Budaya atau Agama?

Rendang: Produk Budaya atau Agama?

Makanan, termasuk rendang adalah produk budaya dan kebudayaan akan melewati proses, salah satunya akulturasi.

Rendang: Produk Budaya atau Agama?
Rendang (Freepik.com)

Baru baru ini jagad dunia maya diramaikan oleh berita terkait pengecaman sebuah restoran Padang di Jakarta yang menyediakan salah satu menu yang terbuat dari daging babi. Rendang yang biasanya terbuat dari daging sapi, oleh si pemilik restoran tersebut diganti menjadi daging babi. Rendang sendiri secara makna sering disalah pahami.

Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman dalam majalah online BBC berjudul Nasi Padang: Sejarah, kalori, dan semua hal yang perlu Anda ketahui (baca : majalah) orang-orang Minang memandang rendang sebagai teknik mengawetkan makanan yang tidak cuma daging tapi bisa juga ikan, telur, tempe, tahu, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya rendang tidak selalu identik dengan daging.

Berkat inovasi yang berusaha dilakukan pemilik restoran tersebut, beragam kecaman lahir dari berbagai pihak. Mulai dari petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat ikut menyuarakan agar restoran tersebut ditutup dan pemiliknya harus dibawa ke proses hukum. Karena desakan yang begitu tinggi, kepolisian pun memanggil pelaku dan belakangan kebingungan dalam menentukan delik perkaranya.

Belakangan yang agak lucu sekaligus aneh, pasca keributan tersebut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa turun langsung mengecek beberapa restoran Padang yang ada di Surabaya dan menghimbau agar setiap pengusaha restoran Padang memasang logo halal di depan masing-masing restoran mereka.

Lalu, mengapa polemik ini mampu menimbulkan kegaduhan yang luar biasa? Sampai membuat berbagai pihak keteteran dan bersifat reaksioner dalam meresponnya. Dibanding kuliner lain, babi seringkali menjadi lading empuk keributan. Untuk memulai diskusi tersebut, sepertinya menarik untuk terlebih dahulu mendekatinya dari perspektif kebudayaan.

Kuliner sebagai Produk Kebudayaan

Kuliner/Makanan adalah salah satu kebutuhan primer manusia yang paling primitif. Sumber-sumber makanan tersedia di alam dan manusia sudah tentu mengambilnya dari sana. Dalam proses memperoleh makanan, baik dari segi teknik produksi, distribusi hingga konsumsi manusia pada awalnya menggunakan berbagai cara. Dari berbagai cara itulah manusia menemukan metode yang paling tepat sesuai dengan kondisi ekologis serta sosiologisnya.

Mengutip pendapat Abdurrahman Wahid dalam buku Pergulatan, Negara, Agama dan Kebudayaan, Kebudayaan dimaknai sebagai tata laku yang lahir akibat interaksi terus menerus antar individu dengan individu, antar individu dengan alam, secara sukarela di dalam kehidupan sehari-hari. Maka, metode yang digunakan manusia dalam menghasilkan makanan juga menjadi bagian dari bangunan besar bernama kebudayaan.

Maka tepat apa yang dikatakan Marvin Harris dalam buku Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir bahwa babi haram bagi umat Islam dan Yahudi dikarenakan dua agama tersebut lahir dari wilayah yang secara kondisi ekologis dan sosiologisnya memiliki kemiripan. Jadi tak usah kaget jika tradisi agama ataupun kebudayaan yang lain justru menjadikan babi sebagai makanan favorit. Kembali kepada premis awal tadi.

Dikutip dari jurnal Kuliner Sebagai Identitas Budaya : Perspektif Komunikasi Lintas Budaya, Journal of Strategic Communication dalam beberapa tradisi, makanan justru menjadi identitas dari kebudayaan itu sendiri. Tetapi yang perlu digarisbawahi kebudayaan adalah sebuah entitas yang alih-alih statis, tetapi sangat dinamis. Bahkan dalam pandangan yang radikal, tidak ada kebudayaan yang benar-benar asli. Dalam proses kemenjadiannya, kebudayaan selalu lahir dari proses akulturasi ataupun asimilasi. Begitupun persoalan makanan, termasuk kuliner tercakup di dalamnya.

Dalam ulasan di pendahuluan, saya telah sedikit mengutip pendapat dari Fadly Rahman perihal definisi rendang. Berdasarkan sejarahnya, rendang adalah teknik mengolah makanan dengan tujuan membuat makanan tersebut lebih tahan lama. Dalam majalah dijelaskan kalau masyarakat Minangkabau sejak dahulu kala telah memiliki tradisi merantau ke negeri-negeri yang jauh sehingga dengan mengolah suatu makanan menjadi rendang, maka makanan tersebut dapat menjadi bekal yang tahan lama di perjalanan jauh.

Rendang Terinspirasi dari India dan Hongaria

Masih dalam majalah yang sama, rendang bahkan terinspirasi dari kuliner asal India dan Hongaria yakni goulash. Tetapi masyarakat Minangkabau melakukan proses kebudayaan dengan mengubah teknik produksi makanan tersebut. Dikutip dari wikipedia  goulash lebih basah dan kebanyakan berbahan dasar babi sedang di India tidak berbahan dasar daging sapi (karena haram dalam perspektif hindu) maka rendang dibuat lebih kering dan berbahan dasar daging sapi. Rendang adalah produk hasil proses kebudayaan.

Tak jauh berbeda seperti yang diungkapkan dalam liputan tirto.id berjudul Apa Itu Akulturasi dalam Makanan dan Contohnya di Indonesia? ketika Meng Bo menemukan bakso. Bak yang bermakna babi dan So yang berarti makanan. Ketika itu ibu Meng Bo tak mampu lagi memakan daging karena umurnya yang sudah tua, sehingga Meng Bo melakukan inovasi dengan menumbuk daging tersebut dan membentuknya menjadi bulatan-bulatan lalu direbus.

Berkat proses kebudayaan tersebut, ibu Meng Bo dapat menikmati daging (babi) dengan cara berbeda. Dan hingga dewasa ini bakso menjadi salah satu kuliner yang amat popular meskipun telah melewati proses kebudayaan yang lain di mana bahan dasarnya tidak hanya babi, tetapi juga dari sapi, ayam, ikan dan lain-lain.

Bahkan beberapa kuliner yang lain, seperti bakmi, bakpau dan lumpia yang pada awalnya adalah produk olahan kuliner yang berbahan dasar babi kini telah melalui berbagai proses kebudayaan dan menggunakan daging yang lain sebagai bahan pelengkapnya. Seperti yang telah saya jelaskan di atas bahwa makanan adalah produk budaya dan kebudayaan akan melewati proses, salah satunya akulturasi.

Mengalihkan Kritik

Ketimbang “ribut” perihal babi yang dijadikan rendang, mari kita alihkan pikiran bagaimana menjawab persoalan hilangnya eksistensi makanan tradisional akibat terjadinya suatu proses invasi kebudayaan yang didukung negara? Bukankah hal tersebut adalah upaya penghancuran suatu kebudayaan?

Hari ini kita bisa melihat hasil yang dituai dari kebijakan swasembada pangan di era orde baru (meskipun masih berlangsung hingga hari ini). Bagaimana ketika itu negara berusaha menyeragamkan pangan di seluruh antero negeri menjadi beras. Masyarakat timur, khususnya Papua yang secara budaya tidak mengonsumsi beras, hari ini harus menyaksikan tumbangnya pohon sagu satu persatu untuk dijadikan sawah.

Negara justru hadir hanya untuk memastikan jumlah sawah terus bertambah (MIFEE). Akankah pemerintah rela turun langsung ke Papua untuk melindungi kuliner khas Papua (sagu) tersebut seperti yang dicontohkan Gubernur Jawa Timur? Akankah para anggota DPR yang terhormat tersebut bersuara? Akankah para petinggi MUI meminta polisi untuk menangkap para penebang sagu tersebut? Apakah sagu perlu diberi label halal agar menjadi perhatian “umat”?

(AN)