
Sejak lama, tanah Palestina menjadi saksi bisu penderitaan yang tiada henti. Gaza, yang sering disebut sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, mengalami blokade yang mencekik serta agresi militer yang terus menerus. Dalam kondisi yang semakin memburuk ini, muncul wacana tentang relokasi warga Gaza ke negara lain, termasuk Indonesia. Wacana ini bukanlah solusi, melainkan strategi sistematis untuk menghapus Palestina dari peta dunia. Menempatkan warga Gaza di negeri asing berarti merenggut hak mereka atas tanah airnya sendiri, hak yang seharusnya tidak bisa ditawar atau dikompromikan.
Usulan relokasi ini ditawarkan oleh Donald Trump dan sekutunya sebagai bagian dari kebijakan geopolitik yang sepertinya hanya akan menguntungkan Israel. Bukan hanya sebatas memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain, relokasi ini sejatinya adalah proyek kolonialisme modern yang bertujuan untuk melemahkan Palestina sebagai sebuah entitas nasional. Rakyat Palestina bukan sekadar pengungsi yang mencari tempat berlindung, melainkan pemilik sah atas tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.
Secara hukum, relokasi paksa bertentangan dengan berbagai ketentuan internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk tinggal di tanah airnya dan kembali ke sana jika diusir secara paksa. Sementara itu, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 menegaskan bahwa pemindahan paksa penduduk oleh kekuatan pendudukan merupakan bentuk kejahatan perang. Jika dunia internasional benar-benar memegang teguh prinsip-prinsip hukum ini, maka yang seharusnya diperjuangkan bukanlah pemindahan warga Gaza ke tempat lain, melainkan pemulihan hak mereka untuk hidup dengan aman di tanah mereka sendiri.
Sikap Indonesia terhadap Palestina sudah sangat jelas dan bukan sekadar retorika diplomatik. Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah menegaskan sikap anti-penjajahan dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip ini jelas tercermin dalam kalimat, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Menerima relokasi warga Gaza sama artinya dengan membiarkan penjajahan tetap berlangsung. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip yang telah lama dipegang oleh bangsa Indonesia.
Namun, menolak relokasi bukan berarti menutup mata terhadap penderitaan warga Gaza. Indonesia harus tetap mengambil peran aktif dalam membantu mereka, baik melalui bantuan kemanusiaan, diplomasi internasional, maupun dukungan terhadap upaya hukum untuk menuntut keadilan. Solusi yang benar bukanlah membiarkan warga Palestina tercerai-berai, tetapi mengembalikan hak mereka untuk hidup damai di tanah mereka sendiri. Dan, satu lagi, jangan sampai ada normalisasi. Poin terakhir ini adalah kunci, sebesar apapun manfaat yang akan didapatkan Indonesia.
Dalam Islam, tanah air memiliki makna yang mendalam. Rasulullah ﷺ sendiri mengalami pengusiran dari Mekkah, dan dalam sebuah hadis, beliau bersabda dengan penuh kesedihan, “Demi Allah, engkau (wahai Mekkah) adalah bumi Allah yang paling aku cintai, dan engkau juga bumi Allah yang paling Allah cintai. Seandainya bukan karena aku diusir darimu, niscaya aku tidak akan pergi meninggalkanmu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi). Hadis ini mencerminkan betapa besar kesedihan seseorang ketika harus meninggalkan tanah airnya secara paksa. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa pengusiran seseorang dari tanahnya adalah bentuk kezaliman yang tidak dapat dibenarkan.
Wacana relokasi warga Gaza harus dipandang dengan kritis. Ini bukan sekadar persoalan kemanusiaan, tetapi juga masalah keadilan dan hak asasi manusia. Dunia tidak boleh membiarkan penjajahan terus berlanjut dengan dalih menawarkan solusi yang tampaknya baik di permukaan. Yang harus dilakukan adalah menekan Israel agar menghentikan pendudukannya dan mengembalikan hak-hak rakyat Palestina.
Indonesia, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadilan, memiliki tanggung jawab moral untuk terus membela Palestina. Penolakan terhadap relokasi bukanlah bentuk ketidakpedulian, tetapi justru bagian dari komitmen untuk memastikan bahwa warga Gaza mendapatkan hak mereka yang sesungguhnya—bukan hanya tempat tinggal sementara di negeri asing, tetapi rumah yang abadi di tanah mereka sendiri.
(AN)