Gedung Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, akhirnya diresmikan setelah diwarnai sengketa selama belasan tahun. Gereja yang kini bernama GKI Pengadilan Pos Bogor Barat itu diresmikan bertepatan dengan Hari Raya Paskah, Minggu, 9 April 2023. Peresmian gereja yang berlokasi di lahan hibah dari Pemerintah Kota Bogor itu dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Peresmian itu turut dihadiri oleh Wali kota Bogor, Bima Arya Sugiarto. Dalam jumpa pers, Bima Arya mengatakan, peresmian Gedung GKI Yasmin yang bertepatan dengan Hari Paskah ini menjadi akhir membahagiakan bagi jemaat GKI. Namun, benarkah demikian?
Di satu sisi, peresmian GKI itu memang memenuhi hak umat Kristen untuk mendapatkan akses tempat ibadah yang layak. Namun di sisi lain, peresmian itu menegaskan kekuatan tekanan “mayoritas” yang intoleran terhadap Pemerintan Kota Bogor. Mengapa demikian? Karena faktanya, gereja yang diresmikan itu bukanlah gereja yang dulu diperjuangkan, melainkan sudah direlokasi di daerah hibah sejauh satu kilometer dari lokasi lahan yang dipermasalahkan.
Gereja yang diresmikan oleh Wali kota Bima Arya bukanlah gereja yang dimaksud dalam IMB Nomor 645.8 – 372 tahun 2006 tertanggal 13 Juli 2006 yang keabsahannya dikuatkan oleh putusan-putusan pengadilan hingga Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010. Gedung GKI Yasmin yang diresmikan itu berjarak sekitar satu kilometer (dekat RS Muhammadiyah Bogor) dari area sebelumnya (di dekat RS Hermina Bogor), di Jalan KH Abdullah bin Nuh, Bogor.
Selama belasan tahun, jemaat GKI terus memperjuangkan hak mereka. Sebagai bentuk protes, mereka memilih beribadah dan melakukan perayaan Natal di seberang istana selama ini. Seperti yang dilaporkan CNN, sudah lebih dari 200 kali mereka menggelar ibadah di seberang istana sejak Februari 2012. Kini, mereka mungkin sudah berhenti beribadah di depan istana.
Kembali ke belakang, apa yang terjadi pada GKI Yasmin mencoreng rasa kemanusiaan dan prinsip keadilan sosial di Indonesia. Semula, pembangunan Gereja ini terkesan baik-baik saja. Pada 19 Juli 2006, Pemerintah Kota Bogor menerbitkan Izin Menerbitkan Bangunan (IMB) buat GKI Yasmin. Setahun kemudian, GKI mulai meletakkan batu pertama yang dihadiri oleh Wali kota Bogor saat itu, Diani Budiarto.
Namun, skenario tiba-tiba berbalik ketika muncul penolakan dari sejumlah masyarakat yang mengatasnamakan ormas Islam. Sebagian yang protes bahkan bukan merupakan penduduk di sekitar Gereja. Tahun 2008, kelompok ini mengajukan surat permohonan pembatalan pembangunan Gereja ke Pemerintah Kota Bogor. Anehnya, Pemkot Bogor tunduk begitu saja pada permintaan itu.
Pemkot kemudian mengeluarkan surat pembekuan IMB. Tentu saja jemaat Gereja tidak terima. GKI Yasmin menggugat keputusan Pemkot itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. PTUN membenarkan gugatan itu dan menyatakan pembekuan IMB tidak sah. Pemkot Bogor giliran meradang. Mereka kemudian mengajukan banding, kasasi, hingga judicial review ke Mahkamah Agung. Ternyata permohonan Pemkot ditolak Mahkamah Agung.
MA menetapkan, IMB tersebut telah sah. Gereja boleh dibangun. Tapi apa yang terjadi di pengadilan tidak sejalan dengan apa yang berlangsung di lapangan. Kelompok-kelompok anti-gereja terus melancarkan aksi dan menghalangi pembangunan. Berbagai tudingan dilancarkan untuk menggagalkan pembangunan gereja. Mereka, misalnya, adalah Harokah Sunniyyah Untuk Masyarakat Islami (HASMI) dan Forum Komunikasi Muslim (FORKAMI).
FORKAMI bahkan mengatakan bahwa telah terjadi pemalsuan data dan tanda tangan persetujuan warga yang disebut dilakukan panitia Gereja. Menurut peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006, memang dinyatakan bahwa untuk membangun Gereja diperlukan sedikitnya persetujuan yang ditandatangani 60 tanda tangan warga setempat. Menurut perwakilan FORKAMI, tanpa sepengetahuan warga, plang IMB itu tiba-tiba berdiri.
Singkatnya, GKI sudah memperoleh tanda tangan yang diperlukan. Tapi FORKAMI menuduh itu sebagian besar adalah tanda tangan palsu. Atas dasar tuduhan itu, Pemkot Bogor bersikeras mencabut IMB Gereja. Hanya saja tuduhan FORKAMI itu tidak diterima oleh MA. MA tetap menilai pemberian IMB itu sah. Masalahnya kemudian berlarut-larut karena Pemkot Bogor tidak mau menjalankan keputusan MA. Pembangunan Gereja pun terbengkalai. Simpati masyarakat sipil tidak mampu meluluhkan hati Pemkot Bogor, apalagi oknum intoleran.
Adalah Bima Arya, Wali kota Bogor sejak 2014 itu yang kemudian mencari jalan tengah. Bima percaya hak umat Kristen untuk beribadah harus dihormati. Namun, ia juga tak ingin mencari masalah dengan oknum intoleran. Setelah melewati setidaknya 30 pertemuan resmi dan 100 pertemuan informal, Bima akhirnya memutuskan untuk merelokasi Gereja.
Seperti yang telah disinggung, Gereja tidak dibangun di lokasi asal, melainkan di daerah Cilenek Barat yang berjarak satu kilometer. Bangunan GKI di Celenek Barat itulah yang sekarang diresmikan. Nyatanya, tidak semua pihak gembira dengan pembangunan gereja baru ini. Mereka datang terutama dari yang sudah bersusah payah memperjuangkan gereja sejak belasan tahun. Diteror, diintimidasi, difitnah, harus pulang pergi ke pengadilan, dan mengorbankan banyak hal. Sebagian pihak GKI Yasmin bahkan merasa tidak dilibatkan dalam penyelesaian akhir sengkarut ini.
Kekecewaan ini diungkapkan oleh mantan juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging. Mengutip dari CNN, ia mengatakan, negara harusnya menegakkan hukum dan konstitusi tanpa kecuali. Bona menganggap peresmian gereja di Celendek Barat itu sebagai contoh kegagalan negara dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Mengutip BBC, sebagian jemaat gereja bahkan tidak mau beribadah di dalam gereja baru itu. Mereka memilih beribadah secara daring via YouTube dan di rumah jemaat. Pilihan ini tampak bisa dipahami. Apa yang selama ini mereka perjuangkan tampak seolah terselesaikan tanpa menyentuh aspek yang paling esensial yaitu keadilan sosial.
Bagaimana tidak, Surat Keputusan (SK) Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin seolah mengolok-olok putusan MA, PTUN, dan PTTUN yang jelas-jelas mengesahkan IMB GKI Yasmin. SK yang dikeluarkan Diani Budiarto itu menjadi satu dari sekian bukti bahwa keputusan negara masih bisa diinfiltrasi sekelompok masyarakat intoleran. SK itu juga bahkan mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI Nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011, yang juga menyatakan sahnya IMB gereja GKI Yasmin.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menganggap bahwa hal ini adalah preseden buruk penyelesaian kasus intoleransi serta kepatuhan hukum dan konstitusi di Indonesia. Ia menambahkan, bentuk penyelesaian semacam ini bisa berimplikasi negatif ke depan. Ia khawatir kasus-kasus pelaranggaran kebebasan beragama ke depan akan terus terjadi mengingat dalam kasus GKI Yasmin putusan hukum diabaikan begitu saja untuk memuaskan oknun intoleran.
Menurut Bona, tidak menutup kemungkinan opsi tersebut akan menjadi rujukan bagi kepala daerah dalam menyelesaikan konflik serupa. Sehingga, kelompok minoritas yang hendak membangun rumah ibadah di lingkungan dengan mayoritas agama berbeda, harus mengalah. Namun, sikap Bima Arya juga tak bisa disalahkan. Ia barangkali menganggap bahwa konflik ini hanya bisa berakhir dengan kompromi. Buat dia yang penting umat Kristen bisa beribadah terlepas dari di gereja yang mana.
Pada akhirnya, esensi konfliknya bukan pada infrastruktur gerejanya, melainkan pola pikir sebagian masyarakat kita yang “alergi” terhadap keberagaman. Hasil relokasi gereja seolah menegaskan keberhasilan kelompok intoleran menekan Pemkot. Hal itu juga berarti supremasi suara intoleran masih merajalela di sana. Jika isu paling esensial itu tidak bisa ditangani, maka akan sangat mungkin kasus “GKI Yasmin” akan terulang di waktu yang akan datang.