Pasca ledakan di pelabuhan Marfaa, Beirut, Lebanon, 4 Agustus 2020 yang lalu, terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi politik Lebanon. Pemerintah Lebanon diminta bertanggungjawab atas insiden tersebut. Tidak hanya itu, mereka menyuarakan reformasi di Lebanon di tengah sengkarut politik, rakusnya korupsi para pejabat dan kesenjangan ekonomi.
Akhirnya, kini Lebanon pun memiliki Perdana Menteri baru, Mustapha Adib, menggantikan Perdana Menteri lama, Hassan Diab, yang mengundurkan diri karena desakan publik.
Pemerintah Lebanon melalui presiden Michael Aoun menyatakan akan segera melakukan reformasi total untuk memperbaiki kondisi politik Lebanon yang tengah carut marut. Ia juga tengah memikirkan bahwa sistem pemerintahan Lebanon yang menganut sistem konfesionalisme, yakni sistem sektarian pembagian kekuasaan berdasarkan pada sekte-sekte keagamaan. Hal ini bagi Aoun dianggap telah membawa dampak besar bagi kondisi politik Lebanon selama kurun waktu tujuh dekade. Badai pertikaian dan perseteruan antar sekte keagamaan tidak dapat terhindarkan.
Pasalnya, dalam sistem tersebut, yang menjadi presiden harus berasal dari Katolik Maronit, sedangkan perdana menteri berasal dari Islam Sunni, wakil PM berasal dari Kristen Ortodoks, dan ketua parlemen berasal dari Syiah. Jika melihat sejarah, terkait pembagian kekuasaan itu sebenarnya hanyalah hasil kesepakatan antara presiden (dari kelompok Katolik Maronit) dan perdana menteri (dari kelompok Islam Sunni) pada 1943. Saat itu, Lebanon baru saja merdeka dari Prancis. Kesepakatan itu tidak tertulis, tetapi menjadi semacam konvensi yang berlaku pada tahun-tahun kemudian. Baru pada 1990 sistem tersebut diformalkan menjadi konstitusi.
Pembagian kekuasaan seperti itu juga terjadi di tingkat parlemen, yakni dianggarkan sebanyak 128 kursi. Pembagian jumlah anggota parlemen Lebanon diatur pembagiannya berdasarkan agama yang dianut. Jatah untuk Kristen yakni sebesar 64 kursi, dengan perincian, Maronit mendapatkan 34 kursi, Ortodoks Yunani 14 kursi, Katolik Yunani 8 kursi, Ortodoks Armenia 5 kursi, Katolik Armenia 1 kursi, Protestan 1 kursi, dan yang dikategorikan lain-lain sebanyak 1 kursi. Sedangkan, jatah untuk orang Islam juga sama, 64 kursi. Perinciannya, Sunni sebanyak 27 kursi, Syiah 27 kursi, Druze 8 kursi, dan Alawi (Syiah) 2 kursi.
Kini Lebanon tengah berbenah dan mereformasi pemerintahan. Rakyat Lebanon tengah menanti reformasi yang bakal membawa negara yang disebut dengan “Swiss di Timur Tengah” itu berubah lebih baik. Masyarakat Lebanon sudah jengah ada di tengah badai covid-19 yang menyerang, dengan kondisi politik dan ekonomi yang tak bisa diharapkan. Maka, reformasi politik adalah keniscayaan dan jalan yang mesti ditempuh.
Intervensi Prancis dan Reformasi LebanonĀ
Saat kondisi Lebanon terpuruk, Prancis melalui presiden Emmanuel Macron berusaha turut andil dalam upaya rekonsiliasi dan membantu reformasi politik Lebanon. Pasca ledakan di perlabuhan Beirut, ia juga hadir ditengah masyarakat Lebanon untuk melihat kondisi dan situasi yang terjadi di lokasi ledakan. Tentu dalam hal ini, presiden Emmanuel Macron ingin membantu Lebanon dan menjadi pahlawan atas kondisi politik Lebanon yang tak stabil tersebut. Ia juga berdiskusi dengan presiden Michael Aoun dan memediasi reformasi politik Lebanon. Tidak selesai dari situ, ia juga memberikan syarat bagi Lebanon supaya membenahi situasi politiknya. Dana bantuan kemanusiaan internasional yang mengalir ke Lebanon pasca ledakan di pelabuhan Beirut tidak akan diberikan, jika pemerintah Lebanon tidak melakukan reformasi yang nyata.
Kunjungan kedua Macron juga untuk memastikan reformasi Lebanon harus berjalan cepat. Mustapha Adib sebagai Perdana Menteri baru Lebanon harus melakukan reformasi dan pembenahan yang menyeluruh di tubuh pemerintah maupun parlemen. Jika tidak ada perubahan sama sekali, maka pergantian perdana menteri pun hanya sebuah intrik politik semata.
Sebelumnya Mustapha Adib adalah mantan duta besar Lebanon untuk Jerman. Ia mendulang 90 suara dari 120 suara dalam parlemen untuk mengklaim jabatan perdana menteri Lebanon. Sedangkan, pemungutan suara diadakan di istana presiden di Baabda, Beirut. Ia akan berjuang sekuat tenaga dan melakukan reformasi besar-besaran di tubuh pemerintah Lebanon. Harapan dan keinginan masyarakat Lebanon untuk hidup damai dan sejahtera adalah cambuk yang mengharuskan pemerintah Lebanon melakukan perubahan nyata bagi rakyat Lebanon.
Jika pihak pemerintah Lebanon sukses dan mampu mereformasi politik Lebanon. Macron dipastikan sangat mengapresiasi dan senang atas pencapaian tersebut. Tentu saja, tidak ada makan siang gratis. Di balik bantuan Macron kepada Lebanon pasti ada agenda politik Prancis dan kerjasama kedepan dengan Lebanon. Meski Lebanon dulu pernah diduduki oleh Prancis atas mandat PBB. Hal ini juga membuat kedekatan dua negara tersebut tidak dapat dipisahkan.
Hingga pada tahun 1943, Prancis bersepakat untuk mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah Lebanon. Dalam hal ini, Prancis memberikan Lebanon kemerdekaan untuk memerintah negaranya sendiri. Meski begitu, Prancis tidak lantas meninggalkan Lebanon begitu saja.
Prancis sering menjadi negara pertama untuk mengulurkan tangan pada Lebanon di masa sulit. Selama Perang Saudara Lebanon, Prancis memberikan bantuan militer kepada negara tersebut dan memberikan suara secara konsisten untuk resolusi PBB yang akan menguntungkan negara tersebut. Setelah perang saudara, Prancis terus mendukung Lebanon dan melakukan investasi langsung di negara itu.
Reformasi Politik Lebanon: Menuju Sistem Sekuler?
Reformasi politik adalah kunci bagi Lebanon keluar dari sengkarut politik dan ekonomi yang runyam. Perdana Menteri yang baru adalah harapan bagi masyarakat Lebanon. Mereka menanti pemerintah Lebanon melakukan reformasi dan pembenahan untuk pemerintahan yang baik. Jika reformasi berhasil, maka Lebanon akan mencatatatkan sebagai salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang demokratis.
Bagi pemerintah Lebanon, restrukturasi politik dan ekonomi adalah tantangan yang harus dibuktikan. Menurut pernyataan presiden Michael Aoun, ia akan mengubah sistem pemerintahan dari sistem konfesionalisme beralih menjadi sistem sekuler. Sistem tersebut dirasa akan cocok dengan kondisi Lebanon. Sehingga antara negara dan agama dapat dikelola dengan baik, tanpa mencampuradukkan keduanya.
Bagi Aoun, sistem konfesionalisme yang telah berjalan selama kurang lebih 70 tahun, ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat Lebanon. Bahkan, sistem tersebut cenderung memecah belah sekte-sekte keagamaan di Lebanon. Puncaknya instabilitas politik, kemunduran ekonomi, dan tindak korupsi yang, menurut Hassan Diab, lebih besar dari negaranya sendiri.
Masyarakat Lebanon tengah harap cemas dan menaruh sejuta harapan kepada Perdana Menteri baru untuk bergerak dan melakukan aksi nyata untuk rakyat pasca ledakan di pelabuhan Beirut, awal Agustus lalu. Belum lagi terpaan pandemi covid-19 yang belum usai. Reformasi adalah harapan yang diinginkan rakyat di tengah kejumudan politik para pemimpinnya. Akankah berjalan sesuai harapan? Kita tunggu saja!