Rayakan Toleransi, Menelusuri Seluk Beluk Islam di Media Sosial Agar Tidak Jadi Radikal

Rayakan Toleransi, Menelusuri Seluk Beluk Islam di Media Sosial Agar Tidak Jadi Radikal

Rayakan Toleransi, Menelusuri Seluk Beluk Islam di Media Sosial Agar Tidak Jadi Radikal

CIPUTAT, ISLAMI.CO – Bagaimana merayakan toleransi di rimba digital dan bagaimana media sosial saat ini menjadi wadah moderasi beragama di Indonesia?

Pertanyaaan itu terjawan dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI (PKUB) bersama Yayasan Islami Medi Ramah (Islami.co) yang bertajuk “Merayakan Toleransi di Rimba Digital” pada Rabu (11/12/2024) di Outlier Cafe, Ciputat Tangerang Selatan, Banten.

Diskusi tersebut membincangkan bagaimana media sosial menjadi wadah pertumbuhan Islam, termasuk pelbagai macam aliran dari konservatif, moderat sampai radikal di media sosial.

Hadir dalam acara tersebut, M. Nuruzzaman penulis buku “Radikalisme di Media Sosial, Savic Ali Ketua PBNU sekaligus Founder Islami.co dan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI Muhammad Adib Abdushomad dan pendakwah Habib Husein Ja’far. Acara itu juga dimoderatori oleh Gigih Adiguna (Komika).

M. Nuruzzaman mengawali, bahwa media sosial menjadi alat bagi kelompok Islam radikal untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran ekstrimisnya.

Hal ini, kata dia, tampak ketika ia beberkan perbedaan antara narapidana teroris tahun 2000an dan tahun 2010 ke atas. Menurutnya, narapidana teroris tahun 2000an tersebut sama sekali tidak memiliki akun media sosial, berbeda dengan narapidana teroris tahun 2010an.

Baca juga : Lini Masa Gelombang Terorisme dalam Bingkai Media

“Narapidana teroris tahun 2000 sampai 2010 an itu tidak ada satupun memiliki akun media sosial, untuk menjadi teroris itu butuh waktu minimal 3,5 tahun dan harus tatap muka, tetapi narapidana teroris 2010 sampai sekarang itu 87 persen memiliki akun media sosial bahkan ada yang satu bulan setengah tatap muka, mereka sudah jadi teroris” jelas Nuruzzaman.

“Ini menjelaskan bahwa media sosial menjadi alat untuk mempercepat orang menjadi teror, ada tantangan serius di tengah kita,” lanjutnya.

Nuruzzaman menilai media sosial merupakan kemajuan zaman yang penting untuk dilihat sekaligus diwaspadai. Ia mengajak kepada hadirin untuk lebih mewaspadai media sosial, terutama konten-konten radikalisme.

Sejalan dengan itu, Ketua PBNU sekaligus Founder Islami.co Savic Ali merasa terganggu oleh sebagian kelompok yang mengaku Islam tetapi melakukan kerusakan-kerusakan sosial, terlebih sampai menghilangkan nyawa manusia.

Baca juga : Hasil Riset Terbaru, Islamidotco Jadi Best Practices untuk Bidang Media Komunikasi Tangkal Radikalisme

“Saya dan teman-teman semua merasa terganggu dengan itu dan berusaha menunjukkan bahwa Islam tidak seperti itu dan itu yang kita lakukan,” kata Savic Ali.

“Nah buku kang Zaman ini sumbangan penting saya kira, karena tidak banyak orang di Indonesia yang bener-bener fokus radikalisme di dunia maya. Padahal kita tahu ada 180 juta lebih orang membuka media sosial,” lanjut Savic Ali.

Sementara, Muhammad Adib Abdushomad Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama RI menyambut baik kegiatan ini. Ia mengajak semua pihak agar bersama-sama membagikan kedamaian.

“Saya kira, pusat Kerukunan Umat Beragama RI memiliki cita-cita salah satu cita-citanya adalah kita ingin sekali menjadikan Indonesia sebagai referensi dan destinasi dunia terkait dengan kerukunan umat beragama,” tandasnya.

Sedangkan pendakwah Habib Husein Ja’far menilai penting untuk pemetaan platform untuk berdakwah dan menyebarkan Islam yang santun dan damai.

Ia lantas memberi contoh, Jeda Nulis platform miliknya di Youtube, sengaja  tanpa adsense karena memang untuk dakwah.

“Saya sengaja kasih ide musik halal saja itu kontroversi,” katanya.

Ia lantas menegaskan pemilihan platform jadi penting agar dakwah di rimba digital bisa efektif.