Imam Ibn al-Mubarak mengisahkan dalam kitab al-Zuhd bahwa ketika Abu Hurairah diberikan hidangan roti yang terbuat dari tepung gandum terbaik (khubz muraqaqq). Sajian ini bukannya membangkitkan selera sahabat Nabi SAW tersebut, tetapi malah air matanya berlinang sembari mengenang Nabi SAW. Ia berkata: “Tidaklah pernah kekasihku Muhammad memakan roti seperti ini”.
Imam al-Bukhari juga menyebutkan kisah yang sama terjadi pada Anas bin Malik, pelayan Nabi SAW. Ini sebagaimana diceritakan oleh tabi’in senior seperti Qatadah: “Kami berada bersama Anas bin Malik. Di majlis kami terdapat banyak roti yang berkualitas bagus. Tetapi, Anas bin Malik malah terkenang kesederhanaan Nabi SAW dengan berkata, “Nabi SAW tidak pernah memakan roti seperti ini sama sekali”.
Tidak jarang setelah membaca kisah ini, ada asumsi bahwa Nabi SAW sangatlah miskin. Tetapi mungkin juga ada yang berpikir bahwa Nabi SAW adalah seorang yang sederhana. Sebenarnya kemiskinan dan kesederhanaan itu jauh berbeda, bahkan bertolak belakang. Ini dikarenakan Nabi SAW bukanlah orang yang miskin.
Hal ini dapat dilihat dari pernikahan pertamanya dengan mahar puluhan onta. Apalagi setelah diangkat menjadi rasul, Nabi SAW mendapatkan hak harta rampasan perang dengan jumlah yang besar, yaitu khumus (seperlima). Ini adalah jumlah yang sangat besar. Seandainya Nabi SAW ingin hidup “sedikit” mewah, maka tidak akan mengurangi kekayaannya. Namun Nabi SAW memilih hidup sederhana dan bersahaja.
Peran harta ghanimah pada konstruksi ekonomi masyarakat pada masa pra-modern –termasuk zaman Nabi SAW- adalah sesuatu yang sangat berarti dalam merubah nasib. Ini terlihat dari hadis Nabi SAW, “Berjihadlah, niscaya kalian mendapatkan harta rampasan perang”. Periwayat hadis ini dinilai kredibel (rijal al-tsiqat) oleh Imam al-Haitsami. Apabila bagian perorangan dari peserta jihad dapat meningkatkan aset ekonomi mereka, maka khumus yang diperoleh Nabi SAW tentu jauh lebih memungkinkan beliau menjadi “super kaya” atau miliarder.
Tetapi, roman kekayaan Nabi SAW tidak pernah tertulis satu pun dalam kitab hadis maupun sirah. Namun sebaliknya, justru kesederhanaan yang dapat ditemukan di dalamnya. Apabila diperhatikan, maka ada beberapa sifat Nabi SAW yang menyebabkan dirinya terlihat miskin dalam kesederhanaannya. Pertama, Nabi SAW bukanlah sosok pemimpin yang suka memperkaya diri. Bahkan, Nabi SAW tidak membiarkan satu barang berharga pun tertimbun di rumahnya. Jika ada, maka Nabi SAW langsung menyedekahkannya.
Dalam hal ini, Uqbah bin ‘Amir menyebutkan bahwa suatu ketika Nabi SAW melaksanakan salat. Namun ada yang ganjil dari perilaku Nabi SAW saat itu. Biasanya Nabi SAW duduk sejenak untuk membaca zikir-zikir atau memberikan bimbingan kepada para sahabat. Tetapi, saat itu Nabi SAW -dengan muka yang cemas- langsung berdiri setelah mengucapkan salam sebagai tanda penutup salat. Lalu, beliau berjalan menembus saf-saf dengan berjalan di antara bahu para sahabat.
Beberapa saat setelah itu, Nabi SAW kembali ke mihrab -di tengah kebingungan para sahabat- sembari memberikan penjelasan. “Aku teringat sepotong emas di kamarku, maka aku tidak suka jika ada sesuatu yang menyita pikiranku. Oleh karena itu, aku memerintahkan agar barang berharga tersebut disedekahkan” tegas Nabi SAW. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari.
Kejadian ini menyiratkan pesan bahwa, Nabi SAW tidak pernah membiarkan satu barang berharga pun di rumahnya. Apabila seorang nabi yang terpelihara dari dosa terganggu oleh harta yang sedikit, bagaimanakah dengan umatnya saat ini yang setiap hari berusaha menumpuk harta. Tentu, hal tersebut membuat hati manusia yang tidak ma’shum lebih tersita memikirkan harta yang dikumpulkannya. Wajar jika kekhusyu’an dalam beribadah pada masa ini menjadi sesuatu yang langka.
Kedua, Nabi SAW tidak pernah menolak siapa pun yang meminta sesuatu darinya. Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari pada bagian kitab al-libas meriwayatkan kisah seorang perempuan yang menenun sendiri suatu pakaian untuk Nabi SAW. Pada saat itu, beliau terlihat memang membutuhkan pakaian. Lalu, Nabi SAW memakainya salat. Setelah salat, tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepadanya, “Wahai Rasul Allah, kenakanlah pakaian tersebut kepadaku”. Setelah itu, Nabi SAW kembali duduk di tempat duduknya sejenak, lalu memberikannya pakaian baru itu kepada sahabat yang meminta.
Pemandangan kurang wajar ini membuat para sahabat yang lain memarahi orang tersebut, “Pantaskah permintaanmu ini? Bukankah kamu tahu bahwa Nabi SAW tidak pernah menolak orang yang meminta” hardik mereka. Tetapi sahabat tersebut memberikan jawaban yang mengejutkan, “Aku meminta pakaian yang dikenakan Nabi SAW tersebut, untuk menjadi kafanku kelak saat meninggal”. Kisah ini, disamping ‘menyebalkan’ juga mengharukan. Ternyata sahabat si peminta tersebut hanya ingin dikafani dengan pakaian yang pernah dikenakan oleh Nabi SAW.
Terlepas dari muatan yang mengharukan tersebut. Pernyataan terhadap kedermawanan Nabi SAW bukanlah berasal dari klaimnya sendiri, tetapi pengakuan dari para sahabat. Beliaulah orang yang la yarudd al-sa’il (tidak pernah menolak orang yang meminta) sebagaimana ungkapan para sahabat. Bahkan tanpa diminta pun, Nabi SAW sangat dermawan, apalagi pada bulan suci Ramadan. Kedermawanannya disebutkan oleh Aisyah seperti angin lepas (al-rih al-mursalah).
Ketiga, Nabi SAW adalah sosok pemimpin yang suka menghormati tamu dengan memberikan mereka hadiah yang berharga. Imam Muslim menyebutkan bahwa suatu kali ‘Umar bin al-Khaththab pernah mengusulkan agar Nabi SAW memberikan hadiah kepada para tamu negara, baik muslim maupun masih musyrik. Lalu, Nabi SAW membeli sutera yang halus untuk dibagikan kepada setiap tamu yang datang. Namun, beliau tidak memakainya sama sekali.
Keempat, Nabi SAW berdoa agar dihidupkan dan diwafatkan dalam keadaan miskin. Ini sebagaimana ditemukan dalam riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan kualitas yang disepakati kesahihannya oleh Imam al-Dzahabi. Abu Sa‘id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin. Wafatkanlah aku dalam keadaan miskin. Kumpulkanlah aku di padang Mahsyar bersama orang miskin. Sesungguhnya orang yang paling sengsara adalah siapa yang miskin di dunia dan tersiksa di akhirat”.
Sebenarnya, alasan sederhana Nabi SAW bermohon agar dihidupkan dan diwafatkan sebagai orang miskin adalah doa yang ketiga dari hadis tersebut, yaitu berkumpul di padang Mahsyar dengan orang miskin. Orang miskin –karena hartanya sedikit- dihisab lebih mudah, sehingga terlebih dahulu masuk surga daripada orang kaya.
Ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani di dalam Mu‘jam al-Awsath –dengan riwayat yang dinilai bagus oleh al-Haitsami- menyebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab mengirim surat kepada Mu‘adz bin Jabal yang sedang menjabat sebagai gubernur di luar Madinah.
Salah satu isi dari surat tersebut adalah sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya para nabi memasuki surga dua ribu tahun lebih dahulu sebelum Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sedangkan orang miskin dari kalangan muslimin masuk surga 40 tahun sebelum orang-orang kaya mereka”.
Hadis ini menunjukkan bahwa ajaran kesederhanaan Nabi SAW diajarkan kembali oleh ‘Umar bin al-Khaththab kepada para pejabat di bawahnya. ‘Umar ingin mengatakan bahwa jika Nabi Dawud dan Sulaiman yang kaya dengan harta yang halal tertunda masuk surga karena kekayaan mereka, maka bagaimanakah nasib para koruptor yang kaya dengan harta yang haram?
Dengan demikian, kesederhanaan Nabi Muhammad SAW bukanlah karena kemiskinannya. Tetapi kesederhanaan tersebut adalah karena kesadaran tinggi yang berpandangan jauh ke masa depan yang hakiki, yaitu nasib di akhirat kelak.
Perilaku seperti inilah yang teramat jarang kita jumpai di kehidupan modern sekarang ini. Sebaliknya, fenomena yang berkembang ialah kecenderungan masyarakat yang giat bekerja, mengumpulkan pundi uang sebanyak-banyaknya. Bahkan tidak jarang hingga melalaikan ibadah wajibnya. Setelah pundi uang terkumpul, mereka kemudian berlomba-lomba hidup mewah dalam kefoya-foyaan dan lupa akan nasib akhiratnya. Semoga kita terhindar dari gejala kehidupan semacam itu. Amin.
Wallahu A’lam.
Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Nabawi edisi 108.