Dalam sebuah hadis diceritakan, bahwa Rasul membolehkan seorang sahabiyah (sahabat perempuan) mengambil uang suaminya karena sang suami yang pelit.
Malang nian nasib Rahima (bukan nama asli). Sejak menikah, ia tidak pernah mendapatkan nafkah yang layak. Bukan karena ia seorang dari keluarga tak punya, hanya suaminya saja yang tak peka. Ia bercerita kepada seorang hakim di tengah sidang perceraiannya, bahwa suaminya tidak mengerti kebutuhan rumah tangganya, bahkan terkesan pelit. Padahal sang suami memiliki pekerjaan yang mapan dan sang istri dilarang bekerja.
Mendengar cerita ini, kita perlu membaca ulang sebuah kisah yang bisa kita temukan dalam sebuah hadis Nabi SAW. Kisah ini sangat masyhur sekali hingga diriwayatkan oleh banyak mukharrij. Dalam penulusuran takhrij yang dilakukan oleh penulis, kisah ini diriwayatkan oleh mayoritas penulis kutub at-tis’ah (Sembilan kitab hadis yang diakui). Mulai al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majjah dan Imam Ahmad dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda.
Alkisah, suatu hari Nabi didatangi seorang perempuan. Perempuan ini memiliki sejarah kelam sebelum masuk Islam. Jika kita pernah mendengar cerita seorang perempuan yang tega merobek dada Hamzah, paman Nabi, dan memakan mentah-mentah hatinya, maka dia lah orangnya. Namanya Hindun binti Utbah bin Rabi’ah.
Hindun adalah istri dari Abu Sufyan, salah satu pembesar suku Quraisy. Sebelum masuk Islam, ibu Muawiyah ini termasuk kelompok perempuan yang benci sekali dengan Rasulullah SAW. Saking bencinya, ia secara khusus meminta budaknya, Wahsyi untuk mengincar Hamzah. Ia juga berjanji akan memerdekakan Wahsyi sebagai imbalannya.
Dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah, Hindun ditokohkan sebagai perempuan bermartabat di mata kaum Quraisy. Kata-katanya didengarkan oleh kaumnya, bahkan oleh suaminya sendiri. Saat perang melawan para sahabat yang sudah masuk Islam saat itu, Hindun lah yang mengumandangkan syair sebagai penyemangat kaum Quraisy.
Namun, itu semua masa lalu. Saat ia telah masuk Islam, Rasulullah SAW tak membencinya sama sekali. Buktinya, dalam hadis ia diceritakan masih bisa bergaul dan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW disaksikan Aisyah yang kelak meriwayatkan hadis ini dan dikutip oleh para imam mukharrij.
Saat itu, Hindun mengadu kepada Rasulullah SAW terkait masalah rumah tangganya. Sebelum mengadu kepada Rasul, diriwayatkan bahwa ia terlebih dahulu memuji Rasul dan keluarganya. Hal seperti ini mungkin dalam budaya Arab saat itu termasuk tata krama atau petatah-petitih sebelum bertanya suatu hal kepada Rasul dan berbicara kepada Rasul.
“Wahai Rasul, di dunia ini tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aku mulyakan kecuali engkau dan keluarga engkau,” tutur Hindun.
“Wahai Rasul,” Hindun melanjutkan pembicaraannya, “Suamiku, Abu Sufyan adalah orang yang pelit.”
Dalam riwayat al-Bukhari, kata yang digunakan Hindun adalah missik (مسيك) yang berarti syadzidul bukhl (orang yang sangat pelit). Setelah selesai mengabarkan keadaan suaminya, Hindun lanjut bertanya, “Apakah aku berdosa kalau aku mengambil uangnya untuk kebutuhanku dan keluargaku?”
Jawaban Rasul SAW ternyata sangat mencengangkan. Rasul berpesan kepada Hindun bahwa ia boleh mengambil uang Abu Sufyan untuk kebutuhannya dan keluarganya.
قالَ لَهَا: لا حَرَجَ عَلَيْكِ أنْ تُطْعِمِيهِمْ مِن مَعروفٍ.
“Rasulullah SAW berkata kepada Hindun, “Tidak ada dosa bagimu untuk mengambil uangnya dengan cara yang baik “ma’ruf“‘ (H.R al-Bukhari)
Hadis ini, dalam Sahih al-Bukhari dimasukkan dalam kitab Ahkam bab Man Ra’a lil Qadhi an Yahkuma bi Ilmihi fi Amrin Nas idza lam Yakhaf ad-Dzunun wat Tuhamah, (bab yang menjelaskan bahwa seorang Qadhi boleh memutuskan suatu hukum berdasarkan pengetahuannya, walaupun hanya berdasarkan cerita). Namun dalam bab lain, al-Bukhari memasukkan hadis yang sama dengan redaksi yang berbeda dalam bab idza lam yunfiq al-rajul, fa lil mar’ati an-Ta’khudza bighairi ilmihi ma yakfiha. (Bab jika seorang laki-laki tidak menafkahi istrinya, maka sang istri boleh mengambil hartanya secukupnya, sesuai dengan kebutuhan sang istri dan keluarga walaupuntanpa sepengetahuan suami). Al-Bukhari memasukkan bab ini dalam kitab an-Nafaqah (nafkah).
Dalam hadis di atas, dijelaskan bahwa Rasul SAW membatasinya dengan kata ma’ruf. Lalu kemudian yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah, apakah batasan-batasan “ma’ruf” dalam mengambil uang suami ini?
Pertama, yang diperbolehkan oleh Nabi, jika kita mengacu kasus Hindun dan Abu Sufyan di atas, adalah istri yang tidak menerima nafkah dengan semestinya, padahal suaminya berkecukupan dan termasuk orang terpandang. Hal ini tentu berbeda jika sang suami bukan orang yang ‘berada’ sehingga untuk memberi uang ‘bulanan’ ke istri pun tidak mencukupi.
Kedua, para ulama memaknai ma’ruf dalam hadis di atas dengan “la yakunu israfan”, alias harus sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan tarjamatul bab yang diberikan oleh Imam al-Bukhari di atas. Jika mengambil uang suaminya lebih dari kebutuhannya, bahkan lebih cenderung boros dan menghambur-hamburkan uang, maka itu termasuk dilarang. Apalagi jika suaminya bukan tergolong suami yang pelit seperti Abu Sufyan di atas.
Begitulah, dalam kasus cerita Hindun, memang kondisi suami yang mencari nafkah dan wajib memberi nafkah kepada istri. Oleh karena itu, bagi para istri mungkin hal ini perlu dipertimbangkan jika mengalami kasus yang sama. Namun lebih baik jika dibicarakan baik-baik dengan sang suami agar tidak terjadi kesalahfahaman dan hal-hal yang tak diinginkan. (AN)
Wallahu a’lam.