Ngaji Gus Baha: Bukan Hak Manusia Mengutuk Kesalahan Orang Lain dengan Dosa dan Siksaan Allah

Ngaji Gus Baha: Bukan Hak Manusia Mengutuk Kesalahan Orang Lain dengan Dosa dan Siksaan Allah

Ngaji Gus Baha: Bukan Hak Manusia Mengutuk Kesalahan Orang Lain dengan Dosa dan Siksaan Allah

“Allah akan merasa ‘tersinggung’ jika hanya dianggap bahwa Dia Maha Pemberi Siksa saja.”

Dalam even “Ngaji Bareng Gus Baha’” pada Minggu, 24 November 2019 di Masjid Bayt Al Quran Tangerang Selatan, Gus Baha’ memaparkan beberapa masalah sosial dan keagamaan yang menarik untuk disimak. Argumen-argumen yang disusun, seperti dalam pengajian-pengajian lainnya di beragam platform, didasarkan pada pemahaman yang luas akan teks Al Quran dan hadits, serta teks-teks kitab. Even pengajian ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Al Quran (PSQ) asuhan Prof. Dr. M. Quraish Shihab.

Secara garis besar tema yang disampaikan adalah seputar wasathiyah, atau moderasi dalam beragama. Salah satu bagian ngaji Gus Baha yang menarik kali ini adalah pentingnya memahami bahwa seorang manusia tidak berhak untuk memberi cap orang lain akan senantiasa berbuat salah. terlebih menjustifikasi dan mengutuk pelaku maksiat dengan azab Allah.

Berdasarkan keterangan kiai asal Kragan, Rembang ini, sifat Allah bagi umat Nabi Muhammad itu aktif dan senantiasa mencakup dua aspek yang berhadap-hadapan. Ada sisi tegas dan ada sisi lembut. Hal ini penting untuk memupuk pemahaman moderasi dalam beragama.

“Ini penting saya sampaikan. Orang saleh pun tidak boleh menganggap dan menuduh orang maksiat akan senantiasa salah, jika sama-sama umatnya Nabi Muhammad.”

Kiai bernama lengkap Bahauddin Nur Salim ini menyitir satu kisah yang populer di kalangan sufi. Suatu masa ada orang saleh yang kakinya terinjak oleh seorang yang dikenal luas sebagai ahli maksiat. Terbawa jengkel, sang orang saleh berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan mengampunimu!”

Perkataan orang saleh yang mencatut nama Allah ini patut disayangkan. “Andaikan dia misuh itu mungkin lebih baik karena itu urusan dia sendiri, hehehe.” gurau Gus Baha’. “Masalahnya dia bawa-bawa nama Allah, menyatakan Dia tidak akan mengampuni sang ahli maksiat.”

Sebab pernyataan tersebut, Allah langsung mewahyukan pada Nabi yang “bertugas” pada masa orang saleh dan ahli maksiat itu hidup. “Orang ahli maksiat ini dosanya Aku ampuni. Dan orang saleh ini, akibat perkataannya, Aku hapuskan ganjaran amalnya.” demikian wahyu Allah kepada sang Nabi.

Mengapa sampai seperti itu? Menurut Gus Baha’, karena Allah “tersinggung”. Dari perkataan orang saleh itu seakan-akan Tuhan digambarkan hanya sebagai Dzat yang Pemarah, hanya memberi siksa. Padahal selain Maha Pemberi Siksa, Dia itu Maha Pengampun. “Bagaimana mungkin Allah dianggap seakan-akan hanya memberi siksa saja. Padahal Allah itu selain yu’adzdzib, memberi azab, Dia juga yaghfir, memberi ampunan.”

“Ketika melihat orang ahli maksiat atau dianggap berdosa, lalu pikiran kamu hanya memikirkan bahwa Allah pasti menyiksa mereka, maka itu tidak fair. Kita tahu sifat Allah itu memang memberi siksa, namun juga pasti memberi ampunan. Kok berani mengurangi sifat Allah yang jelas-jelas ada?”

Gus Baha’ pun menyinggung kisah Wahsyi, pembunuh paman Kanjeng Nabi yang bernama Hamzah radliyallahu ‘anhu. Benar belaka bahwa Wahsyi membunuh orang yang disayang Nabi. Namun di masa mendatang saat akhirnya Wahsyi masuk Islam dan turut membela agama, bukan wewenang Nabi untuk terus menyatakan bahwa budak orang bernama Hindun ini senantiasa bersalah.

Inilah sebab turunnya ayat 128 surah Ali Imran, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka…”

Terkait menyikapi ahli maksiat, Rasululah pernah begitu serius menghadapi perbuatan masyarakat Arab yang banyak bermaksiat dan zalim. Allah menegur beliau bahwa terlalu keras dan serius menghadapi orang yang “keliru jalan” seperti itu seakan membatasi rahmat-Nya yang luas. Teguran Allah ini pun berimplikasi pada ajaran Nabi yang selalu menunjukkan sisi kemudahan dalam beragama.

Gus Baha’ menyarankan pemahaman akan sifat Allah secara komprehensif dan proporsional menjadi bahan instropeksi. Orang saleh mesti khawatir jangan-jangan ada kesalahan dalam amaliahnya agar tidak mendapat murka Allah. Begitupun pelaku dosa dan maksiat tidak boleh putus asa untuk taubat, dan senantiasa yakin bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.