Rasulullah juga pernah menjadi seorang buruh. Bahkan, Rasulullah mengalaminya sebelum diutus menjadi Rasul dan beliau pun melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya.
Dalam sejarah islam, Muhammad lahir dalam keadaan kota yang kacau balau, kondisi sosial politik di Makkah juga kurang menentu, bahan cenderung buruk. Efeknya, ekonomi di zaman itu juga tidak bagus. Perbudakan juga menjadi hal yang lazim.
Hal itu pula yang menyebabkan sejak kecil Rasulullah telah terbiasa untuk bekerja. Bahkan, selama beliau diasuh oleh Halimah pun sudah turut membantunya untuk menggembala kambing. Kelak, hal ini membentuk kepribadian Rasul.
Beranjak dewasa, Muhammad muda pun ikut menjadi buruh, bekerja dengan pamannya Abdul Tholib. Rasul dikenal giat bekerja dan begitu amanah. Hingga, ia pun menjadi kepercayaan Abdul Tholib.
Abdul Tholib sendiri berniaga dengan Khadijah, seorang perempuan mandiri yang memiliki usaha atas tangannya sendiri. Rasulullah pun akhirnya bekerja kepada Khadijah dan mendapatkan kepercayana penuh darinya atas dedikasi, keuletan dan kejujurannya.
Kelak, sejarah mencatat, keduanya menikah dan memperjuangkan islam. Pengalaman-pengalaman itulah yang membentuk peribadi Rasulullah seperti yang kita kenal sekarang: beliau begitu membela kaum buruh dan menolak dengan tegas perbudakan.
Rasulullah juga begitu membenci mereka yang tidak memberi upah bagi para pekerja. Hak buruh dan mereka yang bekerja menjadi perhatian serius beliau karena beliau juga pernah hal yang sama. Ketika kewajiban telah daksanakan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibnu Umar RA, maka wajib kiranya untuk segera dibayar:
أعطُوا الأجِير أجْرَه قبل أن يَجفَّ عِرْقُه
Artinya:“Berikanlah upah kepada buruh sebelum keringatnya kering”
Tentu saja hal ini merupakan ucapan beliau yang begitu kuat dan menegaskan sikapnya sebagai seorang revolusioner sejati. Betapa tidak, di zaman itu, bahkan pekerja yang telah dibeli menjadi budak tidak akan mendapatkan upah dari pekerjaannya.