Ketika Jonathan Haidt mendobrak pendekatan psikologi moral dengan mengatakan bahwa emosi ternyata memegang peranan penting, salah satu yang menguatkan argumennya adalah temuan bahwa kehadiran emosi tertentu pada diri seseorang bisa mengakibatkan penilaian moral yang berbeda dibandingkan pada orang yang tidak memiliki emosi tersebut.
Salah satu emosi yang banyak diteliti terkait ini adalah rasa jijik. Ya jijik. Emosi ini memang erat terkait dengan upaya menghindari sesuatu yang membangkitkan rasa jijik seperti kotoran hewan atau manusia, bangkai, dsb. Emosi ini terkait pula dengan upaya mati-matian menjaga kesucian dan menghindari kontaminasi dalam hal-hal yang bersifat fisik. Dalam teori Fondasi Moral, ia adalah basis bagi fondasi purity/sanctity.
Banyak sekali penelitian tentang emosi ini. Memang para ahli belum mencapai mufakat mengenai sampai sejauh mana emosi ini berpengaruh. Atau pada bidang apa saja ia berpengaruh. Ada yang meyakini ia hanya berpengaruh pada hal-hal terkait seksualitas. Mereka dengan ambang toleransi jijik rendah (alias mudah merasa jijik), biasanya punya ambang toleransi yang rendah pula pada homoseksualitas. Tapi ada pula yang mengatakan area cakupannya lebih luas dari sekadar masalah seksualitas.
Dalam satu riset, sekadar menyesap minuman pahit yang memicu rasa jijik, membuat individu cenderung menilai suatu isu moral (misalnya: menerima suap) sebagai pelanggaran yang lebih berat dibandingkan rekannya yang menikmati minuman tawar atau manis. Demikian pula mereka yang dimunculkan rasa jijiknya dengan berbagai cara: diminta menonton cuplikan film “Trainspotting” (versi asli yang ada adegan muntah di toilet), diberi bau-bauan menjijikkan, diperlihatkan foto-foto menjijikkan, dsb. Mereka semua mendadak menjadi jadi lebih moralis ketimbang rekan-rekannya yang tidak diberi induksi serupa.
Yang menarik bagi saya, meski basis emosi ini sebenarnya ragawi (kata sebagian ahli, emosi ini berfungsi untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terkena penyakit), ternyata jangkauan pengaruhnya lebih dari sekadar perkara kebersihan badan atau upaya menghindari hal-hal yang mungkin merusak higienitas.
Orang yang mudah merasa jijik ditemukan biasanya juga konservatif secara politik. Mereka juga cenderung lebih keras menjaga kesucian, bukan hanya dalam hal fisik, tapi juga non fisik, misalnya kesucian simbol-simbol agama. Di buku Engineers of Jihad, beberapa teroris ditemukan sebagai orang-orang yang amat sangat menjaga kerapian dan kebersihan diri.
Saya jadi ingat sesuatu. Pantas anak lulusan pesantren jarang jadi radikal. Lha mereka sudah terbiasa jorok. Terbiasa makan dan minum bergantian dengan teman-teman sesama santri. Terbiasa hidup dengan higienitas rendah. Hidup komunal sedemikian lama tak pelak membuat ambang toleransi jijik mereka sangat tinggi.
Syukurlah, ternyata kebiasaan jelek itu ada juga sisi positifnya. haha