Sejak berdiri hingga saat ini, imej Front Pembela Islam tidak kunjung membaik. Sepanjang sejarah, raport merah selalu mewarnai gerakan ini. Mengapa demikian?
Dalam kasus demokratisasi di Indonesia pasca reformasi, munculnya Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang sering melakukan aksi kekerasan merupakan suatu gejala yang bertentangan dengan ideal yang diharapkan dari gerakan masyarakat sipil, yakni: nir kekerasan dan nir intoleransi.
Pada dasarnya, gerakan reformasi adalah anti tesis dari otoritarianisme rezim Suharto yang menghancurkan kekuatan dari masyarakat sipil itu sendiri. Kemudian, dengan lahirnya gelombang reformasi, diharapkan masyarakat sipil mampu lebih berdaya dihadapan negara dan mampu mendorong upaya kebebasan publik seluas-luasnya.
Akan tetapi, dalam praktiknya, FPI tidak mewakili idealisasi tersebut. FPI seringkali bertindak sebaliknya, sejak berdirinya pada tahun 1998, FPI banyak melakukan aksi yang justru melanggar hak-hak kemerdekaan masyarakat sipil yang sedang diperjuangkan oleh gerakan reformasi itu sendiri. Dengan arti lain, dalam perkembangan demokrasi Indonesia, FPI lebih banyak melakukan penghancuran terhadap kekuatan sesama masyarakat sipil.
Sejak 1998 hingga tahun 2018 ini, FPI menjadi momok yang menakutkan bagi demokrasi kita. Seperti yang terjadi pada tanggal 01 Juni 2008, pada saat itu di Monas sedang diselenggarakan aksi damai oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) tiba-tiba digeruduk oleh FPI. Para peserta aksi damai tersebut kemudian diserang oleh pasukan FPI dengan menggunakan bambu. Dalam peristiwa tersebut banyak aktivis yang menjadi korban luka-luka. Bahkan banyak diantara mereka sampai bercucuran darah di kepala (CNN Indonesia, 18/08/2017).
Seperti halnya juga yang terjadi pada jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Bekasi pada tahun 2012. Ketika suatu minggu pagi ketika mereka hendak melakukan rutinitas ibadah dihadang oleh pasukan berjubah putih dengan label FPI di depan gereja. Mereka dilarang untuk melakukan peribadatan. Dan bahkan tak jarang para jemaat mendapatkan lemparan telur busuk hingga air comberan (CNN Indonesia, 18/08/2017).
FPI juga sering melakukan aksi sweeping ketika menjelang/berlangsungnya bulan Ramadhan. Dalih atas apa yang mereka lakukan adalah amar ma’ruf nahi munkar. Mereka mengklaim melakukan pemberantasan kemaksiatan yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah mereka menghakimi secara sendiri apa yang hendak mereka tertibkan. Dalam pelaksanaannya tak jarang disertai dengan ancaman, intimidasi dan kekerasan.
Pada akhir tahun yang lalu, FPI juga melakukan aksi penghakiman sepihak terhadap seorang anak remaja yang dalam jejaring media sosial mereka sebut telah menghina pemimpin mereka. Dalam sebuah video tersebut, anak remaja tersebut diintimidasi oleh beberapa laki-laki dewasa yang mengatasnamakan FPI.
FPI memang sering melakukan aksi secara sepihak, maka tak heran kemudian banyak yang menyebutkan bahwa ormas tersebut adalah ormas vigilante. Seperti juga yang dialami oleh Majalah Tempo pada hari Jum’at (16 Maret 2018) yang lalu. Media tersebut didemo FPI di kantor mereka karena dalam majalahnya pada edisi yang terbit akhir bulan yang lalu menampilkan karikatur antara seorang laki-laki bersorban yang sedang berbicara dengan seorang perempuan di sebuah ruangan. Karikatur tersebut sebenarnya terinspirasi oleh percakapan yang populer dalam film roman Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2.
Dalam karikatur di Majalah Tempo tersebut disebutkan seorang lelaki bersorban berkata “Maaf…Saya tidak jadi pulang”. Dan sang perempuan di depan lelaki bersorban tersebut menjawabnya dengan kata-kata yang persis dengan apa yang diucapkan tokoh Cinta dalam film AADC 2 “Yang kamu lakukan itu JAHAT”. Sebenarnya kalau kita mencermati lebih seksama apa yang ingin disampaikan dalam karikatur tersebut adalah sebuah harapan supaya Habib Rizieq Syihab yang sedang mempunyai perkara hukum dan tak kunjung-kunjung pulang dari Arab Saudi untuk segera menyelesaikan kasus hukum yang menimpanya.
Dan anehnya, produk jurnalistik Majalah Tempo tersebut mereka sebut sebagai penghinaan terhadap ulama’ mereka. Dan terlebih lagi yang menjadi persoalan adalah mereka dalam aksi demo dan negosiasi di kantor Tempo juga diwarnai oleh intimidasi. Padahal, seharusnya kalau FPI menghormati hukum, secara prosedural mereka melaporkan keberatan mereka kepada Dewan Pers. Dewan Pers akan memutuskan apakah produk jurnalistik Majalah Tempo tersebut melanggar prinsip-prinsip jurnalistik ataukah tidak.
Dari sekian aksi persekusi dan intoleransi yang dilakukan oleh FPI, seringkali tidak mempunyai konsistesi untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu terjadi pada saat tahun 1998 ketika terjadi gelombang demonstrasi yang menuntut demonstrasi oleh mahasiswa. Justru sebaliknya, FPI tidak terlibat mendukung gerakan massa yang berusaha menggulingkan rezim Suharto –sebuah rezim politik yang juga sering melakukan pemberangusan terhadap ormas Islam. FPI justru bergandengan tangan secara mesra dengan Jendral Wiranto, yang saat itu menjadi panglima militer dan tentunya loyalis Suharto. Dari situlah kemudian terbentuk Pam Swakarsa, orgasnisasi yang menghadang aksi gerakan reformasi. Dan FPI masuk menjadi bagain dari organisasi anti reformasi bentukan loyalis Suharto tersebut.
Paradoks lain adalah FPI seringkali melakukan kritik pedas terhadap kelompok yang bersebrangan pemikiran dengan mereka di ruang publik. Akan tetapi dalam praktiknya dan banyak dibuktikan (salah satunya kasus karikatur Majalah Tempo) malah menampakkan bahwa mereka adalah anti kritik dan malah berujung pada aksi intoleransi. Sepertinya mereka memang tidak siap untuk menghargai perbedaan pendapat dari orang lain dan merasa paling benar sendiri. Apakah memang demikian ajaran Islam itu?
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.